-Iva Shanaya Una-
Hari terus berlalu, beberapa hari ini aku berhasil menghindari Khafi tanpa menimbulkan curiga sedikit pun. Aku juga sempat beberapa kali jalan bersama Haris seperti biasa. Namun tetap saja aku masih belum bisa menganggap Haris spesial di hatiku. Besok adalah hari sabtu dimana hari pesta ulang tahun Kevin dan mau tak mau aku pasti akan bertemu dengan Khafi.
Jumat pagi aku tiba di kantor seperti biasanya. Aku datang tepat jam 7. Beberapa hari belakangan ini aku memang datang lebih awal agar tak bertemu dengan Khafi. Aku juga sudah bisa menaiki lift walau hanya seorang diri. Aku segera memasuki lift saat pintu lift terbuka lebar namun pintu lift langsung terbuka lagi setelah baru saja tertutup. Khafi yang berdiri seorang diri di depan pintu lift. Dengan pakaian kerjanya yang rapih dan kacamata berbingkai hitam itu, dia berjalan memasuki lift dimana hanya ada aku di dalamnya. Aku segera menekan tombol lift saat Khafi berdiri di sampingku.
“pagi Nay” ucap Khafi.
“iya selamat pagi pak Khafi” jawabku formal.
“Khafi. Ini belum jam kerja” saut Khafi. Aku hanya diam.
“nanti makan siang bareng Nay” ucap Khafi.
“aku udah janji sama Lily” jawabku singkat. Khafi menarik lenganku dan mendorongku perlahan hingga punggungku menempel pada dinding lift.
“kamu pikir aku gak tau beberapa hari ini kamu menghindar dari aku. Kamu sengaja datang jam segini supaya kamu gak ketemu sama aku. Iya kan?” tanya Khafi dengan wajahnya yang hanya beberapa senti dari wajahku.
“Iya memang benar itu tujuanku” ucapku. Khafi menghelakan nafasnya.
“Kamu gak bisa terus menghindar. Suka atau gak, mau atau gak, kamu harus hadapi. Kita harus selesaikan pembicaraan kita tempo hari” ucap Khafi. Saat itu pintu lift terbuka di lantai 6. Namun Khafi langsung menahan tombolnya agar pintu lift terus tertutup.
“oke kalau begitu” ucapku kesal.
“bagus. Makan siang datang ke ruangan aku” ucap Khafi.
“oke. Sekarang lepas tokmbolnya, aku mau keluar” ucapku keu8sal. Khafi tersenyum sinis lalu melepaskan tombol lift yang tadi ia tahan menggunakan jarinya. Aku pun berjalan keluar menuju ruang kerjaku.
“Khafi benar-benar jago dalam urusan merusak mood orang” kesalku saat aku tiba di ruang kerjaku.
Sebelum jam kerja mulai, aku berusaha untuk memperbaiki moodku. Tak lupa juga aku mengabari Lily bahwa aku tidak bisa makan siang bersamanya. Tentu saja Lily sangat bersemangat mendengar kabar bahwa aku akan makan siang bersama Khafi. Waktu terus berlalu hingga jam makan siang pun tiba. Khafi meneleponku melalui ponselnya.
“jangan lupa ke ruanganku” ucap Khafi.
“iya” jawabku singkat.
Aku segera menuju ruang kerja Khafi setelah selesai merapihkan meja kerjaku. Begitu sampai di lantai 8, aku bertemu dengan Dito yang baru saja keluar dari ruang kerja Khafi.
“mbak Naya sudah datang. Silahkan masuk mbak Naya. Pak Khafi sudah menunggu” ucap Dito sambil membukakan pintu untukku.
“terimakasih pak Dito” ucapku.
“sama-sama mbak Naya” ucap Dito.
Aku berjalan masuk ke dalam ruang kerja Khafi. Di meja tamu sudah tersedia makan beberapa masakan Jepang seperti sushi, takoyaki, tamagoyaki dan gyoza. Aku melihat Khafi yang sedang berbicara melalui ponselnya memberikan gestur padaku agar aku duduk di sofa. Tak lama kemudian Khafi selesai berbicara melalui telepon dan duduk di sampingku. Dia segera membuka sumpit dan memberikannya padaku.
“makan Nay” ucap Khafi sambil melepas kacamatanya untuk bersiap makan.
“iya, terimakasih” ucapku.
“enak gak Nay? Suka kan sama makanannya?” tanya Khafi dengan nada yang sangat berbeda dari saat aku bertemu dengannya tadi pagi.
“iya enak kok” jawabku. Selama makan tak ada ucapan serius yang keluar dari mulutku ataupun mulut Khafi.
Beberapa menit kemudian kami pun selesai makan. Khafi merapihkan meja itu dan dia menolak bantuanku. Saat itu Dito masuk membawa dua cup ice coffee untukku dan Khafi. Khafi kembali duduk di sampingku saat ia sudah selesai merapihkan meja. Kulihat dari ujung mataku, Khafi meminum ice coffee miliknya sambil terus menatapku.
“oke enough. Sekarang apa yang mau kamu omongin ke aku soal pembicaraan kita tempo hari?” tanyaku.
“i found the answer tentang pertanyaan kamu” ucap Khafi dan aku mengerutkan dahiku.
“do i like you more than just a friend? And my answer is yes” lanjut Khafi.
“aku gak bermaksud untuk bikin kamu salah paham. Semua sikap aku ke kamu itu murni karena keinginan hati aku yang paling dalam. Dan aku baru menyadarinya setelah kamu menanyakan hal itu ke aku” jelas Khafi.
“aku gak akan bersikap sama ke Okta atau Lily seperti sikap aku ke kamu itu karena aku suka kamu lebih dari sekedar teman” ucap Khafi. Khafi melihatku yang terlihat bingung tak tau harus berbuat apa.
“Nay, sekarang ini aku bukan ungkapin perasaan aku. Aku bukan minta kamu untuk jawab perasaan aku. Aku cuma mau pastiin kalau selama ini aku gak bermaksud bikin kamu salah paham, aku bersikap seperti itu karena memang aku suka sama kamu. Aku akan ungkapin perasaan aku ke kamu nanti. Sekarang aku cuma mau kasih tau ke kamu. Sekarang dan untuk kedepannya nanti apapun yang aku lakuin ke kamu itu adalah salah satu usaha aku untuk dapatkan hati kamu, aku mau mulai saat ini kamu lihat aku sebagai seorang Khafi yang bukan teman baik kamu, tapi sebagai lelaki yang sedang berusaha mendekati kamu” jelas Khafi.
“aku gak minta kamu untuk melakukan apapun. Cukup diam di tempat kamu dan lihat usahaku. Aku pasti akan berusaha dengan sungguh-sungguh dan tulus untuk dapatkan hati kamu” lanjut Khafi.
Aku hanya bisa terdiam bingung harus berbuat apa dan bicara apa. Aku sama sekali tak membayangkan Khafi akan bicara seperti ini. Entah bagaimana jadinya aku sampai tak ingat apa yang aku ucapkan pada Khafi. Rasanya tiba-tiba aku tersadar sudah berada di ruang kerjaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Storyline
General FictionNote : Cerita ini mengandung beberapa kata kasar dan adegan yang mungkin tidak nyaman bagi sebagian orang. Bercerita tentang seorang wanita bernama Iva Shanaya Una. Saat kecil, ia memiliki teman bermain bernama Okta, Kevin dan Gilang. Beberapa tahun...