Bab 12

186 1 0
                                    

DI ATAS NORMAL

Berubah dimulai dari dalam ke luar.

Kita memulainya dengan memperbaiki sikap kita,

bukan dengan mengubah kondisi di luar kita.

- Bruce Lee

Hanna Dwi Bestari tidak percaya kalau pria yang tadi membuat keributan dengannya sekarang sedang memegang ponselnya yang tertinggal. Bisa-bisanya orang ini...? Eh tunggu dulu, jadi sejak siang tadi dia menunggu di sini?

Wih, mantep juga .

"Iya. Itu hapeku. Terima kasih sudah menyimpannya."

Nanto tersenyum, "sama-sama. Tapi aku harus pastikan dulu, takut kan kalau ponsel sebagus ini jatuh ke tangan yang tidak berhak."

Hanna mencibir sinis, "Maksud kamu apa?"

"Nama kamu Hanna?"

Halah. Modus.

"Iya. Nama aku Hanna. Di situ pasti sudah tertera kan, Hanna Dwi Bestari. Apalagi yang ingin kamu ketahui? Aku masih kuliah. Fakultas Ekonomi, Universitas Sarjana Utama. Mau tanya apalagi? Nomor hp? Alamat rumah?"

"Hahaha. Tidak perlu sedetail itu."

Hanna mendengus. Menunggu ponselnya diberikan, atau Jangan-jangan orang satu ini ada maunya? Ada udang dibalik peyek?

"Oke... oke... berapa?"

"Maksudnya?"

"Terima kasih sudah balikin hp aku. Kamu minta imbalan berapa? Jangan banyak-banyak, aku bukan mesin ATM." Hanna membuka tas jinjingnya, mengambil dompet, dan menghitung uang yang ada di lipatan dompetnya. Ia sudah siap menarik beberapa lembar uang.

Nanto tertawa. Ia mendekati Hanna, membuka telapak tangan gadis itu dan meletakkan ponsel sang dara di sana.

"Tidak perlu. Aku tidak butuh."

Hanna menatapnya tanpa banyak bicara. Banyak kalimat terpikirkan, tapi tidak satu kata pun terucapkan. Orang ini...

Pemuda itu melangkah pergi dan melambaikan tangan tanpa membalikkan badan. ia hanya melangkah santai menuju ke arah motor Om Darno yang masih diparkir sejak siang. Sudah saatnya mengukur jalan lagi.

Hanna menarik napas. Dia agak malas berbasa-basi dengan orang asing, tapi orang ini tidak seperti yang ia pikirkan. Ia juga tidak seperti anggapan Glen – cowoknya yang di sepanjang jalan pulang tadi mengumpat dan mengucapkan nama-nama binatang yang ditujukan ke Nanto.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, si unik ini memang tidak seburuk yang ia pikirkan kok. Setidaknya ada tiga alasan yang membuat Hanna mengubah pendapatnya.

Pertama - siang tadi dia sudah minta maaf, meskipun kesalahan bukan sepenuhnya ada pada Nanto – dan mungkin justru dialah yang kurang berhati-hati. Kedua - pemuda ini tadi siang membersihkan lukanya tanpa diminta dengan cekatan. Tanda kalau dia sebenarnya bukan orang yang berwatak buruk. Ketiga - dia mengembalikan ponselnya yang tertinggal, bahkan hingga menunggunya datang, sampai sore pula, tanpa meminta imbalan.

Wow. Hari gini ternyata masih ada juga ya ksatria lontong di siang bolong.

"Tunggu!"

Nanto membalikkan muka dan menatap gadis jelita itu, "Ya?"

"Ka... kalau boleh aku mau minta tolong."

"Minta tolong?"

"Iya."

"Minta tolong apa?" Nanto berbalik badan dan menatap gadis yang wajahnya tiba-tiba saja memerah itu dengan curiga.

"Tolong antarkan aku pulang."

"HAAAAHHHH!? Kok jadi aku yang nganterin kamu pulang!?"

"Yaa, abisnya... bapak ojeknya kan udah keburu pergi. Apa kamu tega membiarkan aku pulang sendiri seperti ini?"

"Ya kan bisa pesen ojek online! Kayak pas tadi kamu datang ke sini."

"Hmm... ya udah, aku kan cuma minta tolong sama Masnya. Kalau si Mas ga mau ya tidak apa-apa. Yang penting kan udah usaha."

Hanna meruncingkan mulut tanda cemberut. Biasanya kalau dia sudah manja begini, pertahanan para pria akan runtuh. Gadis-gadis cantik memang punya senjata pemusnah massal dahsyat yang dapat merontokkan pria paling tangguh sekalipun. Apalagi kalau secantik dan seseksi Hanna.

Gawatnya Nanto paling lemah kalau berhadapan dengan yang seperti ini.

Argh... kampret.

"Ya udah. Ayo."

"Sip!!!" Hanna segera menghampiri Nanto.

Pemuda itu mengambil helm dan memberikannya pada Hanna. Karena tidak ada rencana untuk memboncengkan siapa-siapa, Nanto hanya membawa satu helm saja.

"Lho? Kok aku yang pakai? Kan Mas yang di depan. Kalau ada polisi bagaimana?"

"Rumah kamu di mana?"

Hanna menyebutkan nama sebuah perumahan terkenal yang juga diketahui Nanto, pemuda itu pun mengingat-ingat jalan menuju ke sana. Ah ya, sudah terbayang rutenya.

"Tidak masalah," ujar Nanto. "Aku nanti lewat jalan tikus. Kita bisa sampai ke tempat itu tanpa melewati pos polisi atau perempatan besar."

"Kalau ada polisi?" Hanna tetap teguh bertanya.

"Ya sudah, ditilang aja gak apa-apa. Helm itu kan bukan aksesoris pelengkap, aku mau kamu yang pakai bukan karena masalah polisi tilang menilang. Aku mau kamu yang pakai, supaya di jalan nanti kamu aman." Nanto menunduk malu.

Sompret, yang begituan kenapa harus pakai dijelasin sih? Si bengal itu mengenakan jaket yang sejak tadi ia letakkan.

Hanna tersipu. Wajahnya kembali memerah. "Oh gitu..."

Nanto naik ke motor dan menjalankannya dengan menekan tombol starter. Hanna segera naik ke posisi belakang.

"Sudah siap?"

"Eh tunggu sebentar."

"Apa lagi sekarang?"

"Aku belum tahu nama kamu, Mas."

Nanto menarik napas panjang, "Nanto. Namaku Nanto."

"Hahaha. Oke deh, Mas Nanto. Aku sudah siap."

Motor itu pun melesat melalui gang demi gang dengan hati-hati, sudah berapa lama ya, Nanto tidak memboncengkan cewek seperti ini? Sudah terlalu lama. Di desa sih beberapa kali ada cewek yang kecantol, tapi tidak ada yang seperti Hanna. Beberapa kali kepala-kepala orang yang melihat keduanya berboncengan menengok karena penampilan Hanna yang memang memukau. Gadis seperti dia mungkin hanya pernah terbayangkan, bukan ditemui, apalagi diboncengkan.

Setiap kali ada polisi tidur, sebisa mungkin Nanto mengerem motor dari jarak jauh. Agar tidak kaget dan menahan agar posisi duduk Hanna tidak melorot ke depan mendadak. Jaim dikit lah jadi orang. Meski sempat beberapa kali gundukan gunung sempurna di dada sang dara itu nemplok bak telur ceplok memeluk wajan teflon di punggung Nanto.

Argh. Yang begini nih.

"Mas Nanto kerja jadi sales?"

SANG NANTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang