19 : Rasa Penasaran

97 11 7
                                    

.

.

.

Di luar, udara sore terasa dingin menusuk, menciptakan kontras tajam dengan kehangatan yang memenuhi kamar VVIP tempat Jimin dirawat. Di dalam ruangan luas yang nyaman itu, keluarga Kim berkumpul, membanjiri suasana dengan kasih sayang yang terasa menenangkan setiap detik yang berlalu. Fasilitas yang lengkap di kamar tersebut, seperti ruang istirahat pribadi dan area kerja, membuat mereka merasa seperti di rumah sendiri. Seokjin tetap bisa menyelesaikan pekerjaannya sementara Nara dan Yoongi setia berjaga, bergantian menemani Jimin tanpa melewatkan satu pun momen penting di sisinya.

Setelah beberapa hari tertidur lemah, perlahan Jimin membuka mata indahnya, dan pandangan pertamanya jatuh pada kakeknya, yang menyambutnya dengan senyum hangat dan penuh kasih.

"K-Kek..." panggil Jimin pelan dengan suara yang hampir tak terdengar.

"Oh, Jiminie, kamu sudah sadar, Nak," suara lembut Kakek Kim membuat seluruh keluarga yang ada di sana segera mendekat.

Jimin mengalihkan pandangannya, memandangi satu per satu orang yang kini berdiri di sekelilingnya dengan tatapan penuh cinta dan perhatian.

"Jiminie, biar Paman Yoongi memeriksa kamu dulu, ya," ucap Yoongi yang mendapat anggukan lemah dari Jimin, sementara yang lainnya mundur sedikit untuk memberi ruang. Yoongi dengan teliti memeriksa kondisinya, dan setelah selesai, ia tersenyum lega.

"Kondisimu sudah stabil, tapi kamu perlu banyak istirahat lagi, Jimin," ucap Yoongi lembut, sambil mengganti masker oksigen Jimin dengan nasal cannula yang lebih nyaman.

Seokjin, yang kini berdiri di sampingnya, mengusap lembut bahu putranya. "Kenapa kamu selalu membuat Papa khawatir, Jimin?"

Nara segera memberi isyarat agar Seokjin berhenti, sadar bahwa emosi Jimin masih rapuh setelah melewati masa kritis.

"Jimin sayang, apa yang kamu rasakan sekarang?" tanya Nara lembut, mengalihkan pembicaraan dengan tatapan penuh kasih.

Jimin menunduk, lalu dengan suara lirih berkata, "Papa, Mama... maafkan Jimin."

"Ssst... ini bukan salahmu, sayang. Kami memang khawatir, tapi tidak pernah menyalahkanmu. Jangan bersedih, ya? Mama akan sedih kalau anak mama yang manis ini merasa sedih," ucap Nara lembut, mengusap pelan rambut Jimin dan mencium keningnya dengan penuh kasih.

Di sisi lain, Jungkook berdecak cemburu, berpura-pura memalingkan wajah dengan kesal. "Oh, jadi di sini anak Mama cuma Jimin? Apa aku sudah dihapus dari Kartu Keluarga? Wah, keterlaluan!"

Nara tertawa kecil dan menatap Jungkook dengan senyum jahil. "Kamu tetap anak Mama, Kook, tapi anak Mama yang paling manis ya cuma Jimin. Iya, kan, sayang?" godanya sambil mencubit pipi Jimin yang kini tersenyum kecil.

"Papa, lihat Mama, tuh! Apa Papa juga akan bilang begitu? Kalian sungguh keterlaluan," gerutu Jungkook, memancing gelak tawa seluruh keluarga.

Ruangan itu pun bergema dengan tawa yang ringan dan hangat, termasuk tawa Jimin yang kini merasa begitu bahagia dan dicintai. Seokjin menepuk bahu Jungkook, "Sudahlah, kamu dan Jimin tetap anak-anak Papa dan Mama yang baik dan manis."

Jungkook menyela dengan cepat, "Selain baik dan manis, aku juga tampan, Pa."

"Baiklah," Nara menimpali sambil menahan senyum. "Kamu anak Mama yang tampan, Jungkook. Puas sekarang?"

Kebersamaan itu menyelimuti hati mereka, menutupi kekhawatiran yang sebelumnya sempat membayangi. Namun, kehangatan ini tiba-tiba terputus saat ponsel Seokjin bergetar. Ia mengangkat telepon, dan wajahnya langsung menunjukkan perubahan serius ketika mendengar kabar dari Namjoon di seberang sana.

Don't WorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang