𝟏𝟖. 𝓢𝓸𝓻𝓻𝔂 𝓪𝓷𝓭 𝓜𝓸𝓶𝓮𝓷𝓽

26 12 0
                                    


Jakarta, Indonesia tahun 2010

Setelah selesai kuliah, Hugo berencana pulang lebih awal. Namun, sebelum dia keluar dari gerbang kampus, dia melihat sosok yang tak disangka-sangka, yaitu Willona.

Willona mendekat dengan wajah penuh penyesalan. Tanpa basa-basi, dia langsung berbicara, "Hugo, please, dengerin aku dulu"

Hugo diam, menatap Willona dengan tatapan datar. "Ada apa, Will?"

"Aku... aku minta maaf atas semua yang udah terjadi. Aku salah. Aku khilaf. Aku sadar aku gak bisa kehilangan kamu," ujar Willona dengan suara yang bergetar. Matanya tampak berkaca-kaca, menandakan betapa emosional dia saat ini.

"Tolong, Go. Kita mulai lagi dari awal. Aku janji aku gak akan mengulangi kesalahan itu lagi," tambahnya, hampir memohon.

Hugo menarik napas dalam, lalu menggeleng pelan. "Will, aku udah ngasih kamu kesempatan, tapi kamu milih buat ngecewain aku. Aku gak bisa balik lagi sama kamu"

Air mata mulai menetes dari mata Willona. "Please, Hugo. Aku bener-bener nyesel. Aku masih sayang sama kamu"

"Maaf, Will. Aku udah move on. Hubungan kita udah selesai dan aku gak mau kembali ke masa lalu," jawab Hugo dengan suara tegas, tapi tidak keras.

Willona menunduk, terlihat patah hati. "Aku gak nyangka kamu bakal ngomong kayak gini..."

"Aku juga gak nyangka kamu bakal ngelakuin hal yang bikin hubungan kita hancur," balas Hugo dengan nada yang lembut tapi penuh makna.

Akhirnya, Willona menyerah. Dia menghapus air matanya dan tanpa sepatah kata lagi, berjalan menjauh dari Hugo. Hugo menatapnya sejenak, sebelum menghela napas panjang dan melanjutkan jalannya ke parkiran.

Jerome yang melihat kejadian itu dari jauh mendekat dan menepuk pundak Hugo. "Lo baik-baik aja?"

Hugo tersenyum tipis. "Gue baik baik aja. Gue udah siap buat masa depan, bukan buat ngulangin masa lalu"

Jerome mengangguk. "Semangat buat lo, Bang"

Mereka berdua pun berjalan menuju mobil, meninggalkan kampus dengan hati yang lebih ringan.

Bandara Charles de Gaulle di pagi terasa ramai, meski suasana hati Kalilla, Elbert, dan teman-temannya tampak sebaliknya—sedih namun penuh kenangan. Winda, Nindya, dan Gisella bersiap untuk kembali ke Indonesia setelah beberapa hari yang penuh tawa dan kebersamaan di Paris.

"Jadi, ini hari terakhir kita di sini," ucap Winda dengan senyum tipis, matanya mulai berkaca-kaca saat mereka tiba di area keberangkatan.

Nindya mengangguk, menggenggam tangan Kalilla erat. "Iya, gak nyangka waktu cepat banget berlalu. Rasanya baru kemarin kita jalan-jalan keliling Paris bareng"

Gisella mencoba tersenyum, meski suaranya terdengar serak. "Kalilla, makasih ya udah jadi tuan rumah yang baik selama ini. Kita bakal kangen banget sama kamu"

Kalilla, yang berdiri di antara teman-temannya, berusaha menahan air mata. "Aku juga bakal kangen kalian semua. Paris gak akan sama tanpa kalian di sini"

Elbert yang berdiri di samping Kalilla, memberikan senyuman lembut. "Jangan khawatir, aku akan terus jagain Kalilla di sini. Kalian gak perlu khawatir"

Mendengar itu, Winda menoleh ke arah Elbert dengan tatapan serius, meski ada tawa kecil di bibirnya. "Elbert, kamu harus janji ya buat selalu bahagiain Kalilla. Jangan sampai dia sedih di sini, jauh dari kita"

Elbert tertawa kecil, mengangguk mantap. "Aku janji, Winda. Aku bakal selalu ada buat Kalilla. Dia orang yang sangat berarti buatku"

Nindya dan Gisella pun ikut menimpali, dengan senyum dan harapan yang sama. "Kami titip Kalilla ya, Elbert. Jangan sampai dia kesepian"

Paris, a Second Chance | TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang