BAB 25

6 1 0
                                    

Tepat pukul 10.30 pagi aku dan Khafi tiba di kantor polisi. Aku pun mulai di wawancarai oleh seorang polisi di dalam sebuah ruangan sedangkan Khafi dan Dito berada di ruang tunggu. Selama kurang lebih satu jam, aku pun selesai memberi keterangan pada polisi. Aku berjalan menuju ruang tunggu dimana ada Khafi dan Dito yang sedang menungguku. Saat tiba di ruang tunggu aku juga melihat sudah ada Haris yang ikut menungguku. Haris langsung memelukku saat dia melihatku. Semua terkejut termasuk aku sendiri terkejut dengan pelukan Haris yang sangat tiba-tiba.

“maaf Nay. Saya cuma khawatir sama kamu sejak kemarin. Maaf saya gak bisa temani kamu karena ada hal di kantor yang harus aku urus sesegera mungkin” ucap Haris setelah melepaskan pelukannya. Sejujurnya aku sedikit tak nyaman karena aku merasa aneh dan canggung saat dipeluk Haris. Aku langsung teringat kejadian semalam namun aku berusaha tetap tenang.

“kamu belum makan siang kan? Gimana kalau kita makan siang bareng” tanya Haris padaku juga mengajak Khafi dan Dito untuk makan siang bersama.

“saya masih ada urusan pak” saut Dito.

“yaudah kita bertiga aja kalau begitu” ucap Haris. Khafi menatapku, ia melihat aku yang merasa tak nyaman karena pelukan Haris tadi.

“kayaknya lebih baik Naya pulang untuk istirahat. Dia masih agak shock karena kejadian kemarin ditambah hari ini harus ceritain semua kejadian kemarin ke polisi” saut Khafi.

“oke kalau begitu. Biar gw yang antar Naya” ucap Haris. Aku terkejut dan semakin tak nyaman mendengar ucapan Haris.

“gak perlu ris. Naya sementara waktu tinggal dirumah gw. Jadi biar Naya pulang sama gw” ucap Khafi. Tentu saja Haris terkejut mendengar ucapan Khafi. Terlihat dari wajahnya seperti ia ingin berkata Kalian berdua tinggal bareng? Yakin gak bakal terjadi apa-apa?

“maaf mas Haris. Saya benar-benar ingin istirahat” ucapku pada Haris.

“gak apa-apa Naya. Aku ngerti” ucap Haris sambil tersenyum.

“kalau gitu gw balik duluan ris” ucap Khafi.

“oke” jawab Haris singkat.

Aku dan Khafi berjalan menuju mobil pribadi Khafi yang terparkir cukup jauh dari dari gedung utama kantor polisi. Saat kami sampai di mobil milik Khafi, Khafi membukakan pintu mobil untukku. Lagi dan lagi perhatian Khafi membuatku salah tingkah. Namun aku menahannya agar tak ada kecanggungan diantara aku dan Khafi.

“kamu dekat banget ya sama Haris?” tanya Khafi saat mobil sudah melaju menembus ramainya jalanan ibu kota.

“gak terlalu sih” jawabku singkat.

“oh ya? Tapi dia bisa langsung meluk kamu gitu” ucap Khafi. Aku hanya diam sambil menatap keluar jendela mobil.

“kami gak nyaman karena dipeluk Haris atau karena kalian pelukan di depan aku?” tanya Khafi.

“aku dan mas Haris memang beberapa kali jalan bareng. Tapi hubunganku sama mas Haris belum bisa mewajarkan skinship kayak tadi. Makanya aku pun gak nyaman karena mas Haris tiba-tiba meluk aku” jelasku.

“dia cuma khawatir kok sama kamu” ucap Khafi.

“Khafi...please stop. Aku lagi gak mood untuk ngobrolin hal ini” ucapku sedikit kesal.

“oke. I’m sorry” ucap Khafi.

Terlepas dari alasan Haris memelukku, aku tetap merasa tak nyaman. Bahkan rasanya saat ini aku ingin berhenti mengenal Haris. Aku sedikit kesal dengan Khafi yang tak bisa mengerti ketidak nyamananku. Seharusnya dia bisa bayangkan betapa tidak nyamannya aku setelah mengalami kejadian traumatis lalu tiba-tiba saja lelaki yang tak memiliki hubungan dekat denganku memelukku begitu saja. Sepanjang perjalanan aku dan Khafi sama-sama diam seribu bahasa.

“kamu mau makan apa Nay?” ucap Khafi setelah kami baru saja masuk ke dalam penthousenya.

“aku gak lapar fi. Aku mau tidur aja” jawabku sambil berjalan masuk ke dalam kamar.

Aku memang sangat lelah karena aku juga kurang tidur. Setelah aku merebahkan tubuhku di atas kasur, aku pun langsung tertidur pulas. Hingga tak terasa jam menunjukkan pukul 3 sore. Aku terbangun dari tidurku dan berjalan keluar kamar.

“Khafi...?” aku memanggil nama Khafi mencoba mengetahui keberadaannya.

“Khafi...?” aku terus berjalan mendekati kamar pribadi Khafi namun tak ada jawaban sama sekali. Aku berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum lalu aku kembali masuk ke dalam kamar. Aku mengambil ponselku untuk mengirimkan pesan singkat pada Khafi. Namun saat aku mengusap layar ponselku, ada satu pesan masuk yang ternyata dari Khafi.

Nay, aku tiba-tiba harus ketemu sama investor dan mungkin pulang agak malam. Kalau kamu bosan, ada beberapa novel dan komik di ruang kerjaku, masuk aja. Dan aku tadi udah beli makanan untuk kamu. Jangan lupa dihangatkan sebelum kamu makan. Jangan sampai gak makan. Isi pesan Khafi padaku.

Oke. Terimakasih banyak fi. Aku segera menjawab pesan itu.

Setelah membaca pesan dari Khafi, aku berjalan keluar menuju meja makan. Kubuka tudung saji berwarna biru itu. Kulihat piring putih yang diatasnya terdapat nasi dan katsu juga capcay yang di taruh diatas mangkuk kecil berwarna biru. Aku memasukkan makanan itu ke dalam microwave untuk menghangatkannya. Setelah selesai makan, aku duduk sebentar di sofa ruang tamu sambil memainkan ponselku. Aku membalas beberapa pesan yang datang dari tim produksiku. Mereka sudah mengetahui apa yang aku alami, mereka memberikan semangat untukku juga menenangkanku soal pekerjaan. Entah harus bagaimana nanti saat aku kembali bekerja dan bertemu mereka. Aku malu tapi aku juga tak bisa terus bersembunyi. Aku wanita dewasa dan aku harus menghadapi ini semua dengan tabah.

Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Aku bergegas mandi membersihkan tubuhku. Setelah mandi, aku memasuki ruang kerja Khafi untuk melihat apakah ada buku menarik yang bisa kubaca. Aku memperhatikan dengan seksama setiap sudut ruang kerja itu. Diatas meja kerjanya terdapat beberapa bingkai foto. Foto Khafi bersama ibunya, bersama kakeknya bahkan ada foto Khafi saat SMP bersamaku, Lily dan Dewa. Aku mengambil bingkai foto itu, kulihat setiap wajah yang ada di foto itu. Membuatku mengingat masa-masa itu. Tak lama kemudian aku melihat-lihat buku yang ada di lemari buku milik Khafi. Aku mencari buku yang menarik dan akhirnya aku tertarik untuk membaca sebuah buku berjudul Perang Seni karya Setephen Pressfield. Kubawa buku itu ke ruang tamu dan aku membacanya sambil bersantai di sofa ruang tamu.

Aku terus membacanya sampai akhirnya aku tak sadar tertidur pulas di sofa itu. Terakhir kali aku melihat jam, jam menunjukkan pukul 7 malam. Padahal hari itu aku tak ada kegiatan apapun selain ke kantor polisi namun rasanya aku sangat lelah dan seluruh badanku masih terasa sakit. Tepat jam 8 malam, Khafi tiba di rumah. Ia melihatku yang sedang tertidur pulas di atas sofa. Khafi segera mengambil selimut dari dalam kamarnya. Khafi mengambil perlahan buku yang ada diatas perutku sebelum menyelimutiku dengan selimut yang ia bawa. Entah karena kasihan atau bukan, Khafi menatap wajahku cukup lama sambil sesekali merapihkan rambut yang menutupi wajahku. Beberapa menit kemudian Khafi kembali ke kamarnya.

Perfect StorylineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang