22

19 13 2
                                    

TANDAI TYPO⚠️

Jangan lupa kasih 🌟 dan komennya 💬 biar aku nambah semangat nulisnya.

BUAT READERS, FOLLOW DULU AKUN AKU BIAR BISA DAPAT NOTIF :

SELAMAT MEMBACA SEMOGA SUKA AMIN,,,,,

*
*

Hari ini adalah hari dimana aku, Karel dan Lisa pergi ke pameran atas ajakan ku kemarin kepada Karel.

Aku sudah sampai ke tempat pameran lebih dulu dibanding Karel dan Lisa. Sebelumnya Karel bilang mereka akan berangkat bersama karena rumahnya berdekatan. Ya udah, aku bisa apa.

Semangat, azell. Kalo dikacangin sama Karel, tampol aja kepalanya.

Mana tega aku, tampol dia zaa.

Balasku dengan kekehan kecil.

Karena mereka tak sampai-sampai jadi aku, bertukar pesan dengan azaa lebih dulu, mengeluh seperti biasa.

"Azell!!"

Suara familiar tapi jarang ku dengar, itu suara Lisa.

Aku tersenyum seraya melambaikan tangan sebagai tanda menyuruhnya mendekat. Kulihat Karel yang mengikutinya dari belakang dengan langkah santai.

"Sumpah keren banget pamerannya, aku kaget pas pertama masuk kok ada yang di pajang diluar." Ujar Lisa

"Hahaha, sama, aku juga kaget." Balasku

"Di dalam ada juga kan? Mau ke dalam dulu, gak?"

Aku mengangguk. "Boleh, boleh."

Lisa tersenyum bersemangat lalu merangkul lenganku, dan Karel mengikuti dari belakang. Imajinasi azaa perihal keadaan hari ini ternyata benar, dalam hatiku tertawa mengingat itu.

"Udah lama nunggu, ya? Sorry tadi Karel beli bensin dulu jadi kita mutar-mutar."

"Gak terlalu lama, kok. Seru juga tadi sambil liatin seniman pada ngelukis."

"Dulu aku cuman liat di internet, gak nyangka sekarang liat mereka secara langsung. Sambil ngelukis pula."

Aku hanya tersenyum untuk menanggapi ucapan.

Dan Karel tiba-tiba mengeluarkan ponsel yang ku tebak untuk memfoto lukisan-lukisan tersebut.

"Ayo cepat, tadi katanya mau foto." Ujarnya pada Lisa yang membuatku mengernyit bingung.

"Ayoo."

Lisa menarik lenganku menuju salah satu lukisan besar. Ia berdiri membelakangi lukisan seraya berpose. Aku yang mengerti sigap langsung meminggir menjadi berdiri sejajar dengan Karel.

"Harus bagus, ya, rell."

"Emang pernah gue fotoin jelek?"

Aku mendengus geli, bisa pede juga ternyata.

"Lagi?" Tanya Karel pada Lisa

"Udah."

Lisa berjalan menuju lukisan sebelah sambil memfoto-foto lukisan tersebut.

"Lo mau foto juga, gak?"

"Hah?"

Karel menggoyangkan ponsel di genggamannya dengan posisi masih sama seperti ia memfoto Lisa tadi.

"Oh..." Aku dengan kikuk membuka tas untuk mencari ponselku sendiri. "Bentar gue ambil...."

"pake hp gue aja dulu." Potongnya cepat.

Tahan Hazel, jangan goyah, ucapku berulang-ulang di dalam hati.

"Ya udah." Ucapku terdengar pasrah padahal hatiku meledak-ledak. Apa aku bisa berpose bagus di depan orang yang kusukai? Apalagi ia ya memegang kamera.

"Nanti kirim, ya."

Karel hanya mengangguk.

Karena Lisa yang sudah lumayan semakin jauh, jadi ku susul ia duluan , meninggalkan Karel yang sedang mengotak-atik ponselnya entah untuk apa.

Tapi di tengah itu aku tersadar. Harusnya tadi ku tawarkan juga Karel untuk foto sendiri di depan lukisan. Siapa tau dia juga berharap aku akan gantian memfotonya.

Sayang sekali kalau tidak. Wujud tampangnya hari ini harus di abadikan.

"Kar..."

Bugh!!

"Astaga"

Aku mengusap dahiku yang entah tertabrak apa barusan. Yang pasti sangat keras sampai membuat kepalaku berdenyut nyeri.

"Hazel!!"

Aku tau itu suara Karel, tapi kepalaku tak bisa mendongak untuk melihatnya karena sekarang kepalaku terasa pusing.

"Ke minggir dulu sini."

Sebuah tangan menarik pergelangan tanganku untuk berjalan ke tepi ruangan yang disediakan tempat duduk.

"Sakit," gumamku seraya meringis

"Coba liat dulu." Pinta Karel padaku

"Yang ini." Tanyanya

Mataku yang tadinya tertuju perlahan terbuka.

Kalau saja tak sakit, pasti aku bisa teriak sekencang-kencangnya melihat Karel dari dekat yang bahkan kukira jarak wajah kami tak sampai sejengkal.

"Iya."

Lemas sekali rasanya. Entah lemas karena nyeri di dahiku atau lemas karena ditatap Karel dari jarak sedekat ini.

"Sampai biru gini." Ucapannya lembut seraya mengusap dahiku.

"Gak papa, kok"

Dengan sigap langsung ku jauhkan kepalaku dari tangannya Karel. Bisa-bisa jantungku bahaya kalau di lanjutkan.

Aku tau harusnya aku memanfaatkan momen ini sebaik-baiknya. Tapi ternyata tak semudah yang dibayangkan. Baru melirik sedikit saja rasanya jantungku sudah melorot.

Karel pakai pelet apa, sih, sebenarnya????

"Azell, kenapa??"

Lisa tiba-tiba menghampiri kami yang membuat Karel menggeser posisi duduknya, mempersilahkan Lisa untuk duduk di sampingku.

"Kejedot lamari patung. Tadi pas dia balik badan pas-pasan sama lemari yang lagi dibuka, penjaganya mau mindahin patung dan lupa gak nutup pintu lemari nya lagi."

"Astaga, sakit banget, gak? mau beli salep dulu?"

"Gak usah, udah mendingan kok."

Aku mendongak menatap keduanya. Ujung bibir Karel berkedut seperti ingin tertawa melihat dahiku.

Memalukan sekali, ya tuhan.

"Nanti di rumah langsung di kasih salep, ya."  Ujar Lisa

"Iyaa"

Aku berdiri, kemudian menunjuk luar ruangan. " Sekarang coba ngelukis aja yuk, kayaknya seru."

Tanpa ba-bi-bu Lisa dan Karel langsung menyetujui.

Semoga aku tak terlihat aneh karena tiba-tiba ceria padahal sebelumnya habis tertimpa musibah. Tapi demi menetralkan sakit, rasa malu, dan rasa salah tingkah hanya ini yang bisa kulakukan.

*
*
*

Hello,, gimana dengan part ini?

Jangan lupa kalau komen dan vote ya gayss!

      Span next disini 👉👉

Satu kata buat part ini?

Sekian dan terimakasih sudah berkenan membaca💚

Penasaran? Tunggu chapter selanjutnya yahh.
















 

Satu kisah untuknya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang