18. Centil

7.3K 753 623
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Masa vomentnya harus diminta terus si, frennn :((

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Masa vomentnya harus diminta terus si, frennn :((

Ayo dong inisiatif vote sebelum baca, perbandingan vote sama viewsnya jauh lho, ga susah juga cuma pencet bintang aja di pojok kiri 💔

Kalo gini terus aku ending di versi novel aja ya 💔💔💔

*600 vote dan 600 komen*

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
🎀
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ

Pagi ini Khadijah mengajak Ayah dan Bunda berjalan-jalan di desa, hanya bertiga karena Khairil mengajar. Khadijah mengajak Ayah Bunda ke kebun, kantor desa sampai ke penjual seblak langganannya.

"Ija suka jajan di sini, jajan yuk Ayah," ajak Khadijah menunjuk warung langganannya.

"Ada maunya ternyata," kekeh Ayah menyentil pelan kening Khadijah.

Khadijah menarik Ayah dan Bunda mendekat, warung tampak sepi karena belum jam istirahat. Khadijah memperkenalkan Ayah Bunda kepada pemilik warung —Teh Yani.

"Mangga calik, puntennya ngan aya korsi bolong, biasa, reksak ku para santri," —silakan duduk, maaf cuma ada kursi bolong, biasa, rusak sama para santri— katanya dalam bahasa Sunda.

"Teu sawios, Neng," —nggak apa-apa, Neng— sahut Bunda ramah. Pemilik warung ini memang terlihat masih muda.

Khadijah hanya diam, dia memang tidak bisa dan belum sepenuhnya mengerti bahasa Sunda. Khadijah memesan beberapa makanan, seblak dan goreng gorengan, walau sebenarnya sudah dilarang karena masih pagi.

Setelahnya, mereka kembali ke rumah dan menikmati apa yang mereka beli. Pagi langit tampak gelap dan rintik hujan mulai turun.

"Kalau hujan, air naik ke halaman nggak?" tanya Bunda.

KhairilijaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang