𝟏𝟕. 𝓣𝓱𝓮 𝓢𝓽𝓪𝓻𝓽 𝓸𝓯 𝓢𝓸𝓶𝓮𝓽𝓱𝓲𝓷𝓰 𝓝𝓮𝔀

30 12 3
                                    

"Memaafkan adalah hadiah terbaik yang bisa kamu berikan kepada diri sendiri. Ini membebaskanmu dari masa lalu yang menyakitkan."

*****

Paris, Prancis tahun 2010

Mereka semua akhirnya keluar dari hotel dan naik ke mobil Elbert. Selama perjalanan ke mall, obrolan hangat tentang kehidupan masing-masing terus berlanjut. Setibanya di mall, mereka mulai berjalan-jalan, belanja, dan mencoba berbagai hal menarik.

"Aku suka banget sama fashion store di sini, beda banget rasanya belanja di Paris," kata Nindya sambil melihat-lihat baju.

"Setuju. Paris itu ibukota fashion kan, jadi wajar aja," sahut Gisella sambil mencoba topi beret di depan cermin.

Setelah puas berkeliling mall, mereka memutuskan untuk mampir ke sebuah cafe yang terkenal. Elbert memesan coffe americano, sementara yang lain memilih teh dan cake.

"Paris benar-benar sesuai ekspektasi aku. Kalian tinggal di sini gimana rasanya, Lila?" tanya Winda saat mereka duduk santai di cafe.

"Rasanya campur aduk. Seru, tapi kadang kangen juga sama Indonesia. Tapi untung ada Elbert yang sering nemenin," jawab Kalilla sambil melirik Elbert, yang hanya tertawa kecil.

"Enaknya kalau ada teman lokal ya," sahut Nindya. "Kita jadi bisa nyasar bareng-bareng deh."

"Haha, tenang aja. Saya nggak bakal biarin kalian nyasar. Yuk, kita nikmatin hari ini," kata Elbert sambil mengangkat gelas kopinya.

Hari itu pun dihabiskan dengan tawa dan cerita, hingga siang tiba tanpa terasa. Mereka semua merasa senang bisa bersama lagi di kota penuh keajaiban, Paris.

Saat mereka duduk santai di café, Elbert pamit ke toilet, meninggalkan Kalilla dan sahabat-sahabatnya. Begitu Elbert pergi, suasana di meja tiba-tiba berubah menjadi lebih serius.

"Lila, aku sama Winda sama Nindya udah ngobrol-ngobrol nih," Gisella membuka pembicaraan dengan tatapan serius, "Kita rasa, udah saatnya kamu jawab perasaan Elbert deh."

Kalilla tertegun, memandang sahabat-sahabatnya dengan kaget. "Hah? Jawab perasaan Elbert? Emang dia bilang apa?"

"Lila, jelas banget kok, dia suka sama kamu. Bahkan dari cara dia ngeliat kamu, kelihatan banget," tambah Nindya, sambil tersenyum lembut.

"Iya, Lila. Elbert itu cowok baik, kamu udah kenal dia cukup lama kan? Dan kita semua bisa lihat kalau dia perhatian banget sama kamu," lanjut Winda.

Kalilla menghela napas panjang dan menundukkan kepalanya. "Aku nggak tau, aku belum kepikiran buat pacaran. Gue nyaman berteman sama Elbert, tapi aku nggak yakin sama perasaanku."

Gisella tersenyum, meraih tangan Kalilla. "Kamu nggak harus buru-buru, Lila. Tapi kamu harus jujur sama perasaan kamu sendiri. Kadang, yang kita butuhin tuh ada di depan mata kita tanpa kita sadari."

Winda menambahkan, "Dan kamu nggak akan pernah tau kalau nggak coba buka hati. Mungkin kamu takut, tapi Elbert itu cowok yang udah jelas peduli sama kamu."

Kalilla terdiam, memikirkan kata-kata sahabat-sahabatnya. Dia memang merasa nyaman setiap kali bersama Elbert, tapi dia belum pernah berpikir lebih jauh dari itu. Apakah dia benar-benar punya perasaan lebih dari sekedar teman?

"Kasih dia kesempatan, Lila," kata Nindya dengan lembut. "Kita lihat sendiri gimana dia memperlakukan kamu dengan penuh perhatian. Itu udah cukup jadi tanda"

Sebelum Kalilla bisa menjawab, Elbert kembali dari toilet, tersenyum hangat dan duduk di kursinya. "Ada apa? Kok pada serius banget mukanya?" tanya Elbert sambil melihat sekeliling meja.

Paris, a Second Chance | TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang