"Ha?" suara angin mengaburkan pertanyaan Hanna.
"Mas Nanto sales? Bajunya putih item."
"Oooh, nggak. Baru nyari-nyari kerja malah."
"Oh gitu. Memang Mas Nanto lulusan mana?"
"Aku cuma lulusan SMA. SMA-nya di kampung pula."
"Pantesan, kirain lulusan kampus mana gitu tapi kok masih muda banget."
Jiah. Dibilang muda banget. Untung Hanna tidak melihat perubahan pipi Nanto yang membulat merah seperti tomat.
"Fresh graduate?"
"Nggak, sempat menganggur setahun. Ya bukan menganggur sih benernya, bantuin kakek di kampung."
"Oh ya ya..."
"...tang...nya..." sekarang giliran suara Nanto yang tidak terdengar.
Eh? Apa? Kutangnya?
Hanna meneguk ludah. "Ha? Apa Mas? Aku ga denger."
"Tangannya."
Oh tangan... kirain.
"Kenapa tanganku?" Hanna membuka kaca helm supaya suara Nanto lebih terdengar.
"Sebenarnya tidak perlu diberi xxxPlast tidak apa-apa karena itu hanya luka kecil saja, malah kalau ditutup takut keringnya lama."
"Oh ya ya."
Wah, sejak kapan Nanto mengamati telapak tangan Hanna? Gadis itu hanya tertawa kecil. Ciee, perhatian juga ya.
Oh iya, tadi pas ngasih hape.
Karena suara keduanya tertelan angin, tidak ada percakapan penting lain yang terjalin selama perjalanan. Nanto hanya menjelaskan bahwa ia datang dari desa setelah beberapa tahun tinggal di sana untuk memulai hidup baru di kota ini. Ia juga bilang kalau sebentar lagi akan mulai kuliah di kampus UAL.
Sementara Hanna menjelaskan kalau pria yang datang bersamanya tadi bernama Glen, dan mereka sudah berpacaran sejak lama. Ia juga menceritakan bagaimana Glen marah-marah sepanjang perjalanan pulang dari Warung Mbah Wig.
Tidak lama, keduanya sampai di depan rumah Hanna yang cukup apik. Untuk sampai kesini, keduanya harus melalui pos satpam yang curiga dengan wajah tengik Nanto. Sejak kapan Non Hanna yang super cakep itu kenal laki-laki model remahan kapur barus begini? Ini ojek online bukan sih? Kok tidak pakai jaket hijau?
"Okeeeee. Sudah sampai. Terima kasih banyak, Mas Nanto." Ujar Hanna ceria sembari turun dari motor. Ia melepas helmnya dan menyerahkannya ke Nanto.
"Sama-sama." Nanto tersenyum dan menerima helm itu.
Hanna kembali hendak membuka dompetnya. "Sedikit ya, buat ganti bensin."
"Eits, nggak ah. Kan aku sudah bilang tadi. Aku tidak butuh uangmu. Aku masih bisa cari uang sendiri."
"Apaaan!! Kan katanya belum kerja!"
"Bukan berarti aku tidak punya uang to. Sudah, tidak perlu dirisaukan. Aku tidak pernah minta diberi imbalan."
"Ya udah. Yakin nih tidak mau dibayar? Bahkan setelah mengantarkan ke rumah? Kan sesuai aplikasi?"
Nanto tertawa. "Nggak. Nggak usah. Dapet kenalan teman baru dengan cara unik seperti ini saja sudah jadi imbalan buat aku. Aku toh bukan ojek online, eh... ehmm... belum. Siapa tahu nanti banting stir jadi ojek online kalau ga dapat kerjaan." Kata Nanto sambil mengenakan helmnya kembali. "Ya sudah, aku jalan lagi, ya. Mudah-mudahan suatu saat nanti ketemu lagi."
"Eh iya, tunggu! Pokoknya tunggu sebentar."
Sekali lagi Hanna membuat Nanto bertanya-tanya dengan sikapnya. Gadis itu merogoh tasnya, mengacak-acak, dan menarik kertas post-it note berwarna kuning. Hanna lalu mengambil pena dan menuliskan sebuah nama. Ia membuka ponselnya, mencari satu nama, dan menulis nomor ponsel seseorang di kertas kuning itu.
"Ini." Hanna menyerahkan kertas itu pada Nanto.
"Apa ini?"
"Aku tahu Mas tidak mau diberi imbalan, tapi Mas Nanto kan sedang butuh kerjaan. Nama di situ adalah teman kuliahku yang sedang buka usaha, mungkin dia butuh karyawan baru. Tentu saja usahanya masih kecil, tapi barangkali bisa jadi batu pijakan buat Mas nantinya cari kerjaan yang lebih baik."
Nanto manggut-manggut dan tersenyum, ia melipat kertas itu dan memasukkannya ke dalam dompetnya sendiri, "wah, makasih banyak ya. Kalau info yang seperti ini aku terima."
"Nggak, aku yang terima kasih, Mas Nanto. Maaf kalau tadi siang sikapku kasar ya."
"Aku juga minta maaf untuk yang siang tadi."
Keduanya lantas saling senyum dan bersalaman. Sekali lagi Nanto menyentuh tangan halus gadis jelita itu, memang asli mulus dan lembut. Mana wangi banget pula cewek ini.
Nanto pun memencet tombol starter dan menarik gas perlahan, membawa motor itu meninggalkan sang dewi jelita yang entah kapan akan ditemuinya kembali. Mungkin tidak akan pernah? Motor Nanto melaju dengan kecepatan yang meningkat, membawanya pergi dari rumah Hanna, sementara gadis itu tak melepas kepergian Nanto sebelum pemuda itu benar-benar hilang dari pandangan.
Nanto membuka kaca helm dan tersenyum saat wajahnya terkena angin malam.
Hari ini ternyata hari yang seru.
.::..::..::..::.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG NANTO
AdventureBu Asty tiba-tiba saja menarik kerah kemeja Nanto, memejamkan mata dan mencium bibir Nanto dengan ciuman. Birahi guru muda itu sudah terlanjur menyala, dan mereka berdua pasti akan menerima konsekuensinya. Tapi itu nanti. Sekarang, biarlah keduanya...