Bab 5

298 0 0
                                    

"Jadi begitu ceritanya, Bu. Ibu bisa mencarikan saya kerja di tempat ini?"

"Balik ke sini? Mau jadi apa kamu?"

"Tidak tahu, yang penting kerja saja. Seperti yang tadi saya ceritakan, Bu. Saya butuh pekerjaan untuk membayar banyak hal, termasuk untuk mencari kos atau kontrakan, dan untuk kebutuhan kuliah. Saya sedang mulai menata kembali hidup saya, Bu. Om memang membantu banyak hal, termasuk biaya kuliah, tapi untuk yang lain-lain saya harus mencari sendiri. Di kota ini, selain Om dan Tante saya hanya percaya sama Ibu."

"Ya udah. Nanti coba aku tanyakan ke HRD, siapa tahu ada lowongan cleaning service atau staf lain. Tidak apa-apa pekerjaan seperti itu? Aku tidak bisa membantu banyak karena ijazah kamu cuma SMA. Apalagi karena kamu cowok, aku tidak bisa mengusulkan kamu sebagai librarian untuk perpustakaan, tata usaha juga sudah penuh tidak ada lowongan."

"Tidak apa-apa, terima kasih banyak sebelumnya, Bu."

"Kalau tidak di sini bagaimana? Siapa tahu dapat lowongan kerja di bidang dan tempat lain?"

"Itu juga tidak apa-apa. Saya ikut saja sih, Bu. Kalau ada lowongan di tempat lain saya juga mau. Saya paham ijazah saya yang cuma SMA mungkin agak susah mencari pekerjaan di kota apalagi kalau tidak punya relasi."

"Ya sudah, nanti coba Ibu bantu carikan ya. Kamu tinggalkan nomer saja."

Nanto mengangguk, ia mengeluarkan ponsel bekas yang dulunya pernah dipakai oleh Tante Susan. Ia memang beruntung Om Darno dan Tante Susan sangat baik dan memberikan ponsel ini untuknya. Nanto membuka note untuk membaca catatan nomor ponselnya sendiri yang sampai sekarang belum ia hafal.

Bu Asty mencatat nomor Nanto di hapenya.

Suasana hening kemudian saat terdengar bel sekolah yang nyaring menandakan sudah saatnya siswa masuk ke kelas masing-masing. Baik Nanto maupun Bu Asty terdiam seribu bahasa. Nanto menatap guru muda itu. Semasa sekolah di sini, Bu Asty adalah penyelamatnya. Betapa sering beliau menyelamatkannya dari gamparan tangan dan hajaran penggaris Kepala Sekolah yang sudah sering mampir ke lengan, punggung atau kakinya. Untungnya ada Bu Asty yang dengan sabar menutupi semua kelakuan bandel Nanto hingga hukuman yang ia terima tidak sebanyak yang seharusnya.

"Bagaimana kabar Pak Subur, Bu?" Nanto menanyakan Kepala Sekolah yang sering menampar dan menghajarnya dengan penggaris. Memori indah lah.

"Beliau terkena komplikasi penyakit gula dan darah tinggi, sudah resign dua semester kemarin dan pulang ke kampungnya. Kepala Sekolah yang baru namanya Pak Suratman – dipanggilnya Pak Man."

"Wah... beliau sudah resign ya, Bu?" kepala Nanto menunduk, terdengar sedikit penyesalan di sana. "saya belum sempat meminta maaf pada beliau. Meski cuma sebentar di sini sudah banyak sekali kenakalan yang dulu saya perbuat dan membuat beliau mencak-mencak. Jangan-jangan beliau juga sering tensi-nya naik gara-gara saya ya, Bu?"

"Memang! Hahaha. Kamu itu hobi banget bikin orang-orang tensinya naik, termasuk ibu. Sering berantem, tawuran dimana-mana. Sok jago banget sih. Berapa kali coba ibu harus menyembunyikan kamu di ruang UKS karena datang ke sekolah lebam-lebam? Tahu tidak kalau banyak orang mengkhawatirkan kamu?"

Nanto tertawa dan menggelengkan kepala. "Tidak ada yang mengkhawatirkan saya. Ibu kandung saya saja tidak pernah tahu saya dimana. Beliau juga tidak pernah banyak bertanya."

"Ya bagaimana beliau bisa tahu. Sejak ayah kamu meninggal kan Ibu kamu sakit-sakitan. Bukannya ngerawat Ibu malah sering main ke kantor polisi. Nanto... Nanto..."

Nanto tersenyum kalau teringat masa-masa kenakalannya dulu, ia pun hanya mengangkat bahunya. "Kalau di rumah, saya justru sering diusir sama Ibu supaya lebih sering keluar rumah dan main sama temen. Sebenarnya sih saya tahu Ibu tidak mau saya melihat beliau sakit-sakitan, Ibu bukan tipe orang yang ingin dirawat, Ibu ingin terlihat kuat di mata saya."

"Almarhum Ibu kamu berbuat seperti itu karena ingin kamu mandiri, beliau tahu penyakit beliau berat dan tidak akan bisa menjadi sandaran hidup kamu terus menerus. Itu alasannya."

"Mungkin ya, Bu. Tapi kesannya saya diusir melulu dari rumah. Jadi mau kemana pun saya pergi, tidak ada yang bakal nyariin."

"Haish. Ngaco. Ibu pernah ketemu sama ibu kamu. Beliau bilang kalau beliau sayang banget sama kamu. Banyak harapan Ibu kamu, supaya kamu dapat tumbuh menjadi orang yang baik dan peduli pada sesama, supaya kamu mandiri dan tidak bergantung pada orang lain, supaya kamu menjadi laki-laki sejati."

Nanto duduk terdiam tanpa membalas lagi.

Pemuda itu tengah duduk di ruang detention room yang ada di sebelah ruang BK. Sementara guru BK muda yang dulu sering bertugas memberikannya penyuluhan duduk di hadapannya, saat ini pun masih merasa seperti itu.

Ruang ini terpisah dan terisolasi dari ruangan lain di sekolah, berkesan seperti penjara. Sengaja dibuat demikian agar para siswa merasa kapok dan jera jika masuk ke ruang BK. Semua - kecuali Nanto. Saat sekolah di sini dulu, Nanto sering sekali masuk ke ruangan ini dan membuat Bu Asty pusing tujuh keliling. Ternyata sekarang setelah lulus dan kembali pun, Nanto kembali lagi ke ruangan ini.

"Selain keluarga, sepertinya tidak ada yang khawatir sama saya."

"Aku khawatir. Makanya aku dulu sering belain kamu."

Nanto memiringkan kepala, menatap ke arah guru BK-nya dengan pandangan mata sejuk. "Ibu berbeda dengan yang lain."

"Bedanya gimana?"

"Ibu khawatir."

"Ya kan memang sudah seharusnya sekolah mengkhawatirkan siswanya. Seburuk-buruknya sekolah ini, kami dari jajaran guru tidak pernah memperlakukanmu dengan tidak layak, kan? Kami selalu memperhatikan semua murid. Itu termasuk murid sableng seperti kamu. Udah nilainya jeblok, kerjaannya berantem, ga pernah masuk kelas. Eh malah nongkrong di kantor polisi, gimana Ibu tidak pusing."

Nanto kembali mengangkat bahunya. "Dulu rasanya semua hal membuat saya selalu marah. Ibu yang stress sepeninggal Ayah, hidup yang tidak tentu arah, semua terasa kacau dan tanpa harapan."

"Sampai sekarang?"

SANG NANTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang