Bab 18

144 0 0
                                    

Nanto bersiul-siul sembari membawa bungkusan berisi martabak asin telor dua yang masih hangat ke parkiran motor yang berada di samping lapangan. Selain martabak, di tempat itu banyak penjual-penjual lain menjajakan dagangannya. Nanto happy juga. Lumayan juga nih, beli martabak bukannya duitnya berkurang – eh, malah nambah cepek. Hahaha. Makasih, bidadari cantik. Ga nyangka galak-galak baik juga tu cewek.

"MAKANYAAAA BAYAAAAR!!!"

Terdengar suara teriakan dari sebuah gerobak yang menjajakan wedang ronde. Melalui cahaya lampu teplok remang-remang, seorang bapak pedagang ronde yang kurus menunduk ketakutan saat tiga orang pemuda yang mengenakan pakaian ala-ala band punk mengerumuni gerobak rondenya. Caping yang ia kenakan diangkat ke atas untuk menunjukkan wajahnya yang kecut menghadapi ketiga orang pemuda itu. Kulit sang bapak tua yang gelap dan mengkilap makin basah oleh keringat.

"Den, gimana saya bisa bayar, Den... hari ini saja belum balik modal. Ronde nya belum laku."

"Ya bukan urusan kami, Pak! Uang keamanan belum dibayar! Kalau tidak bayar ya jangan jualan di sini! Laku tidak laku bukan urusan kami, Pak!"

"Woooo! Ngerti ora je!"

"Wes tuwo ora ngerti toto! Sudah tua kok tidak tahu aturan!"

Salah satu pemuda itu menendang roda gerobak ronde sehingga bergoyang keras. Bapak tua itu pun berusaha menahan goyangan agar dagangannya tidak tumpah-tumpah.

"Jangan, Den... iya nanti saya bayar, Den..."

"Nanti ki kapaaaan? Sampeyan sudah jualan dari jam lima enam tadi, Pak. Dikira kami ga liat apa? Pokoknya gini, wes. Kalau hari ini ga bayar, gerobaknya ditinggal! Besok baru boleh dibawa kalau sudah ada duit!"

"Lhaaaa, saya jualannya gimana, Den? Jangan seperti ini lah, Den..."

"Lha ya embuh! Mana saya peduli sampeyan jualannya gimana! Memangnya keamanan itu ga penting apa? Kita di sini kerja, Pak! Bukan minta duit sembarangan! Semua yang jualan di sini juga bayar ke kami!!" pemuda punk yang rambutnya dicat warna ungu mendengus marah. Dia sepertinya yang dijadikan ujung tombak, karena dia yang sejak awal bacot melulu. "Pokoknya nanti jam 10 teng, saya balik ke sini lagi sudah ada duit! Ga peduli dari mana!"

"Oaalaaah, Den... dari mana uangnya Den..."

Teman si rambut ungu yang gondrong nanggung bercat merah melirik ke salah satu kaleng roti yang ada di gerobak ronde. Di sela-sela tutup kaleng terselip warna hijau uang dua puluh ribuan. Dengan tangannya yang panjang ia pun menarik kaleng itu dan membawanya pergi.

"Yang ini aku bawa dulu, Pak. Ini jaminan biar sampeyan nggak kabur."

"Den!! jangan Den! Cuma tinggal itu uang saya, Den!!"

Ketiga pemuda punk itu pun berlari meninggalkan gerobak ronde milik sang bapak sambil tertawa-tawa kasar. Tawa terbahak yang dibuat-buat, serak serak didengar pun tidak enak. Bapak penjual ronde mencoba mengejar kaleng yang dibawa si gondrong nanggung, namun tiap kali si bapak mendekat, kaleng itu dilempar ke teman yang lain, begitu berulang-ulang. Banyak orang yang menggelengkan kepala melihat ulah ketiga pemuda urakan itu.

Satu ketika, kaleng yang dilemparkan hampir jatuh ke tangan sang bapak yang tangannya meraih-raih udara. Melihat hal tersebut, si rambut ungu pun mendorong sebuah motor yang diparkir untuk menutup jalur sang bapak.

Motor yang didorong si rambut ungu malah jatuh mengenai motor lain, dan motor itu jatuh ke motor yang lain lagi, dan jatuh mengenai motor yang lain lagi. Bagaikan domino berbunyi nyaring. Sang bapak yang tidak awas terdorong oleh salah satu motor dan terjerembab ke tanah, sementara kalengnya terbuka dan uang-uang hasil jualannya berceceran.

Mulut Nanto menganga melihat motor Om Darno jatuh dan penyok terkena gagang stang motor di sebelahnya. Pemuda berambut cepak itu segera berlari dan mencoba mengangkat motor yang menumpuk agar bisa mengangkat motor Om Darno.

Ketika motor Om Darno terbebas dan diangkat, Nanto memeriksanya.

Asem ik! Penyok cah!! Wuaaasu! Jingaaaan!!

Gimana nanti Nanto menjelaskan ini sama Om Darno dan Tante Susan? Bangsat-bangsat sok jagoan itu perlu sedikit dikasih obat murus-murus sepertinya!

Orang-orang yang motornya ikut jatuh ngomel-ngomel, namun tidak ada yang berani protes pada ketiga pemuda punk.

Setelah motor Om Darno disandarkan kembali dengan standar samping, Nanto mendatangi orang-orang yang sedang membantu sang Bapak Penjual Ronde berdiri dan mengumpulkan uang-uangnya. Nanto menarik selembar uang sepuluh ribu yang terselip di bawah ban sebuah motor dan memasukkannya ke kaleng si Bapak.

"Bapak mboten nopo-nopo? Bapak tidak apa-apa, kan?" tanya pemuda berambut cepak itu.

"Tidak apa-apa, Den."

Wajah Bapak itu nampak bingung dan tegang. Ia takut dianggap bertanggung jawab terhadap motor-motor yang jatuh. Tapi tidak satupun pemilik motor yang menyalahkan si Bapak, termasuk Nanto. Karena mereka melihat dengan mata kepala sendiri kejadian apa yang terjadi.

Ketiga orang pemuda berbaju punk itu malah duduk-duduk di dekat motor-motor yang jatuh dengan wajah yang tidak menunjukkan penyesalan atau kesalahan. Padahal salah satu dari mereka tadi mendorong motor itu dengan sengaja.

Oke sih, mereka mengucapkan minta maaf meskipun tidak ikhlas.

"Sori, Mas. Ra sengojo ki mau. Tidak sengaja beneran. Rapopo ya." Cakap mereka pada setiap pemilik motor. Tapi mereka mengucapkannya sambil terkekeh-kekeh geli.

Mereka tahu tidak akan ada yang berani menyalahkan mereka. Seakan-akan mereka adalah penguasa seluruh lapangan dan para penjaja di tempat ini.

Nanto mendengus dan menggesek hidung dengan punggung tangannya.

Si bengal itu pun mendatangi ketiga babi guling berpakaian punk yang seenak udel mereka itu dengan wajah tenang. Pemuda itu tahu ia sebenarnya tidak ingin hal seperti ini sampai terjadi, tapi ketiga orang itu sudah keterlaluan.

Apalagi motor Om Darno sampai penyok. Wes ra umum nek kuwi. Sudah tidak bisa ditolerir lagi.

Ketiganya jelas menatap Nanto dengan pandangan sengit, siapa lagi orang ini? Orang sok jagoan dari belahan bumi mana yang berani-beraninya berhadapan dengan mereka di tempat ini?

"Oke. Pertama, yang tadi itu agak kurang ajar, ya. Yang muda seharusnya berlaku sopan dan hormat sama orang tua, bukan malah semena-mena. Jangan mentang-mentang kalian lebih kuat, lebih jago, lebih sehat, terus sok-sokan sama orang yang lebih lemah. Cari uang bukan begitu caranya." Kata Nanto dengan santai, "Kedua, gara-gara kalian motor yang aku pakai penyok. Padahal itu motor pinjaman. Jadi itu artinya, aku minta ganti rugi dari kalian. Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum kalian memberi uangnya."

"Wooooo! Wong gemblung! Orang gila! Kowe ki sopo-e, Su! Kamu itu siapa? Bisa-bisanya minta uang sama kami. Cah! Maju! Wong gemblung ini perlu dikempesin otaknya!"

Nanto tersenyum. Ia menekuk kepala ke kanan dan ke kiri, lalu menggeretakkan jemarinya dengan tangkupan tangan.

Hari ini memang hari yang seru.

SANG NANTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang