Kehidupan Raka terasa hampa tanpa seorang Ghisela selama beberapa tahun silam lamanya menghilang. Ia mengunci hatinya untuk siapapun, dan berharap Ghisela kembali dalam hidupnya.
Dulunya ia sangat membenci kehadiran Ghisela, namun sekarang malah berakhir merasa kehilangan saat gadis itu menghilang entah kemana.
Raka sendiri sekarang sudah memiliki usaha kecil-kecilan, semacam tempat ngopi di pinggiran jalan. Namun bukan seperti warung, lebih tepatnya kafe sederhana.
Ayah-nya sudah meninggal dunia akibat kecelakaan, dan sekarang Raka hanya tinggal bersama mama-nya saja-- Ustazah Siska.
"Ngelamun terus, mikirin apaan si? Mau kawin lo?" tanya Ovi-- gadis ini bekerja sebagai pelayan di kafe yang Raka punya.
Raka tersenyum hambar, "Gapapa." jawabnya singkat.
Meski sudah 4 tahun silam, ia tetap merindukan Ghisela. Dimana gadisnya? Sedang apa, apakah bahagia?
Kini hanya sebuah doa yang bisa melindungi dimana-pun Ghisela berada, dan berharap keajaiban itu tiba-- dimana keduanya benar-benar di pertemukan dalam satu waktu yang selama ini Raka inginkan.
"Meja nomer 8 udah lo siapin pesanan-nya?" tanya Raka.
"Beres. Lo sebenernya kenapa sih? Cerita kek sama gue!" Ovi duduk di samping Raka.
"Gue gapapa," Raka beralih meninggalkan gadis itu. Sikap Raka yang cuek seperti ini, yang membuat para gadis manapun enggan mendekat. Mereka mengira Raka sedang menjaga perasaan oranglain, atau memiliki pacar yang di sembunyikan. Padahal kenyataannya, Raka sedang menunggu seseorang yang hingga detik ini berhasil membuatnya sulit jatuh hati pada siapapun lagi.
Malam itu Raka bermimpi Ghisela di kejar oleh sosok mengerikan. Gadis itu sendirian, tidak ada yang menolongnya, menjerit kesakitan karena sosok itu melukainya.
Hingga Raka terbangun tepat pada pukul 1 malam, bergegas mengambil air wudhu, menunaikan ibadah sunah tahajud-nya lalu mendoakan Ghisela.
Apa yang Raka impikan rupanya adalah keadaan yang nyata yang sedang Ghisela alami. Dan doa itu menyelamatkan Ghisela dari sosok yang jahat yang hendak mencelakainya.
Keduanya memang berjauhan, bahkan tidak saling berkomunikasi, namun kenyataannya doa dari seseorang yang hatinya tulus sampai pada sang pencipta, menembus langit, dan menjadi sebuah perlindungan untuk seseorang yang namanya di sebut dalam doa.
Raka tahu, Ghisela sendirian. Itu sebab ia mengirim banyak doa agar gadis itu selalu terlindungi.
>
>Luka di wajah serta di beberapa bagian tubuh Ghisela masih terasa linu. Ghisela masih berada di ruang inap rumahsakit bersama dengan Elang yang menemaninya.
"Makan dulu ya," ucap Elang yang berusaha membantu Ghisela agar berganti posisi menjadi duduk.
"Aku bisa sendiri." acuhnya.
"Aku minta maaf,"
Ghisela menatap Elang, "Kamu fikir maaf kamu bisa ngembaliin semuanya? Luka di wajah sama di badanku bisa sembuh, tapi luka di hati aku apa bisa sembuh juga Elang?"
"Maksud kamu--"
"Aku udah tau semuanya, Hana yang ngomong hal itu saat dia rasukin tubuh aku. Aku fikir kamu setia, aku fikir kamu benar-benar cuman punya aku, ternyata ada cewek lain?" bulir airmata menetes membasahi pipi.
"Dengerin aku dulu, kenapa kamu harus percaya sama omong kosong arwah gentayangan itu?"
"Apa yang Hana bilang itu kebenaran!"
"Aku gak ada cewek lain."
Ghisela menghela nafasnya kasar, "Aku gak pengen debat! Aku udah tau semuanya, dan aku mau kita putus."
"Makan dulu ya, biar aku suapin sayang--"
Ghisela mengambil mangkuk berisi bubur itu dengan kasar, lalu ia menyuapi dirinya sendiri.
Sebenarnya Ghisela tipe yang tidak bisa marah, ia tidak bisa melukai orang-orang di sekitarnya dengan amarah, akan tetapi kali ini sungguh hatinya sakit dan kecewa. Meskipun Elang mengatakan Hana berbohong, tetap saja Ghisela tidak yakin, ia berharap segalanya segera terungkap.
Semenjak mengetahui itu, Ghisela tidak lagi banyak bicara. Ia lebih banyak mengacuhkan Elang, bahkan kelihatan tidak perduli.
Seperti saat ini, usai di rawat inap selama 3 hari di rumah sakit, ia kembali ke apartemen dan selalu mengalihkan prilaku Elang.
"Minum susu ya, kamu di rumah sakit gak mau makan nasi. Aku buatin susu ya?" tanya Elang.
"Gak perlu."
"Sayang hei--" Elang menarik tangan Ghisela, membawanya pada pelukan. "Kamu gak percaya sama aku? Aku sama sekali gak khianatin kamu."
"Aku tau setan punya tipu daya, tapi Hana gak bohong. Hana itu arwah yang masih ada disini karena belum tenang, dia bukan setan!"
"Aku sama sekali gak duain kamu."
"Aku kecewa Elang!"
BRAK!!
Pintu kamar apartemen Ghisela tutup rapat dan ia kunci. Di dalam sana wanita ini menangis sampai sesegukan, Pria yang ia cintai dan ia percaya selama ini rupanya memiliki wanita lain bahkan wanita lain itu sedang mengandung anaknya.
Malam harinya Elang masih menunggu di depan pintu kamar, sejak sore tadi ia masih setia duduk di depan pintu kamar demi menunggu Ghisela keluar.
Cekrek.
Ghisela membuka pintu, dan buru-buru Elang berhadapan dengannya.
"Apaan sih!" ketus wanita itu.
"Mau apa? Laper? Mau makan apa, biar aku keluar cari makanannya."
"Gak! Aku bisa keluar sendiri!"
"Jangan kaya gini, aku mohon. Aku gak bisa kamu acuhin terus kaya gini, aku benar-bener gak khianatin kamu Ghisel. Tolong percaya sama aku, aku--"
PLAK!!
Tamparan keras itu melayang di pipi Elang. Namun pria itu tetap diam, tidak sama sekali menunjukan ekspresi marahnya.
"Aku mau keluar dari sini, lepasin aku buat selamanya!"
Percayalah, kalimat itu lebih menyakitkan daripada tamparan yang baru saja Ghisela berikan untuk Elang.
KAMU SEDANG MEMBACA
SESAT (END)
HorrorJin dan Manusia itu hanya berdampingan bukan seharusnya bersatu lalu bersekutu untuk tujuan yang SESAT.