BAB 29

6 1 0
                                    

Dua hari setelah aku bekerja tepatnya hari Jum’at, aku memutuskan untuk mengambil barang-barangku yang belum sempat aku bawa di rumah Khafi. Jam 3 sore, aku mengirimkan pesan singkat pada Khafi, mengabarinya bahwa malam ini aku akan mengambil barang-barang milikku di rumahnya. Hari itu aku memang bekerja lembur hingga jam 7 malam. Selama bekerja aku tak mengkhawatirkan apapun. Namun setelah aku akan pulang, aku baru tersadar bahwa tak ada siapapun di lantai 6. Aku merasa takut untuk menaiki lift seorang diri. Akhirnya aku memutuskan untuk turun melewati tangga darurat. Baru saja aku melangkahkan kaki di tangga pertama, ponselku berbunyi telepon dari Khafi.

Halo. Ucapku.

Halo Nay. Kamu udah dirumah? Tanya Khafi.

Belum. Aku masih di kantor baru mau pulang. Jawabku.

Kamu... lewat tangga darurat? Tanya Khafi yang mengetahuinya karena suaraku yang menggema.

Iya. Jawabku.

Aku di lobi. Kamu di lantai berapa? Tunggu di depan lift sekarang. Ucap Khafi.

Lantai 5, tapi fi... belum selesai aku bicara, Khafi sudah memotong ucapanku.

SEKARANG NAYA. Ucap Khafi dengan nada sedikit meninggi.

Aku lelah karena pekerjaan rasanya tak ada tenaga untuk berdebat dengan Khafi. Aku pun menuruti perkataan Khafi. Aku berdiri di depan lift lantai 5. Setelah beberapa detik aku berdiri, aku melihat lift mulai bergerak naik. Saat pintu lift di depanku terbuka, Khafi berdiri di dalamnya dengan wajah dingin namun dari balik kacamatanya itu aku tau bahwa Khafi khawatir padaku.

“ayo” Khafi menggerakkan kepalanya sebagai isyarat bahwa aku harus masuk ke dalam lift itu sambil menekan tombol lift agar pintu lift tetap terbuka.

Walau aku ragu namun aku memaksakan diri untuk melangkah masuk ke dalam lift. Khafi menekan tombol lift setelah aku berdiri di sampingnya. Khafi menghelakan nafas sambil menyilangkan kedua tangannya. Rasa takutku pada lift berubah menjadi takut pada Khafi saat itu. Rasanya lebih baik Khafi memarahiku habis-habisan dibandingkan aku harus menghadapi sikap diam dan dinginnya seperti itu.

“kamu kok bisa ada di kantor fi? Bukannya kamu udah pulang dari tadi sore?” tanyaku perlahan berusaha untuk mencairkan suasana.

“habis makan malam sama tim film. Aku balik kesini karena antar pak Dony” jawab Khafi dingin.

Rasanya aku semakin takut berhadapan dengan Khafi. Seandainya bisa, aku pasti sudah membatalkan rencanaku untuk mengambil barang-barangku di rumah Khafi. Malam itu aku berhasil menaiki lift tanpa rasa takut sedikitpun karena aku justru merasa takut berhadapan dengan Khafi. Sesampainya di lantai satu, kami segera berjalan keluar kantor dimana sudah ada mobil Khafi dengan Dito yang sudah menunggu kami. Dito membukakan pintu untuk Khafi dan Khafi langsung masuk ke dalam mobil. Dito juga membukakan pintu untukku, namun aku ragu untuk masuk ke dalam mobilnya karena aku tak ingin ada karyawan yang melihat.

“saran saya mbak Naya masuk sekarang sebelum pak Khafi habis kesabarannya” bisik Dito.

Aku mengikuti saran Dito karena kulihat raut wajah Khafi yang dingin sejak bertemu denganku tadi. Dalam perjalanan tak ada satupun dari kami yang bicara. Khafi pun hanya sibuk dengan ipadnya. Aku hanya berani memandang keluar jendela. Bahkan semua berlanjut sampai kami tiba di gedung penthouse Khafi.

“pak Dito boleh pulang. Terimakasih kerja kerasnya hari ini pak Dito” ucap Khafi saat kami turun dari mobil.

“baik pak” ucap Dito seraya memberikan kunci mobil pada Khafi.

Aku dan Khafi berjalan memasuki gedung. Kami menaiki lift tanpa bicara apa-apa. Bahkan aku sampai tak berani mengeluarkan sepatah kata pun.

“aku gak lama kok beresin barang-barangnya” ucapku saat kami sudah memasuki penthouse. Khafi tak menjawab apa pun dan berjalan memasuki kamarnya. Aku juga masuk ke dalam kamar yang pernah menjadi kamarku lalu membereskan barang-barangku. Sekitar 30 menit, aku pun selesai membereskan barang-barangku dan berjalan keluar kamar. Aku melihat Khafi yang sedang berada di dapur dengan rambutnya yang masih basah terlihat bahwa dia baru saja selesai mandi.

“fi, aku udah selesai, aku pulang ya. Terimakasih banyak ya beberapa hari kemarin kamu udah izinin aku tinggal disini. Berkat kebaikan kamu, aku bisa lewatin semuanya. Sekali lagi terimakasih” ucapku.

“aku antar” ucap Khafi sambil berjalan menuju pintu.

“gak usah fi. Aku bisa kok pulang sendiri. Kamu istirahat aja dirumah” ucapku. Khafi yang tadinya berada di depanku langsung berhenti dan membalikkan tubuhnya.

“kamu tuh kenapa sih!” Khafi menatap mataku tajam. Kini aku bisa melihat matanya langsung tanpa di tutupi kacamatanya.

“kalau kamu bisa lakuin semua sendiri, kamu gak akan takut untuk masuk ke dalam lift, kamu gak akan turun lewat tangga darurat! Apa susahnya sih terima bantuan dari orang lain!” kesal Khafi.

“aku memang bisa pulang sendiri fi” ucapku pelan. Aku sedikit terkejut dengan suara Khafi yang keras.

“aku antar kamu pulang, titik!” ucap Khafi sambil mengambil kunci mobilnya yang ada di atas meja buffet tak jauh dari pintu. Aku tak bisa seperti ini terus. Aku harus bisa menilai dengan jelas tentang semua sikap Khafi, pikirku.

“Khafi stop” ucapku. Khafi berhenti dan kembali membalikkan badannya menghadapku lagi.

“aku sangat berterimakasih untuk semua kebaikan kamu. Tapi aku bisa lakuin semuanya sendiri fi. Aku bisa pulang sendiri, aku juga bisa menghilangkan traumaku sama lift kantor walaupun itu butuh waktu. Dan aku gak minta kamu untuk bisa menopang aku. Aku bisa lakuin semua sendiri fi. Kenapa sih kamu gak percaya sama aku?” ucapku sedikit kesal.

“aku bukan gak percaya sama kamu Naya” ucap Khafi juga dengan sedikit kesal.

“terus kenapa?” tanyaku dengan suara sedikit meninggi.

“aku khawatir sama kamu! Kamu sadar gak sih Nay. Kamu itu butuh bantuan tapi kenapa sih kamu berat banget buat minta bantuan itu! Kalau kamu gak bisa naik lift sendirian, kamu kan bisa telepon aku. Kenapa gak kamu lakuin hal itu?!” jawab Khafi dengan suara tinggi.

“rasa khawatir kamu itu gak perlu bikin kamu berbuat berlebihan” ucapku.

“berlebihan kata kamu?” tanya Khafi.

“iya! Rasa khawatir kamu bikin kamu bersikap berlebihan ke aku. Perhatian kamu berlebihan. Perhatian seorang teman gak akan sampai kaya gini fi” ucapku.

“semua sikap kamu selama aku tinggal disini pun berlebihan. Stop bikin aku salah paham fi, please!” ucapku.

“jadi selama ini kamu anggap aku berlebihan Nay?!” ucap Khafi kesal.

“iya! Kamu tanya sama diri kamu sendiri. Kalau hal itu terjadi sama Okta atau Lily, apa kamu masih akan bersikap sama seperti kamu bersikap ke aku?” tanyaku.

“jelas beda Naya! Kamu dan mereka beda!” ucap Khafi kesal.

“aku sahabat kamu dan mereka juga sahabat kamu. Apa yang beda?!” tanyaku.

“apa kamu suka sama aku lebih dari sekedar teman?!” tanyaku kesal. Khafi hanya bisa diam tak bisa menjawabnya.

“aku gak mau hubungan kita canggung. Aku menghargai kebaikan kamu tapi semua sikap kamu bisa bikin aku salah paham. Jadi tolong fi, stop bersikap berlebihan kaya gini. Aku bisa pulang sendiri” ucapku sambil berjalan keluar penthouse.

Aku tidak peduli lagi bagaimana nanti hubunganku dengan Khafi. Yang pasti aku tak ingin lagi salah paham dengan semua perhatian Khafi. Aku tak ingin menjadi orang bodoh. Dan aku pasti bisa melewati semua trauma ini sendiri.

Perfect StorylineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang