Jakarta, Indonesia tahun 2010Hugo sedang dalam perjalanan pulang dari kampus seperti biasa, mengendarai motornya dengan kencang. Dia menikmati angin sore yang berhembus, meskipun lelah setelah seharian kuliah. Namun, tiba-tiba sebuah mobil melaju dengan cepat dari tikungan, dan dalam hitungan detik, tabrakan tak terhindarkan.
Brakkk!
Suara benturan keras terdengar di jalan. Hugo terhempas dari sepedanya dan terjatuh ke aspal. Penglihatan Hugo mulai kabur, dan rasa sakit yang tajam menusuk di seluruh tubuhnya sebelum semuanya berubah gelap.
Tak lama kemudian, sebuah ambulans tiba di lokasi kecelakaan. Para petugas medis dengan cepat membawa Hugo ke rumah sakit, sementara sepedanya tergeletak rusak di jalan. Ponsel Hugo yang terjatuh di jalan masih menyala dengan beberapa notifikasi pesan yang belum terbaca.
Di rumah sakit, suasana tegang menyelimuti. Ketiga teman Hugo—Javier, Jerome, dan Sagara—berdiri di depan ruang gawat darurat dengan wajah cemas. Mereka baru saja mendapat kabar tentang kecelakaan itu dari salah seorang saksi yang sempat melihat kejadian dan mengenali Hugo.
"Gimana ini bisa terjadi?" ucap Jerome dengan nada khawatir, tangannya mengepal erat. "Gue barusan ngobrol sama Hugo soal tugas, terus sekarang... dia ada di rumah sakit."
Javier hanya menggelengkan kepala, wajahnya pucat. "Gue gak habis pikir... dia baik-baik aja tadi di kampus. Gue bahkan sempet liat dia pas dia pamit pulang"
Sagara, yang biasanya tenang, tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya. "Yang penting sekarang kita doain Hugo. Semoga gak ada cedera serius," ucapnya pelan, namun penuh harap.
Jerome berjalan mondar-mandir di depan pintu ruang gawat darurat, sesekali melirik ke arah pintu, berharap dokter keluar dengan kabar baik. "Gue gak tahan nunggu kayak gini. Kita harus tau dia gimana," katanya dengan nada frustrasi.
Tak lama, seorang dokter keluar dari ruangan dengan ekspresi serius. "Siapa yang menemani Hugo saat ini?" tanya dokter itu.
Ketiga teman Hugo segera mendekat. "Kami, dok. Kami temannya," jawab Sagara.
Dokter itu menghela napas, melihat ke arah mereka. "Hugo mengalami cedera cukup serius. Ada patah tulang di lengan kirinya, dan beberapa luka memar di tubuhnya. Tapi untungnya, tidak ada cedera pada kepala atau organ vital lainnya. Kami sedang menstabilkan kondisinya, dan dia akan dipindahkan ke ruang perawatan."
Mendengar kabar itu, rasa lega sedikit merambat di antara mereka, meskipun mereka tahu Hugo masih harus menjalani proses pemulihan yang cukup panjang. "Syukurlah gak lebih parah dari yang kita bayangin," gumam Javier, akhirnya bisa bernapas lega.
Jerome mengangguk, meskipun rasa khawatirnya belum sepenuhnya hilang. "Tapi dia pasti kesakitan banget. Kita harus selalu ada buat dia, apalagi sekarang dia gak punya siapa-siapa selain kita di sini"
Sagara meletakkan tangannya di bahu Jerome, menenangkan. "Iya, kita harus kuat buat Hugo. Begitu dia sadar, dia pasti butuh dukungan kita semua"
Ketiganya saling menguatkan, menanti saat mereka bisa melihat sahabat mereka yang kini terbaring lemah di balik pintu ruangan rumah sakit.
*****
Besoknya, Kalilla duduk di balkon apartemennya, menikmati secangkir kopi hangat. Ia mencoba menenangkan pikirannya setelah menerima pesan ancaman yang terus menghantui. Pesan dari nomor asing itu jelas—mereka memperingatkan Kalilla untuk menjauhi Elbert, atau akan ada konsekuensi. Seketika perutnya terasa mual, dan pikiran-pikirannya berputar tentang siapa yang bisa mengirim pesan tersebut.
Saat ia termenung, notifikasi ponsel berbunyi lagi. Kalilla kaget, dengan jantung berdebar kencang, ia membuka pesan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paris, a Second Chance | Terbit
Romance𝐒𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚, 𝐰𝐚𝐣𝐢𝐛 𝐟𝐨𝐥𝐥𝐨𝐰 𝐚𝐤𝐮𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐯𝐨𝐭𝐞& 𝐜𝐨𝐦𝐦𝐞𝐧𝐭 𝐬𝐞𝐭𝐢𝐚𝐩 𝐛𝐚𝐛!! 𝐒𝐞𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐫𝐞𝐯𝐢𝐬𝐢!! Bianca Kalilla Abigail, seorang wanita yang terluka hatinya, pergi ke Paris-kota yang penuh...