Bab 31: Dari Mana?!
“Perang tidak mematuhi aturan. Itu adalah bentuk seni yang dibentuk oleh strategi dan keberanian.” -- Carl von Clausewitz
Tahun 2030.
Nabastala sudah gelap ketika para prajurit berkumpul di ruang istirahat yang dipenuhi suara langkah kaki. Mereka yang pernah bertugas di bawah Romanov, berkumpul bersama, bersandar di kursi yang mengelilingi meja, bersantai dan bercanda di sela-sela waktu siaga. Lima prajurit itu asyik mengobrol.
Volkova membuka topik baru dengan nada sarkas. “Menurut kalian, dia sudah jadi pahlawan atau malah kabur biar bebas dari kita?”
Boris langsung menoleh ke arah Volkova. “Dia? Siapa yang kau maksud ‘dia’? Romanov?”
Volkova menjawab dengan anggukan.
Liev mendengus, tetapi matanya menyiratkan kesedihan. “Tidak mungkin Romanov kabur begitu saja. Dia mungkin … ada di luar sana, masih berjuang.”Boris, yang duduk di pojok dengan wajah lesu, menambahkan pelan, “Romanov tidak akan meninggalkan kita tanpa alasan. Kalau dia belum kembali … mungkin ada sesuatu yang membuatnya terpaksa menjauh.”
Volkova, berusaha menutupi kesan emosional di wajahnya, mencoba melucu. “Ah, siapa tahu dia cuma pergi untuk dapatkan ‘cuti panjang’ dari tugas berat ini!”
Aleksei sedikit tersenyum, sifatnya cukup cocok dengan Volkova. “Pastinya, dia lelah dengan kita semua,” candanya.
Namun, tawa itu hambar, hanya bergema sesaat sebelum sunyi kembali mengambil alih. Mereka semua tahu betapa besar dampak kehadiran Romanov pada mereka.Boris akhirnya berkata dengan pelan, “Jika memang begitu … kalau dia masih hidup, dia pasti akan kembali.”
Yuri, yang selalu berpikiran kritis, angkat bicara, “Masih hidup? Mungkin dia sudah mati. Musuh kuat, dan peluangnya tipis.”
Boris menggeleng, tetap mempertahankan harapannya. “Tidak mungkin. Romanov bukan orang yang menyerah mudah-- mungkin dia tertangkap, atau jadi tawanan.”
“Tapi, Sersan, ini sudah enam tahun semenjak dia menghilang,” sanggah Yuri.
Liev, yang duduk bersandar dengan ekspresi bingung, mencoba memberi perspektif lain. “Ada juga kemungkinan dia ditahan oleh kelompok lain yang punya agenda berbeda.”
Dulu, 2023 saat Romanov sudah kembali dalam aksi. Dia berkontribusi di perang Kursk lagi. Namun, enam tahun telah berlalu sejak Romanov menghilang secara misterius. Kisah kepergiannya menyisakan banyak tanya dan luka di hati rekan-rekannya, yang merasa kehilangan tanpa bisa mendapatkan kepastian. Bagi beberapa orang, Romanov adalah sosok pemimpin yang kuat, tetapi, kini yang tersisa hanya kenangan dan dokumen usang yang seakan menjadi peninggalan terakhirnya. Rumor yang beredar semakin liar: beberapa prajurit percaya dia dibunuh atau menjadi tawanan, sementara yang lain menduga ia beralih kesetiaan, dan ada yang percaya dia tertangkap oleh suatu kelompok. Meski begitu, harapan bahwa Romanov masih hidup, tersembunyi di suatu tempat, terus hidup dalam hati mereka yang setia.
Tak lama, Boris berdiri dari duduknya setelah melihat Letna Dmitri yang mendekat. Shift patrolinya sudah mendekat. Dmitri berhenti di depan Boris, dia memeriksa peta digital di tablet, sementara Boris bersama beberapa prajurit bersiap untuk patroli malam
“Tovarisch Letnan, patroli sudah siap?” tanya Boris.
“Pastikan jalur aman, dan ... awasi sektor timur. Sudah dua hari kita dapat laporan aktivitas aneh di sana.”
Boris mengangguk, “Akan kami pastikan, Tovarisch. Oh, hampir lupa, saya sudah meminta amunisi tambahan. Jadi kita bisa bertahan lebih lama jika—“
Lalu, ketenangan mereka terputus. Alarm darurat tiba-tiba bergema dengan nada tinggi yang menusuk. Semua prajurit langsung terdiam, dan saling memandang dengan wajah bingung yang segera berubah menjadi kewaspadaan. Lampu merah berkedip di seluruh ruangan, memancarkan sinar yang membuat ketenteraman hilang.
“Alarm? Tengah malam begini?” tanya Yuri dengan nada ragu.
Semua prajurit yang ada di ruangan saling bertatapan, mereka segera berdiri. Sebelum ada yang sempat menjawab, komandan mereka muncul di ambang pintu dengan wajah serius. “Kalian semua, dengarkan baik-baik! Amerika melancarkan serangan.”
Kata-kata itu jatuh bagai petir di antara mereka. Mereka terdiam sejenak, mencoba mencerna. Amerika? Benarkah itu yang didengar telinganya? Selama ini, permusuhan antara kedua negara memang memburuk, tetapi serangan langsung seperti ini tak pernah terpikirkan sebelumnya.“Ini bukan latihan. Mereka telah menargetkan pangkalan kita. Kalian tahu tugas kalian,” lanjut komandan dengan nada tegas, membuyarkan keterkejutan mereka.
Tanpa banyak kata, mereka langsung bersiap, mengambil senjatanya dan memasang helm. Wajah mereka yang sebelumnya penuh tawa kini berubah penuh kewaspadaan terpancar dari mata masing-masing.Di pos radar, layar-layar besar menampilkan titik-titik merah yang mendekat, pesawat-pesawat Amerika mendekati wilayah udara mereka. Angka dan grafik menunjukkan bahwa serangan ini bukan sekadar gertakan, ini adalah serangan habis-habisan.
“Komandan, mereka menargetkan pangkalan udara dan pusat komando!” seorang teknisi melaporkan dengan panik. Dia melihat keluar jendela pos, kilatan cahaya dari ledakan terlihat dari kejauhan, semakin mendekat.
Suara dalam radio bergemuruh, melaporkan korban dan kerusakan di titik-titik yang berbeda. Ketika komandan berteriak, “Rudal masuk! Lindungi diri kalian!” seluruh pos radar langsung gempar.Mereka segera berlindung, merunduk di bawah meja besi. Suara ledakan keras mengguncang seluruh ruangan, membuat tanah bergetar hebat, dan debu serta puing beterbangan di udara, pandangan mereka kabur oleh asap. Alarm terus memekik di latar belakang.
Begitu juga di ruang istirahat. Suara ledakan mendadak mengguncang.
“Semua prajurit! Berlindung!” Dmitri berteriak sambil berusaha menjaga keseimbangannya.
Para prajurit terperanjat, beberapa dari mereka jatuh terduduk, sementara lainnya dengan sigap berlari ke posisinya. Ledakan lainnya terdengar.Boris segera bereaksi, “Letnan! Itu dari arah gudang senjata! Mereka menargetkan persenjataan kita!”
Dmitri berpikir cepat. “Boris, bawa timmu ke tempat aman. Jangan biarkan mereka semua berkumpul di satu tempat. Menyebar! Ini bukan serangan sembarangan.”
“Siap, Tovarisch!” Boris berteriak pada pasukannya yang terpencar. “Ayo, kalian dengar Letnan! Cepat ke posisi masing-masing!”
Dmitri berlari kembali ke pos komando untuk menghubungi markas pusat. Namun, layar radio yang berderak-derak hanya memberi sinyal putus-putus. Dia tidak bisa menghubungi markas pusat, tetapi radionya masih bisa untuk menghubungi personel bawahannya.
“Sial, mereka merusak jaringan komunikasi,” gumamnya, menggenggam radio dengan erat. “Tanpa koordinasi, kita buta di sini.”
Seketika, suara ledakan lain mengguncang, kali ini jauh lebih dekat. Dmitri berkata lewat radio. “Jaga posisi kalian! Jangan ada yang mundur!”
Boris merunduk di belakang dinding bersama beberapa prajurit. Ia menoleh pada prajurit lainnya, “Kalian dengar itu? Ini perintah langsung. Kita bertahan di sini, apa pun yang terjadi!”
“Tovarisch Sersan? apakah kita masih punya bantuan udara?” tanya Yuri dengan suara tergesa-gesa.
Boris menggeleng, “Tidak ada yang bisa dipastikan sekarang. Fokus saja bertahan.”
Suara Dmitri muncul lagi di radio Boris. “Sersan, kirim dua orang ke ruang amunisi. Kita tidak bisa bertahan tanpa suplai cadangan!”“Paham, Tovarisch!”
Boris menatap Yuri dan Zarid, lalu menyebut nama mereka dengan keras dan memberi instruksi cepat. “Kalian dengar Letnan di radio. Ayo, cepat bergerak!”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Thin Line of Duty
ActionPembombardiran telah menghancurkan hubungan internasional dan mengguncang Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pertukaran nyawa antara prajurit Rusia dan Ukraina tak lepas dari pandangan Vladlin Romanov-Komandan Spetsnaz. Tekanan perang dari pemerintah dan p...