BAB 19

6 1 0
                                    

Sabtu pagi tepat jam 11, aku baru tiba di kantor setelah bekerja diluar kantor menemani tim audio untuk mengambil beberapa contoh suara yang bisa kami jadikan referensi dalam pengisian suara pada film yang akan kami buat. Siang itu lobi kantor terlihat sedikit ramai seperti baru saja terjadi sesuatu yang menghebohkan. Aku bersama tim audio termasuk Barra memasuki lift bersama beberapa karyawan lain.

“gw baru pertama kali lihat pak Khafi kaya gitu” ucap salah satu karyawan wanita dengan suara yang pelan. Aku sedikit terkejut karena aku tak tau apa yang terjadi.

“tapi itu asli ayahnya gak sih? Kok pak Khafi keliatan gak suka gitu ya ketemu ayahnya” ucap karyawan lain. Walaupun mereka bicara dengan suara pelan, tentu saja tetap terdengar olehku. Tak lama kemudian, dua karyawan itu turun di lantai 4.

“habis ada apa sih? Heboh banget” ucap Barra. Aku hanya mengangkat kedua bahuku.

“tapi kayanya kondisi pak Khafi lagi gak bagus” ucap Barra.

“kamu laporan nanti gimana Nay?” tanya Barra.

“jangan suka asal ambil kesimpulan. Belum tentu kondisi pak Khafi lagi gak bagus. Urusan laporan kamu gak usah khawatir itu kan urusan aku nanti” jawabku.

Setelah kembali ke ruang kerjaku, aku pun mengambil map berisi laporan mingguan yang harus aku laporkan pada Khafi. Perihal kemajuan tim produksi animasi yang sudah aku siapkan. Sepuluh menit kemudian aku berjalan menuju ruang kerja Khafi.

“pak Dito. Apa saya bisa ketemu pak Khafi sekarang untuk laporan mingguan tim animasi?” tanyaku pada Dito yang sedang duduk di meja kerjanya.

“sebentar ya mbak Naya. Saya coba tanyakan dulu” ucap Dito. Dito menelepon Khafi melalui telepon di atas mejanya.

“bisa sekitar 5 sampai 10 menit lagi ya mbak Naya. Mbak Naya tunggu dulu aja” ucap Dito sambil mempersilahkanku duduk di kursi tunggu yang berada tepat di depan meja kerjanya.

“ada apa sih pak Dito? Tadi saya baru sampai ada karyawan sampai ngomongin pak Khafi. Gak kaya biasanya” tanyaku penasaran karena aku juga melihat wajah Dito yang sedikit lebih tegang dari biasanya.

“mohon maaf saya tidak berhak untuk bercerita mbak Naya” jawab Dito.

“Oh.. oke pak Dito. Maaf saya sudah asal tanya” ucapku.

“Gak apa-apa mbak Naya” ucap Dito.

Setelah kurang lebih tujuh menit berlalu, aku di persilahkan masuk ke dalam ruangan Khafi. Aku masuk ke dalam ruang kerja Khafi dan memberikan laporan tentang tim animasi selama seminggu belakangan ini juga rencana yang akan dilakukan oleh tim animasi selama seminggu kedepan. Kulihat wajah Khafi yang sangat serius dan tegang. Seperti sedang menahan banyak emosi yang tak bisa ia lepaskan.

“Pak Khafi, apa bapak baik-baik saja?” tanyaku. Sebagai teman, aku sangat khawatir melihat keadaan Khafi.

“iya” jawabnya singkat.

“apa perlu kita batalin dulu pertemuan kita sama yang lain nanti malam?” tanyaku.

“gak perlu Nay” jawab Khafi.

“kita kumpul sesuai rencana awal” lanjut Khafi.

“oke kalau begitu” ucapku sedikit ragu karena aku khawatir tentang Khafi. Namun aku juga tak ingin terlalu berlebihan mengusik kehidupan pribadi Khafi.

Malam hari tepat pukul 9 malam. Aku tiba di salah satu lounge yang cukup besar di Kemang. Malam itu aku bersama dengan Lily, Kevin, Okta dan juga Khafi berjanji untuk berkumpul bersama. Dalam ruangan VIP, Kevin memesan berbagai macam makanan juga beberapa wine. Aku melihat Khafi masih dengan raut wajah yang sama seperti yang ku lihat terakhir kali di kantor. Malam itu Khafi banyak terdiam, melamun dan meminum wine.

Perfect StorylineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang