Saat aku mengetahui bahwa aku kembali dipertemukan dengan Naya. Aku tak segera memberi tahu Naya. Karena saat itu keadaan kantor sedang sangat sibuk dengan berbagai proyek film yang juga membuatku begitu sibuk. Aku juga berharap Naya akan mengenaliku tanpa aku beritahu bahwa aku adalah Gilang, teman masa kecilnya dan teman yang pernah mengisi hidupnya di saat sekolah menengah pertama.
Waktu tak terasa hingga satu tahun berlalu dan semua proyek film terselesaikan dengan baik terutama proyek yang dipimpin oleh Naya. Malam itu acara perayaan untuk kesuksesan film animasi yang di pimpin Naya pun di gelar. Dan malam itu aku mulai mengetahui tentang hubungan Naya dan Barra. Selama ini Dito juga mengetahui tentangku dan Naya. Karena Dito kuanggap sebagai teman, aku menceritakan banyak hal kepada Dito. Malam itu aku menggunakan alasan agar aku bisa mengantar Naya pulang dan agar aku bisa mengetahui dimana Naya tinggal.
“Dit, bulan depan kamu berangkat duluan. Nanti beli tiket pesawat buat saya dan Naya. Kalau bisa satu maskapai dan di jadwal yang sama. Jangan lupa hotel juga booking di hotel yang sama” ucapku saat aku tiba di penthouse milikku.
“baik pak” jawab Dito.
Hari keberangkatan pun tiba, dari kejauhan kulihat Naya sedang memasukkan koper miliknya di bagasi pesawat. Saat Naya melihatku, ia terkejut. Aku berusaha tetap tenang dan berperilaku seperti biasanya. Sesaat setelah pesawat take off, aku memberikan Naya brosur rundown konferensi yang akan kami hadiri. Aku dengan tulus berharap Naya bisa belajar banyak pada konferensi itu. Agar Naya bisa terus berkembang dan semakin sukses. Dalam perjalanan, aku tetap di sibukkan dengan dokumen-dokumen pekerjaan yang menumpuk. Aku melihat Naya sudah tertidur pulas sambil memegang brosur yang kuberikan tadi.
“Aku masih berharap kamu bisa mengenaliku” ucapku dengan sangat perlahan.
Beberapa detik kemudian terdengar suara pengumuman dari pramugari dan Naya pun perlahan membuka matanya. Aku kembali duduk dengan tegap di kursi penumpangku. Aku tak tahu apakah Naya mendengar ucapanku atau tidak. Di satu sisi aku berharap Naya mendengarnya namun di sisi lain aku juga berharap Naya tak mendengarnya. Aku mengajak Naya untuk menuju hotel bersama-sama karena kami menginap di hotel yang sama.
Keesokan harinya aku berangkat lebih dulu untuk menyambut beberapa tokoh penting yang akan menghadiri konferensi malam itu. Dan aku meminta Dito untuk menjemput Naya sekaligus membawakan jas lain untukku. Setelah Dito sampai, Dito segera mendatangiku untuk memberikan jas padaku.
“pak, mbak Naya sudah di dalam gedung” bisik Dito padaku. Aku mengangukkan kepala sambil memakai jas yang ia bawa. Aku kembali sibuk menyambut dan berincang-bincang dengan para tokoh penting yang hadir di konferensi itu.
Setelah acara selesai, aku melihat ke setiap sudut ruangan untuk mencari keberadaan Naya. Kulihat Naya sedang berbicara seorang lelaki yang cukup muda. Aku menghampirinya untuk mengenalkannya kepada dua tokoh penting yang sudah lama ku kenal. Baru kali itu aku melihat sisi lain dari Naya. Elegan dan cantik dengan balutan gaun hitam dengan bahu terbuka. Sesuai dugaanku, Naya masih seperti dulu. Supel dan ramah juga tetap profesional. Naya dan dua tokoh yang ku kenalkan padanya berbincang-bincang dengan baik dan lancar. Hingga aku tak sadar sudah menghabiskan beberapa gelas minuman berlakohol. Aku tetap berusaha tersadar untuk mengantar dua tokoh penting itu menuju mobil mereka. Namun segera setelah mereka pergi, kaki ku lemas dan tak bisa berdiri dengan tegak. Aku melihat Naya yang kedinginan lalu aku segera menutupi tubuh Naya dengan jas milikku.
Saat tiba di kamar hotel, entah mengapa tiba-tiba aku merasa kecewa dengan Naya yang tak mengenaliku. Dalam ketidak sadaranku aku menarik tangan Naya hingga ia terjatuh di sofa. Aku membuka kacamataku dan mendekatkan wajahku pada Naya. Dalam ketidak sadaranku, aku bertanya pada Naya.
“Naya... kenapa kamu gak ingat sama aku?” tanyaku.
“apa wajahku terlalu berbeda sejak kita kenal saat SMP dulu?” tanyaku lagi.
“atau kamu benci sama aku?” tanyaku lagi.
Aku menatap matanya berharap Naya bisa menjawab semua pertanyaanku. Namun yang ku lihat dimatanya adalah ketakutan, kebingungan dan rasa tak nyaman. Aku berusaha menyadarkan pikiranku lalu aku terduduk menyesal telah membuat Naya merasa tidak nyaman. Aku menutup wajahku karena menyesali apa yang baru saja ku perbuat pada Naya. Tak lama kemudian Dito pun tiba di kamar hotel dan Naya segera kembali ke kamarnya.
“Dit, besok saya balik ke Jakarta duluan. Kamu selesaikan urusan disini ya” ucapku sambil meminum air yang sudah dicampur madu yang Dito buat untukku.
“baik pak” ucap Dito.
Aku berjalan menuju kamar tidurku untuk beristirahat. Malam itu aku memikirkan apa yang harus aku lakukan nanti saat bertemu dengan Naya. Apa yang ada di pikiran Naya saat ini tentangku. Aku membuka galeri di ponselku dan kulihat sebuah foto yang pernah kuambil bersama dengan Naya saat SMP dulu. Aku hanya berharap Naya tak akan jijik saat bertemu denganku.
Sesampainya di Jakarta aku disibukkan dengan beberapa rapat penting yang sempat tertunda. Sore itu tepat pukul 4 sore, aku baru saja kembali dari makan malam bersama dengan beberapa investor penting. Aku segera menuju ke ruang kerjaku.
“pak Khafi. Ini beberapa dokumen yang perlu bapak tanda tangani” Dito masuk ke dalam ruanganku dan meletakkan beberapa dokumen diatas mejaku.
“baik pak Dito. Terimakasih” ucapku. Namun Dito masih berdiri di depan mejaku seperti ingin mengatakan sesuatu.
“ada apa pak Dito?” tanyaku.
“ini laporan perjalanan dari mbak Naya yang perlu bapak tanda tangani. Apakah saya perlu memanggil mbak Naya sekarang untuk melapor langsung pak?” ucap Dito sambil meletakkan laporan milik Naya ke atas mejaku.
“gak perlu. Pak Dito boleh kembali bekerja” ucapku.
“baik pak” ucap Dito.
Dito berjalan keluar ruanganku dan aku meletakkan laporan perjalanan milik Naya di bawah dokumen-dokumen lain. Aku mulai membuka, membaca dan menandatangani dokumen-dokumen yang ada di atas mejaku. Hingga akhirnya tersisa satu dokumen yaitu laporan perjalanan milik Naya. Kubuka laporan itu dan kubaca dengan seksama. Aku berpikir sejenak. Aku tahu Naya pasti bingung dengan apa yang terjadi di Bali tempo hari. Dan aku tak mungkin terus menghindari Naya dan membuat Naya terus kebingungan. Aku menekan tombol satu pada telepon di atas mejaku dimana itu adalah speed dials meja kerja Dito.
“tolong panggil mbak Naya sekarang” ucapku pada Dito.
“baik pak” jawab Dito.
Aku akan menjelaskan semuanya pada Naya dan aku akan memberitahu Naya bahwa aku adalah Gilang, teman yang dulu pernah bermain bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Storyline
General FictionNote : Cerita ini mengandung beberapa kata kasar dan adegan yang mungkin tidak nyaman bagi sebagian orang. Bercerita tentang seorang wanita bernama Iva Shanaya Una. Saat kecil, ia memiliki teman bermain bernama Okta, Kevin dan Gilang. Beberapa tahun...