Bab 1

710 2 0
                                    

KATA BERMULA

Jalak Harnanto (Nanto) yang yatim piatu akhirnya kembali ke kota setelah beberapa tahun tinggal di desa untuk hidup bersama sang Kakek sepeninggal Ibunya. Kini setelah sang Kakek tiada, dengan bantuan keluarga tersisa yang ia miliki, Nanto berencana untuk kerja dan kuliah demi masa depan yang lebih baik.

Tapi hidup si bengal tidak semudah yang ia bayangkan. Kerasnya hidup di kota, rangkaian pertarungan jalanan, tantangan pertempuran tangan kosong yang entah kenapa selalu menghampiri, manis pahit kehidupan yang naik turun seperti roller-coaster, dan lingkaran wanita yang menyambanginya silih berganti menjadi takdir hidup yang harus ia jalani.

Nanto sadar betul, hitam tak selamanya hitam seperti putih tak selamanya putih.

Inilah perjalanan kisah Nanto si Bengal.

Cerita ini adalah karya fiksi. Semua karakter, tempat, dan peristiwa yang termuat di dalamnya bukanlah tokoh, lokasi, dan kejadian nyata. Kemiripan akan penamaan, perilaku, penggambaran ataupun kejadian yang terdapat dalam cerita ini murni ketidaksengajaan dan hanya kebetulan belaka. Saya tidak menganjurkan dan atau mendukung seandainya terdapat aktivitas negatif seperti yang mungkin diceritakan.

MENUNGGU PAGI

Yang perlu kita putuskan adalah apa yang akan kita lakukan,

dengan waktu yang kita miliki.

JRR Tolkien

Mata Jalak Harnanto berkedap-kedip, mencoba menyesuaikan diri dengan gelapnya ruang sempit yang kini harus diakui sebagai kamarnya. Ia menggeliatkan badan, merentangkan setiap urat pegal di badan hingga semua aliran darah lancar – atau setidaknya itu yang ia inginkan. Yang jelas ia selalu lebih merasa nyaman setiap kali setelah menggeliat.

Jam berapa sekarang? Nanto melirik ke arah jam meja kotak berwarna putih yang ia beli seharga lima belas ribu sebulan yang lalu. Ia harus mendekatkan jam meja itu ke matanya agar terlihat karena ruangan benar-benar gelap dan pelupuknya benar-benar berat.

Ah, pukul setengah empat pagi. Pantas saja jendela kontrakannya yang terletak di lantai dua ini masih belum kebagian siraman cahaya matahari, tidak ada cahaya iseng menyelinap masuk dan bermain-main di dalam. Di luar sana pasti masih gelap.

Ketika masih tinggal dengan kakeknya, Nanto memang selalu bangun sekitar jam segini. Lalu membangunkan orang tua konyol itu dan mereka akan mengajak Sagu jalan-jalan sembari berolahraga ke hutan terdekat – Sagu adalah nama anjing kampung milik sang kakek.

Entah bagaimana nasib Sagu sekarang, ia sudah dihibahkan dan dirawat oleh anak tetangga di desa.

Pemuda itu mencoba meraih gelasnya karena tiba-tiba saja ia kebelet kencing. Lho? Kebelet kencing kok malah mau ambil gelas? Masa mau pipis di gelas? Nggak Lah. Ini hanya salah satu prinsip aneh dalam hidupnya saja. Sebelum buang air kecil sempetin minum dulu terutama kalau haus, biar nanti ga kebelet lagi. Prinsip apaan dah? Itu mah cuma males bangun lagi namanya.

Sekarang pun dia haus dan mau minum dulu sebelum buang air kecil.

Tapi gelas itu kosong dan Nanto pun menggerutu. Ia melirik ke arah aqua galon yang isinya air isi ulang lima ribuan – tapi ah, kosong juga. Masa iya ia harus masak air dulu sebelum kencing, sih?

Pemuda itu bangkit, menguap lebar-lebar, dan dengan gontai melangkah ke kamar mandi yang ada di bagian belakang rumah kontrakannya. Rumah kontrakan tiga petak minimalis yang cat ijo-nya mulai luntur karena lembab. Seperti kontrakan petak lain, tempat ini terdiri dari tiga sekat ruangan; ruang depan – biasanya untuk ruang tamu, ruang tengah – biasanya untuk kamar tidur, dan ruang belakang yang biasanya tempat kamar mandi dan dapur.

Sejak pintunya rusak, kamar mandi di kontrakan Nanto dibiarkan terbuka dan hanya menggunakan kain seadanya sebagai penutup, biarkan saja seperti itu. Malah seru. Mau mengintip? Silahkan saja.

Nanto menyalakan keran air agar embernya lebih berisi.

"Lagi apa?"

Terdengar suara seorang wanita memanggil dari ruang tengah. Suaranya parau, pasti si dia belum benar-benar terbangun. Begitupun Nanto, matanya terasa berat sekali dibuka.

"Pipis bentar." Jawab Nanto singkat. Entah wanita itu mendengar suara lirihnya atau tidak. Lagipula sudah jelas-jelas ke kamar mandi jam segini, sudah pasti tujuannya salah satu dari dua.

Nanto menurunkan celananya, mengeluarkan belalai gajahnya dan mulai memejamkan mata sambil menyemprot kencang ke arah pembuangan kloset jongkoknya. Ah enaknya surga di bumi, syukurlah ia masih bisa merasakan nikmatnya kencing lancar di pagi seperti ini.

Sembari menggoyang-goyang belalai untuk mengeluarkan sisa air kencingnya, pikiran Nanto mengelana. Bagaimana ia bisa sampai di tempat ini? Bagaimana ia bisa mendapatkan wanita indah yang kini sedang terbaring tanpa busana di tempat tidurnya?

Keberuntungan? Kesialan? Hidupnya memang tidak pernah benar-benar sepi.

Semuanya bermula dari beberapa bulan yang lalu.

.::..::..::..::.

SANG NANTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang