"Huft." Nayara baru saja sampai di halaman kantor dan langsung menuju kafe di lantai pertama untuk memesan kopi ketika mendapatkan pesan dari emailnya. "Lembur lagi."
Nayara menghela napas namun keningnya berkerut saat sebuah notifikasi muncul menampilkan berita dipagi hari.
Prabu mengusulkan pemindahan Panti Asuhan diatas tanah negara ke tempat lain.
Nayara langsung memilihnya dan membaca nya lekat-lekat. Menggulir ponselnya pelan-pelan agar bisa membaca tiap informasi di tiap bait kalimat dengan baik.
Setelah membaca nya, Nayara merasakan darahnya mendidih. Dewi, teman kantornya salah satu pengurus Panti Asuhan tersebut. Nayara juga sering bermain ke sana bahkan anak-anak Panti sudah mengenalnya. Membaca berita ini cukup membuat darahnya naik.
Nayara langsung memegang erat ponselnya dan memberikan komentar disana.
"Yang memberi hadiah tak pantas meminta hadiahnya kembali apalagi berniat menukarnya."
Dia tahu, komentarnya pasti akan dilirik oleh banyak orang. Sebagai salah satu anak dari pemegang jabatan, Nayara cukup lantang menyuarakan pendapatnya. Bahkan beberapa kali, setiap ada isu, banyak orang yang menantikan komentarnya.
Namun, Komentar Nayara seringkali di anggap sebagai dayung ombak karna terkesan membela sang Ayah. Seperti masalah Panti Asuhan, Candra adalah orang yang menentang Panti itu di pindahkan dan Nayara setuju.
Sialnya, Nayara sering mempunyai pendapat yang sama dengan pria yang paling dia benci itu.
Walaupun dia suami dan ayah yang paling buruk sejagat raya tapi Candra tak pernah gagal menjadi wakil rakyat.
Tiba-tiba Nayara mendengar kekehan kecil dibelakangnya membuat dia spontan menoleh. Nayara tersentak saat mendapati tubuh besar bos nya ada tepat dibelakangnya, ikut mengantri.
"Kamu bisa saja kena cancel masyarakat karna kritikan mu itu."
Nayara langsung memasang wajah merengut. "Cancel satu orang yang berbeda pendapat bentuk dangkal nya pendidikan negara."
Tian tersenyum kecil. "Masalahnya, kalo kamu kena cancel," Tian memajukan wajahnya sedikit kearah telinga gadis itu lalu berbisik. "Perusahaan ini juga kena imbasnya."
Tian menarik kembali tubuhnya sambil tetap tersenyum sedangkan Nayara masih terdiam ditempat. Ia hampir tak bisa bernapas dan jantungnya berdebar, ia langsung memaki dirinya sendiri karna walaupun ia sadar, ia masih saja tak bisa menggerakkan tubuhnya dan tetap mematung.
Ia pasti terlihat seperti orang idiot.
"Silahkan, mau order apa hari ini, Kak Nay?"
Nayara akhirnya tertarik ke kenyataan. Ia mengerjapkan mata nya beberapa saat sebelum berpaling dan menghadap kasir dari kafe kantor.
"Aku mau—"
"Kamu sudah makan?"
"Caramel Machiatto satu, no ice ya." Nayara melirik ke arah bos nya, "Belum."
Tian menarik napas dan menatap kasir. "Tambah rice box nya satu ya, Ke."
Kasir menatap Tian lalu Nayara, meminta gadis itu mengkonfirmasi.
"Mas—Pak." Nayara melirik pria itu lagi sambil mengerutkan keningnya. "Aku—"
"Kalau asam lambung kamu kumat lagi, pekerjaan kamu ga akan selesai, yang rugi juga saya." Tian tersenyum tanpa dosa lalu kembali menatap kasir. "Sama Americano satu ya."

KAMU SEDANG MEMBACA
HIS SIN
Narrativa generale"I am his sin." Nayara, perempuan muda, berbakat, centil dan menggemaskan takkan pernah mengira akan punya sekelibat hubungan dengan atasan tampan di saat istri nya sedang hamil.