.: BEBERAPA BULAN YANG LALU :.
"Kamu tinggal saja di kota, le." Kata Tante Susan sembari menyebarkan bunga di makam Kakek. "Om Darno itu kan kerjaannya lumayan di kantor, jabatannya tinggi. Om bilang mau bantuin bayarin kuliah kamu. Nanti kalau sudah lulus S1, kalau kamu mau kamu juga bisa kerja di tempat Om. Sayang kan kalau kamu cuma mengandalkan ijazah SMA dari desa. Di tempat ini tidak ada apa-apa lagi, le."
Nanto tidak menjawab ya ataupun tidak. Dia sudah tidak lagi memiliki orang tua – ayahnya meninggal saat ia baru saja lulus SMP dan ibunya juga sudah wafat karena komplikasi penyakit sewaktu ia duduk di tingkat dua SMA. Yatim piatu membuatnya harus pindah ke kampung untuk tinggal dan menemani sang Kakek yang juga tinggal sendirian. Sejak Nenek meninggal, sang Kakek memang lebih memilih tinggal sendiri di desa dibandingkan harus ikut keluarga Tante Susan atau keluarga Pakde Wira yang tinggal di lain pulau.
Ikut sang Kakek selama beberapa tahun di desa, Nanto jauh lebih menikmati hidupnya dibandingkan saat ia masih tinggal di kota. Sawah, ladang, gunung, sungai, senyum orang-orang desa yang ramah, dan waktu berharganya bersama sang kakek. Itulah kehidupan bersahaja yang mungkin sebenar-benarnya kebahagiaan. Setelah ia menyesuaikan diri dengan kehidupan disini, haruskah ia kembali ke kota dan menghadapi hiruk pikuk yang memusingkan?
Ia mengelus-elus kepala Sagu yang tidak beranjak dari makam Kakek sejak orang tua konyol itu dimakamkan. Omong-omong, kenapa Nanto selalu menyebut kakeknya orang tua konyol? Itu cerita untuk lain waktu.
Sagu menjulurkan lidah sembari menatap sedih ke arah Nanto – seakan-akan menggambarkan kesedihannya telah ditinggal oleh Kakek, dan sebentar lagi juga Nanto. Kenapa semua orang meninggalkannya? Lidahnya terjulur panjang dan mulutnya terbuka seperti terengah. Bahkan Sagu pun mungkin juga mempertanyakan nasibnya.
"Saya tidak enak, Tante. Kalau saya kembali ke kota, hanya akan membebani Om dan Tante nantinya."
"Ya tidak juga. Om nanti biar mencarikan kuliah malam, jadi kamu kuliahnya tidak seperti kebanyakan orang yang ambil kuliah reguler. Banyak kok kampus yang menyediakan kelas malam. Jadi kamu nanti malamnya kuliah, paginya bisa cari kerja untuk memenuhi kebutuhanmu sendiri. Om dan Tante juga akan carikan kerja seadanya dulu buat kamu. Kalau mau cari kerja sendiri juga boleh, yang penting ada pemasukan dulu."
"Saya bisa bekerja seadanya di sini, Tante. Hidup sederhana di desa bersama Sagu. Rasanya saya tidak perlu kuliah lagi. Semua yang saya butuhkan ada di sini. Setahun belakangan setelah lulus SMA saya dan Kakek hidup dari bercocok tanam, itu sudah cukup untuk kami."
"Kami yang akan merasa bersalah kalau kamu tetap tinggal di sini, le. Kalau kenapa-kenapa Om dan Tante tidak bisa cepat membantu, kami merasa dilimpahi tanggung jawab sama Ibu kamu. Kakek sendiri sudah pesan dalam wasiatnya kalau beliau meminta rumah di sini dijual dan hasilnya dibagikan sebagai warisan untuk cucu-cucunya. Pakde Wira dan Tante sudah sepakat untuk menjual rumah sesuai wasiat Kakek. Kamu satu-satunya putra Mbak Sari, kamu jelas membutuhkan modal untuk masa depan kamu, uang dari Kakek nanti sebagian bisa ditabung, sebagian lagi bisa dipakai untuk membantu kebutuhan hidup semasa kuliah atau modal usaha kelak."
Nanto menatap mata Sagu dengan gamang, segamang kosongnya hati menatap masa depannya yang kian tak menentu, atau malah sudah ditentukan dari sekarang? Apa yang akan terjadi dengan hidupnya?
Nanto kembali mengelus kepala anjing berwarna putih di sampingnya yang kian merunduk.
.::..::..::..::.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG NANTO
AdventureBu Asty tiba-tiba saja menarik kerah kemeja Nanto, memejamkan mata dan mencium bibir Nanto dengan ciuman. Birahi guru muda itu sudah terlanjur menyala, dan mereka berdua pasti akan menerima konsekuensinya. Tapi itu nanti. Sekarang, biarlah keduanya...