Malam ini aku kembali ke kamar dengan perasaan yang campur aduk. Namun perasaan bingung yang lebih besar ada dalam diriku malam ini. Aku terus memikirkan ucapan Khafi. Aku juga terus mencoba mengingat wajah Khafi. Namun aku tak menemukan jawabannya. Aku tak pernah merasa kenal dengan wajah Khafi, juga dengan nama Khafi. Aku terus memikirkan hal itu hingga aku tak bisa tidur nyenyak.
Keesokan harinya pukul 9 pagi, tepat setelah aku selesai menyantap sarapanku di restaurant hotel, aku bertemu dengan Dito di lobi hotel.
“pak Dito” sapaku.
“selamat pagi mbak Naya” ucap Dito. Aku melihat sekeliling mencari keberadaan Khafi.
“pak Khafi sudah kembali ke Jakarta jam 6 tadi pagi” ucap Dito yang tahu bahwa aku mencari keberadaan Khafi.
“oh~ loh pak Dito kok gak balik ke Jakarta juga?” tanyaku.
“masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan disini. Besok pagi saya baru balik ke Jakarta. Mbak Naya kapan balik ke Jakarta?” ucap Dito.
“saya nanti sore jam 3 pak” ucapku.
“biar saya antar ke bandara mbak” ucap Dito.
“eehh~ gak usah pak. Saya naik taxi aja. Perjalanan dari sini ke bandara kan lama. Pak Dito selesaikan pekerjaan pak Dito saja” ucapku.
“baik mbak Naya kalau begitu. Saya akan lanjutkan pekerjaan saya. Selamat menikmati perjalanan mbak Naya ya” ucap Dito ramah.
“iya terimakasih pak Dito” ucapku. Dito pun berjalan pergi untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku kembali ke kamar untuk merapihkan barang bawaanku.
...
Sesampainya di Jakarta, aku masih diberikan hari libur selama sehari. Aku menceritakan semua yang terjadi kepada Lily. Tentu saja Lily semakin antusias bahwa apa yang sedang terjadi ini seperti sesuai khayalannya. Dan aku masih terus terganggu oleh ucapan Khafi malam itu. Berkali-kali aku mencoba mengingat apakah ada teman sekolahku bernama Khafj. Bahkan aku sampai membuka buku album kelulusan sekolah menengah pertamaku. Kulihat wajah dan nama murid di buku album itu satu persatu. Namun tak ada satu pun yang cocok dengan Khafi, baik nama dan wajah.
Karena perjalananku ke Bali adalah perjalanan bisnis. Aku pun harus membuat laporan perjalanan bisnis untuk di laporkan pada seluruh petinggi di kantor. Hari pertamaku masuk kembali ke kantor, membagikan beberapa buah tangan kepada rekan tim ku, juga aku sibuk dengan laporan perjalanan yang harus kubuat.
“Nay, kantor sepi banget gak ada kamu” ucap Barra perlahan saat tim lain sibuk mengambil oleh-oleh dariku.
“kita harus ngobrol sekarang. Ikut aku ke ruanganku” ucapku. Barra dengan senyum bahagia mengikutiku ke dalam ruang kerjaku.
“Barra. Aku udah bilang berkali-kali kalau aku udah gak ada perasaan apapun ke kamu. Aku gak ada niat sedikit pun untuk balik lagi sama kamu. Dan ini adalah kantor, dimana aku adalah atasan kamu. Jaga sikap kamu atau aku bisa aja pindahin kamu ke tim lain atau bahkan pecat kamu” tegasku.
“aku tahu Nay. Aku udah salah banget waktu itu. Tapi aku yakin aku udah berubah. Aku gak ke kanak-kanakan seperti dulu lagi. Aku serius masih sayang sama kamu. Aku gak akan menyerah untuk dapetin kamu lagi. Walaupun kamu pindahin aku ke tim lain atau pecat aku sekalipun. Aku akan tetap kejar kamu” ucap Barra. Baru aku ingin menjawab ucapan Barra, ada seseorang mengetuk pintu ruang kerjaku.
“mbak Naya. Pak Adam minta mbak Naya segera serahkan laporan” ucap Intan salah satu staff keuangan.
“iya baik mbak Intan akan segera saya serahkan. Terimakasih mbak Intan” ucapku.
“kalau kamu mau terus keras kepala, aku juga akan lakuin apapun yang aku mau” ucapku pada Barra sesaat Intan pergi.
“oke. Aku profesional dan aku gak akan nyerah gitu aja tentang kamu” ucap Barra seraya pergi meninggalkan ruang kerjaku.
Aku berusaha menenangkan diri setelah Barra pergi meninggalkan ruanganku. Setelah aku mulai tenang, aku segera menuju ruang CFO untuk menyerahkan laporan perjalananku. Setelah selesai mendapatkan tanda tangan dari CFO, aku harus mendapatkan tanda tangan dari CEO yang tak lain adalah Khafi. Aku menghubungi Dito melalui ponsel genggamku.
Pak Dito. Saya Naya. Saya mau menyerahkan laporan perjalanan ke Bali kemarin ke pak Khafi. Bisa saya titip ke pak Dito gak ya? Tanyaku.
Iya boleh mbak Naya. Kebetulan pak Khafi juga sedang banyak rapat hari ini jadi tidak bisa bertemu langsung dengan mbak Naya. Jawab Dito.
Baik pak Dito. Kalau begitu saya segera keatas. Ucapku.
Aku berjalan menuju meja kerja Dito yang berada tepat di depan ruang kerja Khafi. Ku serahkan laporan perjalanan yang sudah kubuat untuk di tanda tangani oleh Khafi.
“nanti saya kabari kalau sudah di tanda tangani oleh pak Khafi” ucap Dito.
“baik pak Dito. Terimakasih banyak” ucapku.
Aku berjalan kembali ke ruang kerjaku. Dan melanjutkan pekerjaanku. Aku sempat berpikir bahwa Khafi menghindariku. Tapi aku sadar bahwa memang pekerjaan seorang CEO itu memang sangatlah banyak. Lagipula untuk apa Khafi menghindariku. Dia sama sekali tak melakukan kesalahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Storyline
General FictionNote : Cerita ini mengandung beberapa kata kasar dan adegan yang mungkin tidak nyaman bagi sebagian orang. Bercerita tentang seorang wanita bernama Iva Shanaya Una. Saat kecil, ia memiliki teman bermain bernama Okta, Kevin dan Gilang. Beberapa tahun...