Nayara mengerjapkan mata nya beberapa kali sebelum netra nya terkontaminasi cahaya dari lampu ruangan. Nayara menarik napas panjang dan berusaha membuka mata nya, otak adalah bagian yang paling cepat bekerja untuk menyadari bahwa dia berasa ditempat yang asing, tak pernah ia datangi sebelum nya.
Karna syok, Nayara bangkit namun pusing langsung menghantam kepala nya membuatnya kembali merebah sambil memegangi kepala nya.
Pergerakan Nayara menimbulkan suara dan menarik perhatian dari insan lain yang ada disana.
"Kamu sudah bangun?"
Nayara menoleh, ia menyipitkan mata nya sejenak lalu tiba-tiba melotot. Ia langsung menarik rapat selimutnya. "Pak Tian?!" Nayara mengenali pria yang bertubuh tinggi besar yang masih memakai pakaian yang sama sejak terakhir kali ia melihatnya.
Tian diam lalu tersenyum geli, ia melangkah menuju nakas. "Kamu masih berpakaian, Nay."
Dengan bodohnya Nayara mengintip ke balik selimut untuk membuktikan ucapan nya dan ternyata benar. Lalu Nayara mengutuk tindakan nya sendiri. Lantas ia mencoba bangkit dan duduk di atas kasur empuk itu.
Tian mendekat sambil membawa meja kecil berisi makanan dan meletakkan nya ke atas tempat tidur. "Kamu di tempat saya." ujar Tian sambil berkacak pinggang berdiri di sisi kasur.
"Bapak—"
"Sebelum kamu nuduh saya yang engga-engga, asam lambung kamu kambuh." Tian langsung memotong, "Saya memanggil dokter kemari, dia juga udah kasih obat," Nayara melihat tablet obat di samping piring. "Tadi dia juga udah nyuntikin kamu vitamin dan dia nyuruh saya untuk langsung kasih kamu makan begitu kamu bangun."
Nayara diam, ia masih mencoba mencerna apa yang terjadi. Semua terlalu tiba-tiba. Nayara meraih kening dan mengusapnya pelan. "Kalo istri bapak liat bapak bawa perempuan kemari. Gimana?"
"Kamu di Apartemen, bukan rumah saya. Dia ngga ada di sini, dia ga pernah ke sini, dia juga ga tahu ada tempat ini." Nayara spontan menatap pria itu namun yang di tatap hanya memberi ekspresi datar.
"Tapi Pak—"
"Habisin makanan nya." Lagi-lagi Tian memotong, seperti enggan membahas hal itu dan memilih untuk melangkah menuju pintu, hendak pergi dari sana.
"Pak Tian mau kemana?"
"Keluar." Tian meraih engsel pintu saat menoleh, ia diam sejenak lalu tersenyum kecil. "Saya takut saya yang kelaparan lihat kamu, Nay."
Setelah mengatakan hal itu, Tian langsung keluar dan menutup pintu nya meninggalkan Nayara sendirian di sana dengan jantung yang kembali berdebar tak menentu. Tian dan mulut kotornya seakan menjadi senjata paling ampuh untuk melemahkan Nayara.
*.*.*.*.*.*.
"Pak Tian."
Pemilik nama menoleh. Dan itu bisa menjadi tembakan panah bagi Nayara melihat pria itu memakai kaos putih polos membungkus tubuhnya sempurna memperlihatkan otot lengan dan celana jogging yang seperti teriak minta tolong duduk di sofa dengan laptop dipangkuan nya dan beberapa kertas berserakan di sekitarnya.
Nayara merasa seperti seorang idiot karna merasa cemburu dengan laptop yang duduk di atas paha kekar nya.
"Kenapa Nay?"
Nayara memejamkan mata nya sejenak lalu menggeleng samar, menghilangkan pikiran aneh di kepala nya.
Setelah makan dan minum obat, Nayara kembali tertidur. Dan ketika bangun, Nayara melihat dinding kaca ruangan tersebut sudah menampilkan sinar matahari pagi.
"Aku harus pergi."
Tian meletakkan laptopnya ke atas meja lalu bangkit dari duduknya dengan kening berkerut. "Kenapa?"
Nayara menelan ludahnya kasar saat melihat tubuh sempurna pria itu dengan jelas, seketika kewanitaan nya terasa gatal. Bagaimanapun, Nayara harus segera pergi dari sana sebelum ia melakukan tindakan bodoh diluar kendali nya.
"Absen nya satu jam lagi. Aku harus—"
"Nay," Tian memotong sambil tersenyum geli, lalu berjalan mendekat seakan menipiskan oksigen untuk gadis itu. "Ini tanggal merah."
Mata Nayara membola lalu spontan menatap ponselnya dan benar, hari libur nasional. Pantas saja tidak ada satupun pesan dari Dewi yang mengingatkan nya untuk segera berangkat ke kantor. Nayara menghela napas sambil memejamkan mata nya lalu ketika itu kembali terbuka, Nayara bisa mati berdiri melihat Tian berdiri tepat di hadapan nya. Terlihat menjulang dan gagah.
Nayara mengigit bibirnya, salah tingkah. Seketika mulutnya kelu untuk bicara dan otaknya seperti tak berfungsi untuk mencari alasan agar ia bisa pergi dari sini.
Tian menaikkan satu alisnya. "Kamu mau menghindari saya, Nay?"
Nayara menelan ludahnya kasar, ia mendongak untuk menatap pria itu lalu menggeleng dalam diam.
"Lalu kenapa kamu terlihat enggan disini?" Tian menatapnya dingin. "Saya bahkan belum mendengar ucapan Terimakasih dari kamu."
Nayara menunduk sambil mengulum bibirnya. Dia benar-benar salah tingkah. Dia tak ubah anak kecil yang tidak tahu harus melakukan apa dan perlu di ajari banyak sopan santun.
Tapi bukan tanpa sebab, Tian lah yang menjadi alasan kekacauan di dalam dirinya. Dan Tian juga menjadi alasan asam lambung nya kambuh, jika saja dia tak membebankan dirinya dengan banyak kerjaan dan revisi, tentu ini takkan terjadi.
Nayara akhirnya menarik napas panjang dan berusaha menetralisir semua perasaan aneh di dalam tubuhnya hingga akhirnya dia bisa mengambil alih kendali diri nya.
Nayara kembali menatap Tian, "Terimakasih banyak, Pak. Atas pertolongan dan perhatian Bapak. Aku bener-bener berterimakasih banget. Tapi kayaknya aku harus pulang," Tian menaikkan satu alisnya. "Kerjaan ku masih banyak, Pak."
Tian diam beberapa saat lalu terkekeh kecil. "Kamu beneran anak Pak Candra, ya." Tian tersenyum. "Sebagai bos kamu, saya senang dengan usaha dan kerja keras mu untuk menyelesaikan pekerjaan tapi sebagai Tian," ia diam sejenak, "Saya melarang kamu bekerja hari ini."
Nayara mengerutkan keningnya heran.
"Revisi kamu sudah saya approve dan beberapa yang lain punya tenggat yang masih lama. Jadi kamu bisa bersantai hari ini selagi ini tanggal merah."
Nayara semakin keheranan. "Bapak emang Bos aku tapi—"
"Kamu di luar kantor, Nayara. Jangan panggil Bapak." Tian memotong dengan wajah tidak suka.
Nayara diam sejenak lalu menghela napas. "Tapi Mas ga bisa ngelarang—"
"Mas's so much better."
"—Aku harus kerja apa ngga di hari libur, emang Mas siapa?"
Nayara menelan ludahnya kasar. Sial, dia memang harus keluar dari tempat ini secepatnya. Dia menjadi manusia aneh yang tidak tahu cara berpikir. Apalagi ketika ada keheningan diantara mereka setelah Nayara selesai bicara.
Tiba-tiba Tian mendekat dan satu tangan nya meraih pinggang gadis itu lalu menariknya hingga tubuh mereka bertabrakan. Nayara mematung, rasa nya sel-sel saraf di tubuhnya berhenti bekerja kecuali jantung nya. Yah, jantung nya berdebar hebat seakan Tian bisa mendengar detakan nya tersebut.
Tian tersenyum kecil, "Your sugar daddy, you said."
Nayara yakin wajahnya sudah memerah dan memasang wajah marah tidak akan membantu sama sekali namun ia tetap melakukan nya. "Aku belum terima tawaran itu."
Tian merendahkan suara nya. "I'll wait, Nayara."
![](https://img.wattpad.com/cover/357354232-288-k444865.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
HIS SIN
General Fiction"I am his sin." Nayara, perempuan muda, berbakat, centil dan menggemaskan takkan pernah mengira akan punya sekelibat hubungan dengan atasan tampan di saat istri nya sedang hamil.