25 | Into The Blue

132 15 11
                                    

Tipikal hukuman yang diberikan oleh keluarga mafia pada umumnya. Mereka tidak akan membunuh seorang musuh atau pengkhianat begitu saja, di saat mereka bisa saja menyiksanya perlahan hingga penghujung napas terakhir.

Di sinilah Shayne berada. Tubuhnya diikat di kursi dengan tangan dan kaki yang ditancapkan besi berdiameter 3 centimeter. Darah di mana-mana, bahkan pria itu tidak ingat sudah berapa kali dirinya dipukuli dengan mata yang ditutupi oleh kain hitam. Dia meringis kesakitan untuk ke sekian kalinya. Mencoba untuk bergerak pun rasanya sakit sekali. Rasanya jika terus seperti ini, dia ingin langsung mati saja.

Kain itu tidak lama terlepas. Pandangan Shayne begitu silau kala terdapat cahaya lampu yang langsung menyorot ke arahnya. Pria itu menunduk, mengerjapkan matanya berkali-kali, lalu tak lama mendapati tangan dan kakinya yang tertusuk—persis seperti yang dia bayangkan. Sialnya, melihatnya langsung seperti ini, membuat rasa sakitnya semakin menjadi-jadi.

So, bagaimana rasanya, Shayne?” 

Terdengar suara seseorang di depannya. Perlahan Shayne mendongak, menyipitkan matanya karena cahaya lampu itu masih mengganggu. Tidak butuh waktu yang lama baginya untuk mengenali pria dengan luka codet di pipinya tersebut.

Itu Evan. Satu dari sekian orang-orang yang membencinya di Solomon jauh sebelum dia dijadikan kaki tangan Dante ataupun Yohanes. Shayne meringis, tidak menyangka Evan akan menjadi algojo untuknya.

Kalimat Evan barusan tidak semerta-merta langsung Shayne jawab. Alih-alih pria itu hanya tersenyum miring. “Mereka akhirnya merekrut orang payah seperti lu juga rupanya. Sayang sekali.” ucapnya.

Evan terkekeh sarkas sembari melengos. Namun sedetik kemudian dia melayangkan bogem mentah tepat pada wajah Shayne.

Shayne mengerang kesakitan. Baiklah, itu lumayan menyakitkan.

“Lu tahu? Tidak ada yang mengira kalau rupanya lu adalah anjing pemerintah. Harus gue akui, lu hebat banget waktu itu,” ucap Evan sembari menumpu kedua tangannya di bahu Shayne.

“Dan gue justru kasian banget sama lu yang masih jadi kacung lintah darat macam Solomon! How pathetic!” balas Shayne tak mau kalah.

Bugh!

Lagi. Pukulan lagi-lagi dia dapatkan. Kali ini darah mengucur dari lubang hidungnya. Shayne mimisan.

Shut up, will you?” Evan menatapnya bengis.

Namun Shayne tidak gentar. Dia kembali mendongak dan meludahi wajah Evan di detik itu juga. Pria itu seketika mundur dan mengumpat, mengusap wajahnya kasar dan menatap orang di hadapannya itu dengan tatapan penuh amarah.

Shayne tertawa kecil, meski darah terus mengalir hingga ke mulutnya. Evan yang geram, alhasil kembali memukulnya dan mengeluarkan pisau lipat. Tanpa menunggu lama lagi, dia menahan rahang Shayne dan menyayat wajah pria itu persis seperti yang pernah pria itu lakukan padanya.

Teriakan kesakitan tak lama terdengar begitu memekakkan telinga. Shayne meronta-ronta, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan ketika pergerakannya begitu terbatas, alih-alih malah membuatnya semakin merasa kesakitan.

“Sekarang impas, bukan?” Evan menyeringai. Sayangnya, lagi-lagi itu tidak membuat Shayne gentar. Rasanya kalau saja pria itu masih punya banyak tenaga—ingin sekali dia tarik tangan dan kakinya meski berlubang akibat besi sialan tersebut—lalu meninju kepala Evan di detik berikutnya.

Tapi Shayne tahu dia tidak bisa apa-apa. Sekalipun dirinya memberontak, tidak akan menghilangkan fakta jika dirinya sudah menyerahkan diri pada Solomon. Satu-satunya harapan sekaligus rencana terakhirnya adalah menyerah. Membiarkan Kareela hidup bersama Mees di bawah perlindungan Neoptolemus, lalu dia akan menyerahkan hidupnya dengan mati dibui di tangan Solomon.

Dum Spiro, SperoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang