Cukup lama Aidan membersihkan rumah lamanya dulu bersama bang Anton dan bang Tama.Tuk
Aidan menoleh kesamping di mana ada satu benda yang terjatuh.
Aidan mengambilnya dan terdiam melihat mainan pertamanya dulu yang bahkan menjadi mainan kesukaannya.
"Lucu ya bang, dulu bang Anton bela belain nerobos hujan karena gak ada satu orangpun yang mau meminjamkan payungnya di pasar cuma karena gue yang nangis minta di beliin mobil mobilan" Aidan bergumam lirih, matanya sudah berkaca-kaca tapi berusaha dia tahan.
Aidan mengadahkan kepalanya agar air matanya tidak jatuh, tangannya menggenggam erat mainan mobil-mobilan kecil bewarna merah.
Aidan terus menahan agar tidak menangis tapi tidak bisa, tangisannya pecah ketika menemukan selimut lusuh yang selalu dia pake sejak kecil.
Dulu mereka tidur tidak memakai selimut hingga saat usianya 8 tahun, dia sakit malam malam bang Anton dan bang Tama keluar mencari klinik terdekat walaupun beberapa klinik sempat menolaknya karena melihat penampilan kedua abangnya, Aidan bahkan masih ingat jelas bagaimana bang tama yang menggendongnya dengan erat sembari menutupi tubuhnya dengan jaket milik bang Anton, hingga ada orang baik hati yang membantu mereka dan memberikan selimut itu agar tidak kedinginan, bahkan bang tama dan bang Anton menunjukkan uang patungan mereka agar dirinya bisa di obati, bukan di klinik karena pada saat itu Aidan tau semua klinik menolaknya hingga bang Anton mendatangi rumah seorang bidan dan terus bergumam agar dirinya di periksa, bahkan bidan tersebut melarang dirinya di bawah pulang agar bisa memantau keadaannya, sejak saat itu bang Tama dan bang Anton sangat protektif padanya.
Aidan menangis sendirian memeluk erat selimut tersebut sembari menyembunyikan kepalanya di lipatan lututnya.
Tubuh itu bergetar dengan di iringi suara isakan yang membuat siapa saja mungkin iba mendengarnya.
"Bang hiks Aidan mau ikut abang saja hiks, Aidan kangen" lirihnya bahkan nafasnya sudah tidak beraturan.
Aidan melirik nasi kuning yang tadi dia pesan, dirinya menghapus air matanya dengan kasar sembari membuka perlahan bungkusan nasi kuning tersebut.
"Lucu ya hiks bang, d dulu abang gak tau ulang tahun Aidan hiks s s sampai kita merayakan nya menggunakan tanggal waktu Aidan di temukan, dan saat hiks itu tiba abang s selalu beli nasi kuning untuk di makan bersama hiks" Aidan terdiam melihat nasi kuning tersebut dengan air matanya yang semakin deras keluar.
Dulu saat dirinya pulang setelah seharian ikut ke pasar bersama bang Tama dan bang Anton mereka melewati rumah rumah warga dan salah satu rumah sedang merayakan ulang tahun, dirinya yang masih kecil saat itu langsung tanya kapan dirinya ulang tahun sehingga kedua abangnya selalu merayakan ulang tahunnya menggunakan tanggal dirinya di temukan.
Aidan memakan perlahan nasi kuning tersebut walaupun sembari menahan mati matian tangisannya agar tidak pecah.
"Aidan bayangin lagi makan bertiga hehehe" lirihnya padahal hatinya benar benar hancur sekarang, bahkan hanya untuk menelan nasi tersebut sangat sulit.
Sesekali tangannya juga memukul dadanya yang terasa sesak dan sulit untuk bernafas.
Setelah selesai makan walaupun tidak habis Aidan tidak akan membuang makanan itu, seperti ajaran bang Tama agar menyimpan makanan yang tersisa selagi masih layak.
Aidan kini terdiam, dirinya hanya menatap kosong langit langit atap rumahnya dengan beralaskan kasur lantai sederhana walaupun mereka membeli itu semua dari uang jasil mencopet.
"Biasanya kalau Aidan lagi nangis gini ada bang Tama yang jail dan bang Anton yang langsung memeluk Aidan, kenapa sekarang rasanya hampa ya bang, Aidan kedinginan bang" lirihnya bahkan air matanya kembali tumpah.
"Pergi kemana Aidan?" Tuan Ardian baru saja sampai setelah tadi istrinya menghubungi nya dan mengatakan Aidan pergi dari rumah bahkan tidak mengizinkan siapapun untuk ikut namun yang membuatnya khawatir adalah karena putranya pergi dengan wajah yang pucat.
"Aku juga gak tau, dia bahkan tidak sarapan, aku khawatir ini sudah siang" Bella sedari tadi tidak tenang sejak kepergian putra bungsunya.
"Aidan tidak akan pergi jauh, kamu tenang saja putra kita tidak akan kemana-mana, setelah ini aku akan memasang alat pelacak kalau perlu di tubuhnya langsung" setelah mengatakan itu Ardian langsung pergi untuk mencari putranya dan tujuan satu satunya adalah pasti rumah itu.
Untuk masalah ini Ardian tidak akan memberi tau putra putranya yang lain karena dirinya tau apa yang akan terjadi setelahnya jika mereka sampai tau.
Ardian tau dirinya egois bahkan hampir beberapa hari dia terus memikirkan percakapannya dengan putra keduanya tapi semakin kesini Ardian tidak akan menggunakan cara itu, dia yakin putranya akan luluh suatu saat nanti.
Cukup lama dirinya berkendara hingga dia mulai masuk ke tempat yang sedikit sepi.
Ardian terdiam menatap rumah yang pintunya sedikit terbuka, benar tebakannya putranya tidak akan pergi kemana-mana kecuali ke sini.
Ardian berjalan perlahan memasuki rumah itu dan sedikit terkejut melihat putranya yang tertidur sembari menggenggam erat sebuah selimut lusuh.
"Maafin daddy kalau daddy egois, tapi daddy juga tidak ingin kehilangan kamu lagi" setelah mengatakan itu Ardian dengan perlahan membawa Aidan ke dalam gendongannya dengan hati hati agar putranya tidak terbangun, dapat dia rasakan tubuh putranya yang terasa hangat dalam dekapannya.
Setelah merasa putranya nyaman, dirinya langsung melajukan mobilnya kembali ke rumah.
"Ku harap ini yang terbaik" gumamnya.
Cukup lama karena Ardian melajukan mobilnya dengan pelan karena takut putranya terbangun.
Hingga dirinya mulai memasuki pekarangan rumahnya dan melihat istrinya yang sudah menunggu nya di luar, beruntung ketiga putranya masih belum pulang.
"Aidan" Bella langsung menghampiri suaminya yang menggendong putranya.
"Huusstt, siapkan pakaian ganti dan hubungi dokter kemari" ujarnya.
Ardian sendiri membawa Aidan ke kamarnya di ikuti seorang bodyguard yang sudah membawa alat yang dia butuhkan.
Aidan mulai terganggu saat merasakan ada yang mencoba melepas hoodie yang dia kenakan.
Dirinya cukup terkejut melihat keberadaan daddynya namun belum mampu dia mengamati sekitarnya, tubuhnya sudah di balik menjadi tengkurap bahkan dia merasakan sesuatu yang dingin di sekitar pundaknya.
Aidan sendiri hanya bisa diam karena tubuhnya terasa sangat lemas, dia masih berusaha bangkit dan melawan sebelum tangannya langsung di cengkal oleh bodyguard daddynya.
"Aahhkkk s s ssakit" lirihnya tangannya mencengkram bantal nya sendiri saat tiba-tiba daddy melakukan sesuatu di lehernya.
"Hhhsstt aakkk s sakit hiks" Aidan berusaha menggerakkan kepalanya namun sama, ada orang yang menahannya sehingga hanya kakinya saja yang bisa bergerak tapi tetap saja dirinya tidak bisa melakukan apa apa.
Aidan kembali menangis memejamkan matanya erat menahan rasa sakit di area pundaknya sembari terus menggenggam selimut dengan erat hingga tak lama matanya kembali memberat, namun dirinya masih sadar ketika tubuhnya kembali di buat terlentang.
Tuan Ardian hanya tersenyum menghapus jejak air mata di dan keringat di dahi putranya, melihat mata putranya yang sudah satu setelah tadi dia menyuntikkan obat tidur.
"Setelah ini kamu tidak akan bisa pergi dari daddy Aidan" ujarnya seraya terus mengelus rambut putranya.
Aidan sendiri sudah terpengaruh obat tidur dan sudah memejamkan matanya hingga tak lama dokter yang mereka tunggu akhirnya datang.
Ayo jangan lupa vote sama komen oke

KAMU SEDANG MEMBACA
Egois
Fanfictionapaan keluarga? gue ogah punya keluarganya.... #mengandung bahasa kasar #penuh dengan umpatan... #brothersip