Fourteenth

1.3K 184 5
                                    

     Wajah bulat itu kini terlihat begitu memerah sampai ke telinga, bulu mata lentik miliknya kini terlihat begitu basah terkena air mata yang sesekali masih akan jatuh banjiri pipi tembemnya.

Didepannya, dengan hati hati Aaron usap air mata itu menggunakan sapu tangan milik Fahmi, sesekali ia juga akan lap ingus bocah yang tengah menangis ini supaya tak lagi mengotori pipinya —— karena Habel mengusap asal.

Setelah dirasa cukup tenang, Sadewa sodorkan air mineral miliknya ke arah mulut Habel yang terlihat masih sesenggukan.

Entah apa yang menjadi kekhawatiran bocah itu, rasanya ingin sekali paksa Habel tuk segera bercerita, tapi mengingat akan adanya keberadaan Aaron dan Fahmi, ia jadi mengurungkan niatnya.

Masih sayang nyawa, begitu lah kira kira isi pikiran Sadewa.

Dengan perlahan, Fahmi angkat Habel lalu ia dudukkan diatas pangkuannya, buat Habel segera sembunyikan wajahnya pada dada Fahmi yang terbalut seragam sekolah.

" udah mendingan belum? " tanya Aaron pada Habel yang terlihat curi curi pandang pada dirinya.

Habel anggukan kepalanya sebagai jawaban.

" udah mau cerita? " tanya Fahmi dengan lembut.

Habel kembali berikan anggukan yang mana buat temannya hembuskan nafas lega.

Lihat saja, begitu mereka dapatkan siapa orang yang berhasil buat Habel sedih seperti ini, mereka pastikan orang itu pasti akan menyesal, seperti apa yang Aaron lakukan pada guru yang pernah mengomel Habel kemarin.

" mama ketemu sama anaknya " lirih Habel.

Tiga temannya terdiam, bingung hendak ber reaksi seperti apa, Sadewa yang tadinya bersemangat pun langsung garuk kepalanya yang tak gatal.

Rencana rencana jahat yang tadinya bersemayam di otak mereka seketika langsung lenyap setelah mendengar jawaban Habel barusan.

Terjadi keheningan beberapa saat sampai kemudian suara bel pertanda  jam istirahat telah selesai terdengar begitu memekakkan telinga, buat mereka tersadar dari lamunan masing-masing.

" mama ketemu sama anaknya? "   Aaron ulang pernyataan Habel barusan, lalu Habel anggukan kepalanya sebagai jawaban.

" tadi pagi gue denger mama lagi telfonan sama kak Javier, katanya mau ajak pertemuan diluar..... Nanti kalau mama diambil sama keluarganya yang lain gimana.... Terus gue ditelantarin... Jadi gelandang..... Terus hidup gue gimana... Gue nggak bisa tanpa mama..... " adu Habel  pada ketiga temannya. Bahkan bocah itu masih sesenggukan dengan air mata yang kembali mengalir di pipinya.

Tiga temannya kembali terdiam.

Mereka menang pernah mendengar cerita dari Habel bawah sesungguhnya ia punya saudara dan mereka tinggal bersama dengan ayahnya ditempat yang jauh.

Namun tak disangka bahwa mereka akan berada ditempat ini, dan daripada memikirkan hal yang dikhawatirkan oleh Habel yang tentunya itu tak akan pernah terjadi.

Mereka jadi memikirkan kebalikannya.
Apakah nanti setelah bertemu dengan keluarganya yang lain Habel akan melupakan mereka?

Bagaimana jika Habel dibawa pergi ketempat yang jauh oleh keluarganya?

Bagaimana jika nanti mereka tak memperlakukan Habel dengan baik?

Bagaimana jika nanti Habel kesepian?

Bagaimana, bagaimana, dan terus bagaimana.

Otak mereka bahkan lebih memikirkan kemungkinan kemungkinan yang belum tentu terjadi sampai malah menimbulkan kekhawatiran sendiri dalam diri mereka.

Bocah KesayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang