Aku terbangun dari tidurku dan melihat jam sudah menunjukkan pukul 8.30 malam. Kulihat sudah ada selimut diatas tubuhku yang berarti Khafi sudah pulang kerumah. Aku terduduk sebentar untuk menyadarkanku dari rasa kantuk. Kemudian aku melipat selimut itu dan berjalan menuju ruang kerja Khafi sambil membawa buku yang aku baca tadi. Pintu ruang kerja sedang terbuka dan kulihat Khafi sedang duduk di balik meja kerjanya sambil berbicara melalui telepon. Namun saat Khafi melihatku berdiri di depan pintu, Khafi segera menyudahi panggilannya.
“udah bangun Nay?” tanya Khafi. Aku menganggukkan kepala sambil berjalan masuk.
“aku mau kembalikan ini” ucapku sambil meletakkan buku itu di tempat semula.
“kamu belum makan malam kan?” tanya Khafi sambil berjalan menghampiriku.
“belum” jawabku.
“aku buatin makan malam ya” ucap Khafi sambil mengambil selimut yang sudah kulipat dari tanganku. Lalu berjalan keluar ruang kerja.
“aku bisa bikin sendiri fi. Kamu lanjut kerja aja” ucapku sambil berjalan mengejar Khafi.
“jangan pernah menolak kebaikan dari orang lain” Khafi tiba-tiba membalikkan badannya sambil sedikit membungkuk hingga wajahnya tepat berada di depan wajahku. Aku berdiri kaku karena terkejut dengan tingkah Khafi.
Beberapa hari ini aku merasa Khafi bertingkah berlebihan atau ini hanya perasaanku saja. Aku selalu dibuat salah tingkah olehnya. Aku tak ingin ada kesalah pahaman di antaraku dan Khafi. Kita berteman, jika ada salah paham pasti akan membuat hubungan kita menjadi canggung. Namun Khafi terus saja bersikap aneh yang membuatku mulai salah paham.
“ngapain diem aja” Khafi menghampiriku setelah ia menaruh selimut tadi ke dalam kamarnya. Khafi bicara sambil meletakkan tangannya di atas kepalaku. Lagi dan lagi aku dibuat salah tingkah oleh sikapnya itu.
Khafi berjalan menuju dapur untuk menyiapkan makan malam. Aku berjalan menghampirinya setelah berusaha sekuat tenaga menenangkan hatiku dan menjauhkan pikiran yang bisa membuatku salah paham terhadap sikap Khafi.
“aku mau bantu fi” ucapku sambil berdiri di sampingnya.
“kita makan spageti aglio e olio dan tumis zucchini gak apa-apa kan?” tanya Khafi.
“iya gak apa-apa” jawabku.
“oke kalau begitu kamu bantu aku potong zucchini dulu” ucap Khafi.
“oke” ucapku sambil membuka kulkas dan mengambil 2 buah zucchini. Aku memotongnya sesuai perintah Khafi dan mencucinya. Sementara Khafi sudah mulai memasak spagetinya.
“apa lagi fi?” tanyaku.
“tolong parut bawang putih sama iris daun bawang” jawab Khafi. Aku pun melakukannya sesuai perintahnya.
“udah fi” ucapku.
“oke. Spagetinya sebentar lagi matang” Khafi mengaduk-aduk spageti di atas wajan selama beberapa menit. Setelah selesai ia menatanya di atas dua piring.
“oke sekarang kita bikin tumis zucchini” ucap Khafi.
“tolong ambil cabe bubuk, minyak wijen sama suka apel di lemari bumbu itu Nay” ucap Khafi sambil menunjuk lemari bumbu dengan wajahnya. Aku meletakkan bumbu-bumbu itu di atas meja dapur.
“oke terimakasih” ucap Khagi. Khafi mulai menumis zucchini nya.
“spagetinya bawa ke meja makan ya Nay” ucap Khafi.
“oke” ucapku.
Tak ada yang bisa aku bantu lagi, sehingga aku hanya bisa melihat Khafi yang sedang memasak. Aku melihat sisi lain dari Khafi. Selama aku bertemu dengannya lagi dan saat aku tahu bahwa Khafi adalah Gilang, dia adalah orang yang dingin dan terlihat seperti sangat sulit di dekati. Namun beberapa hari ini aku melihat Khafi begitu perhatian dan hangat. Apa memang karena Khafi kasihan melihatku? Jika hal menakutkan itu terjadi bukan padaku, apakah Khafi akan bersikap perhatian dan hangat seperti sekarang?
“oke udah selesai” ucap Khafi yang baru saja menata tumis zucchini itu diatas piring.
“ayo kita makan” Khafi membuka apron yang ia pakai lalu mencuci kedua tangannya. Aku juga segera membuka apronku dan juga mencuci kedua tanganku.
“besok aku mulai kerja seperti biasa Nay” ucap Khafi saat kami menyantap makan malam kami di atas meja makan.
“oke” ucapku.
“Lily udah balik ke Jakarta. Dia tadi telepon aku mau kesini tapi aku bilang kamu lagi tidur jadi Lily kesini besok” ucap Khafi.
“kamu ngobrol aja sama Lily besok. Gak usah pikir soal kerjaan” lanjut Khafi.
“oke. Terimakasih banyak ya fi” ucapku.
“iya sama-sama” ucap Khafi.
“dan... aku minta maaf soal tadi pagi” ucap Khafi. Aku menatap wajahnya terkejut.
“seharusnya aku gak terlalu banyak komentar soal hubungan kamu dan Haris. Aku minta maaf” ucap Khafi.
“aku juga minga maaf karena udah bete sama kamu” ucapku. Khafi hanya tersenyum dan melanjutkan makan malamnya.
“biar aku yang cuci piringnya. Kamu kan udah masak” ucapku setelah kami selesai menyantap makan malam kami.
“kamu kan juga bantu aku masak tadi” ucap Khafi.
“aku cuma bantu sedikit. Kamu istirahat aja, ini biar aku yang beresin” ucapku sambil mulai mencuci semua peralatan dapur yang kotor.
Khafi tak pergi ke kamarnya, ia justru membersihkan meja dapur. Lalu Khafi membantuku mengelap piring yang sudah kubilas. Tanpa bicara sepatah kata pun, Khafi membuka kitchen set yang ada di atas kepalaku. Dan itu membuat tubuhnya tepat berada di belakangku bahkan kaki kanannya menyentuh kaki kananku. Aku bergeser menjauhi tubuh Khafi. Setelah selesai, aku duduk di sofa sambil menonton TV sedangkan Khafi kembali ke ruang kerjanya.
“nonton apa Nay?” tanya Khafi seraya duduk di sebelahku.
“acara komedi. Lucu banget. Kerjaan kamu udah selesai?” tanyaku.
“udah” jawab Khafi sambil meminun minuman ringan yang ada di atas meja.
“fi, ada info perkembangan kasus Barra?” tanyaku perlahan.
“kemungkinan Barra akan di penjara kurang lebih 5 tahun Nay karena pelecehan dan kekerasan. Kamu gak usah khawatir, semua sudah di urus pengacaraku. Aku juga udah bilang ke pengacaraku untuk jangan pernah mau berdamai” jawab Khafi.
“kamu gak ada niat damai kan?” tanya Khafi.
“BIG NO !” jawabku tegas.
“bagus” ucap Khafi.
“beruntungnya polisi gak menemukan kaki tangan, semua murni dari ide dia sendiri” lanjut Khafi.
“gak apa-apa Nay. Semua sudah terkendali” ucap Khafi.
Baru pertama kalinya setelah kejadian itu aku bisa tidur lebih nyenyak. Walaupun aku belum melupakan kejadian itu tapi aku sudah sedikit lega karena Barra sudah pasti akan di penjara karena kelakuannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Storyline
General FictionNote : Cerita ini mengandung beberapa kata kasar dan adegan yang mungkin tidak nyaman bagi sebagian orang. Bercerita tentang seorang wanita bernama Iva Shanaya Una. Saat kecil, ia memiliki teman bermain bernama Okta, Kevin dan Gilang. Beberapa tahun...