Pagi itu, udara terasa segar dan sedikit berembun. Langit berwarna biru pucat dengan sinar matahari yang masih lembut menyinari jalanan yang sepi. Muthe dan Gita berjalan berdampingan, melewati deretan kios kecil di tepi jalan yang mulai beroperasi. Suara gemerisik dedaunan dan burung-burung yang berkicau di pepohonan sepanjang trotoar menciptakan suasana tenang yang menyejukkan.
Sesekali, Muthe menghela napas panjang, menggumamkan sesuatu tanpa suara, sementara Gita memandangnya dengan senyuman kecil yang lembut. Setelah beberapa langkah, Gita pun bertanya, "Jadi, kamu mau makan apa?"
"Kak Gita sekarang paling nggak suka makan apa?" Tanya Muthe.
Gita mengerutkan alis. "Eh, kok gitu."
"Udah jawab aja," ucap Muthe cepat.
"Yaudah, bubur deh," jawab Gita pasrah.
Muthe langsung menyahut dengan antusias, "Nah, oke, ayo kita makan bubur. Let's go!"
"Jahat," gumam Gita, tetapi ia tetap mengalah, mengingat suasana hati Muthe yang sedang labil.
Mereka pun berjalan menuju warung bubur ayam yang berjarak beberapa ratus meter dari rumah. Suasananya khas kedai makan pinggir jalan; sederhana, aroma kaldu bubur yang hangat menguar di udara. Di bawah atap tenda sederhana yang membentang, beberapa kursi plastik dan meja kayu tertata rapi. Di samping gerobak bubur, asap tipis mengepul, menambah kehangatan di pagi yang sedikit berangin itu.
"Pak, bubur ayam dua bungkus, ya," kata Gita kepada penjual.
"Siap, Mas," jawab penjual sambil tersenyum ramah.
Tiba-tiba Gita terkejut melihat siapa yang ada di ujung seberang gerobak bubur—Kathrina berdiri, menatapnya sambil tersenyum kecil, seolah menunggu Gita untuk menyadari keberadaannya. Saat mata mereka bertemu, Kathrina menyapa, "Ehehe, akhirnya sadar juga. Halo, Gita." Ia kemudian berjalan mendekat menuju Gita dan Mithe.
Senyum Gita merekah seketika. "Eh, halo juga, Kathrina..." sapanya.
Sebelum percakapan berlanjut, Muthe langsung memotong dengan ketus, "Gak usah sok asik halo-halo."
Gita menoleh pada Muthe. "Muthee, gak boleh gitu dong."
Muthe pun menghela napas dan membuang muka, memasang ekspresi cemberut.
Kathrina hanya tersenyum canggung melihat sikap Muthe. "Maaf ya," kata Gita sambil melirik ke arah Muthe, "dari tadi mood-nya memang lagi jelek."
Kathrina sedikit terkejut mendengar permintaan maaf itu. Ia memandangi Gita, bertanya-tanya apakah Gita benar-benar berubah seperti yang dirumorkan orang-orang. Dengan senyum tipis, ia menjawab, "Hehe, gak apa-apa kok. Kamu sendiri gimana? Udah enakan?"
Muthe yang sedang mendengarkan langsung menggumamkan, "Kepo banget, deh." Meski terdengar pelan, nada sebalnya cukup jelas bagi Gita dan Kathrina.
Gita hanya tersenyum sambil mengabaikan komentar Muthe. "Iya, udah jauh lebih baik dari kemarin-kemarin," katanya, matanya tak lepas dari wajah Kathrina. Hatinya terasa hangat; orang yang menjadi tujuannya dunia ini berada di depannya sekarang, sosok yang ia rindukan pada setiap hari-harinya, kini benar-benar ada di hadapannya, berbincang dengannya.
Seolah-olah waktu berhenti, Gita dan Kathrina saling menatap tanpa kata-kata, pandangan mereka terkunci satu sama lain. Suasana sekitarnya seperti memudar, membiarkan hanya mereka berdua yang ada di dalam momen itu.
Sementara itu, Muthe mengamati mereka dengan raut wajah sebal. Akhirnya, dengan nada jengkel, ia meraih tangan Gita dan menariknya. "Udah, aku gak jadi mau bubur," gumamnya ketus.
Gita terkesiap dan menahan genggaman Muthe. "Ehhh, apaan sih Muthee? Aku kan udah pesan."
Muthe mendesah sambil mencubit lengan Gita. "Lagian kamu di sini malah genit-genit," ucapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deux Mondes (Gitkathmuth 😁)
Fanfiction(update tiap akhir pekan) "I can't do it, Helisma. Aku gabisa buat kathrina jatuh cinta lagi." "Maafin aku, Gita. Aku gabisa biarin kamu jatuh di tangan kathrina." "Jangan menangis, cantik. Hal terakhir yang ingin aku lihat adalah senyumanmu."