"Makasih banyak, Mas!"
"Ka-kalau saya minta uang saya yang tadi di kompas boleh, Mas?"
"Saya juga, Mas. Modal saya tadi habis diambil mereka bertiga."
"Mas..."
"Mas..."
"Mas..."
Bapak ronde yang mengenal teman-teman penjaja makanan mengembalikan uang hak masing-masing dengan senyum terkembang. Seakan ada beban yang terlepas dari tubuhnya malam ini. Ia bersyukur sekali.
"Ono opo iki? Ono opo iki? Kok rame men ono opo? Ada apa ini kok ramai sekali?"
Seorang polisi memasuki arena, orang-orang yang berkumpul pun menunjuk ke arah jauh, menunjuk para preman berpakaian punk yang meninggalkan lapangan dengan tubuh dan wajah tak karuan. Sang polisi terkejut saat melihat ketiganya melangkah pergi. Ia tahu dan kenal pemuda-pemuda punk itu. Mereka memang sering dibawa ke kantor polisi karena berbagai masalah dan kasus pelanggaran. Sepertinya mereka membuat masalah lagi dan kali ini ketemu batunya.
Siapa yang bisa membuat mereka babak belur seperti itu?
Kepalanya berputar ke kanan dan ke kiri. Mencoba mencari sosok orang yang sekiranya mampu melakukan ini semua. Yang mana orangnya?
Orang-orang yang berdiri mengelilingi bapak ronde juga melihat sekitar, mencari dan menelisik.
Tak ada.
Mereka memang tak akan menemukannya.
Karena saat itu Nanto sudah tak ada di situ.
.::..::..::..::.
Syukurlah motor Om Darno masih bisa dipakai tanpa masalah. Dengan napas tersengal-sengal, Nanto mengendarai motor itu secepat yang ia bisa. Kampret, pertarungannya yang barusan bikin ngos-ngosan aja. Ia butuh minum dingin, haus banget rasanya. Wajahnya juga terasa linu karena pukulan si kunyuk berambut ungu tadi sempat masuk beberapa kali.
Bajinguk. Kunyuk yang satu itu ternyata bisa juga bikin pegel di wajah. Nanto menggerak-gerakkan pipi untuk menghilangkan rasa linu. Tentu saja tidak ada efeknya. Paling banter cuma merubah wajahnya menjadi lebih elastis seperti jin-nya Aladin versi kartun.
Belum sampai satu kilometer ia melaju dari lokasi pertarungannya tadi, Nanto belok ke arah ruko Indom@ret. Dia harus minum, hausnya kebangetan. Isi tenggorokan dengan yang seger-seger biar tidak kering begini. Air minum putih dingin aja cukup. Beli yang botol kecil aja kali ya?
Setelah memarkir kendaraan, Nanto lantas masuk dan membeli minuman yang ia inginkan.
Di depan mart terdapat kursi dan meja yang memang sudah disediakan jika ada yang ingin beristirahat. Di situlah Nanto kemudian duduk, menghela napas, memejamkan mata dan menempelkan air minum kemasan dingin berukuran kecil ke pipinya yang linu. Nyesss.
Ah enak sekali rasanya.
Nanto membuka tutup minuman kemasan itu dan segera melepas dahaganya.
Uaaahh! Seger, Nyuk! Nek ngene lak mantep to. Kalau begini kan mantap. Ia jadi bisa...
Bisa...
Bisa...
Hmm...
Badalah. Lha kok wes entek banyune, Nyuk? Kok sudah habis aja nih air minumnya?
Mana masih haus lagi. Kenapa juga tadi dibeli ukuran kecil. Sok hemat sih. Jadinya nyesel, kan? Haeh. Apa ya harus beli lagi? Tahu gini kan tadi ambil saja yang ukuran medium atau large. Masih belum membuka mata dan mencoba beristirahat sejenak, Nanto meletakkan botol minum yang kosong ke meja.
Terasa angin bergerak.
"Keren tadi, Mas. Akhirnya ada yang bisa menghajar preman-preman itu."
Nanto terhenyak. Saat membuka mata ia baru sadar ada seorang gadis yang duduk di kursi yang ada di sebelah meja di sampingnya. Di atas meja yang tadinya hanya terdapat botol kosong, kini terdapat minuman pengganti ion yang hilang, coklat Silver King, dan sepotong roti coklat Dari Roti, & Roti Dari Roti.
"Itu buat Mas. Ucapan terima kasih. Atas semua yang Mas lakukan pada preman-preman di lapangan tadi dan mengembalikan uang yang mereka tarik paksa. Maaf cuma bisa seadanya ya, Mas. Sekali lagi terima kasih dari kami."
Nanto melihat ke sekeliling, seakan-akan jika ia menemukan sesuatu ia akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang ia sendiri bingung apa pertanyaannya. Mulut pemuda itu terbuka. Apakah gadis ini mengikutinya sejak tadi? Sejak dari lapangan?
"Sejak kapan...?"
"Apanya yang sejak kapan?" gadis itu mengedipkan matanya yang bulat.
Badalah. Kok manis men, cah. Pertahanan Nanto langsung runtuh kalau menghadapi makhluk yang manisnya kebangetan seperti ini. Gawat, bisa-bisa diabetes.
Nanto mulai mengamati. Wajah gadis ini seperti yang tadi sudah dipastikan, amat manis. Ia terlihat dewasa meski rasanya masih seumuran dengan Nanto. Kulitnya putih, suaranya merdu, rambut panjangnya indah, dan tubuhnya langsing. Kelihatannya seperti seorang gadis yang sporty dan mungkin sedikit tomboy. Ia mengenakan baju jersey bola dari tim Manchester merah dan celana jeans ketat yang membungkus sepasang kaki jenjang. Gadis itu juga mengenakan topi snapback yang dipasang terbalik.
Duh, anake sopo ikih? Anak siapa nih nyasar di sini?
"Apakah kamu mengikuti aku sejak dari lapangan?"
"Hah? Oh nggak. Aku nggak mengikuti Mas-nya dari sana. Asli, Mas. Aku jujur kok." Gadis itu pun tersenyum.
"Lalu dari mana...?"
"Dari mana aku tahu apa yang terjadi tadi? Aku mengenali Mas-nya dari ini."
Si gadis muda membuka hape, menarik-narik layar dan memencet aplikasi WhatsApp. Dibukanya grup bertuliskan Paguyuban Lapangan Aselole. Ada sebuah pesan video di sana. Gadis itu pun memencet tombol play dan menunjukkannya ke Nanto.
Nanto mengernyitkan dahi dan terbelalak saat melihat aksinya menghajar tiga orang preman direkam oleh salah satu penonton pertarungannya tadi. Sial! Gimana nih kalau viral dan ketahuan polisi? Bisa-bisa diciduk! Mana wajahnya beberapa kali terlihat jelas pula. Hadeh.
Sang gadis sepertinya mampu membaca wajah terkejut Nanto. Ia tertawa geli.
"Hahaha, jangan khawatir, Mas. Kami ga akan menyebarkan video ini kemana-mana kok, hanya untuk konsumsi informasi kelompok penjaja makanan di lapangan saja, grup WhatsApp ini adalah grup paguyuban kami. Jangan khawatir, videonya tidak akan tersebar. Begini-begini kami juga punya rasa setia kawan. Kami tidak akan mengkhianati orang yang sudah susah payah membantu dan berjuang untuk kami. Jadi... sekali lagi terima kasih, Mas. Sungguh kami berterima kasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG NANTO
AdventureBu Asty tiba-tiba saja menarik kerah kemeja Nanto, memejamkan mata dan mencium bibir Nanto dengan ciuman. Birahi guru muda itu sudah terlanjur menyala, dan mereka berdua pasti akan menerima konsekuensinya. Tapi itu nanti. Sekarang, biarlah keduanya...