.
.
.
Di tengah kesedihan dan rasa bersalah yang mendalam, Taehyung terus menggenggam tangan Jimin yang kini terbaring lemah di UKS. Jimin membuka matanya perlahan, matanya masih sembab akibat rasa sakit fisik dan emosional yang ia alami. Namun, meski lemah, Jimin mencoba tersenyum pada sahabatnya itu.
"Eughhhh" Jimin membuka matanya perlahan.
Taehyung yang berada disamping Jimin langsung mendekat mendengar suara dan melihat tangan Jimin mulai bergerak tanda kalau sahabatnya mulai sadar.
"Jimin kamu sudah bangun? Apak kamu perlu sesuatu, katakana Jim biar aku ambilkan untukmu?" Tanya Taehyung dengan wajah yang masih sangat khawatir.
Taehyung membantu Jimin memposisikan diri untuk duduk mengatur posisi supaya lebih nyaman, Taehyung yang duduk didepan sahabatnya itu hanya bisa memandang wajah pucat Jimin penuh kekhawatiran dan rasa bersalah.
"Taehyung... ini bukan salahmu," Jimin berbisik, suaranya serak dan lemah.
Namun, Taehyung menggeleng dengan air mata yang masih mengalir. "Seharusnya aku selalu ada bersamamu, Jimin. Aku seharusnya tahu sesuatu seperti ini bisa saja terjadi."
Jimin hanya bisa menarik napas berat, merasa hatinya terbebani bukan hanya oleh rasa sakit di tubuhnya, tetapi juga oleh keadaan yang semakin tidak terkendali. Dia tahu bahwa ini bukan sekedar perundungan biasa. Ejekan yang diucapkan geng Jin Young terasa begitu penuh kebencian, seperti mereka tahu sesuatu yang lebih mendalam tentang keluarganya. Dan hal itu membuat Jimin semakin merasa terpojok.
"Apa yang mereka katakan tadi?" tanya Taehyung dengan nada penuh kekhawatiran. "Mereka menyebut keluargamu... Paman Seokjin?"
Jimin hanya terdiam. Pikirannya melayang ke kata-kata mereka, cibiran tentang penyakitnya, tentang bagaimana keluarganya dianggap tidak sempurna. Ada sesuatu yang tidak biasa. Mereka terlalu tahu tentang kondisinya, seakan informasi tersebut bukan berasal dari sekedar gosip sekolah biasa.
"Taehyung...," Jimin menatap sahabatnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Aku merasa ada yang lebih dari ini. Mereka tahu tentang penyakitku, tentang keluargaku, dan mereka menggunakan itu untuk menyakitiku."
Taehyung memandang Jimin dengan penuh kebingungan, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. "Maksudmu mereka... punya informasi dari luar?"
Jimin mengangguk lemah. "Aku tidak tahu dari mana, tapi sepertinya ini bukan sekadar masalah perundungan biasa. Aku merasa mereka diarahkan untuk melakukan ini. Seperti... seseorang menginginkan aku dan keluargaku jatuh."
Taehyung mengepalkan tangannya, marah dengan kemungkinan itu. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu lagi, Jimin. Aku janji."
Sementara itu, di tempat lain, Kim Daeho tersenyum dingin di balik layar monitor yang menampilkan rekaman pergerakan geng Jin Young terhadap Jimin. Dari kantornya yang gelap, dia terus mengawasi setiap langkah yang dilakukan untuk mengintai dan mengganggu keluarga Kim. Rencana balas dendamnya mulai berjalan sesuai rencana, dan melihat Jimin mulai melemah membuatnya semakin yakin bahwa ini adalah cara terbaik untuk menghancurkan Seokjin.
"Ini baru permulaan," gumam Daeho pelan. "Keluargamu akan merasakan apa yang aku rasakan, Seokjin."
Namun, Daeho tahu bahwa untuk benar-benar menghancurkan keluarga Kim, ia perlu merencanakan langkah selanjutnya dengan lebih hati-hati. Gangguan fisik mungkin bisa melemahkan Jimin, tetapi untuk benar-benar melukai Seokjin, ia harus memukulnya di tempat yang paling menyakitkan dengan rasa bersalah dan kehilangan.
Di Kantor, Seokjin menerima panggilan dari sekolah Jimin dan segera bergegas ke sana bersama Nara, yang juga sangat khawatir. Sesampainya di sekolah, mereka menemui Taehyung yang tampak sangat terpukul, duduk di dekat pintu UKS.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Worry
FantasyDidalam keluarga yang hangat harusnya memiliki rasa kasih, rasa peduli dan juga rasa percaya. Perhatian yang berlebihan membuat salah satu dari keluarga menjadi disisihkan dan diabaikan. Apa karena sakitnya dia harus jauh dari saudaranya. Bukankah...