"Ada seribuan, Mas?"
"Bentar-bentar, Pak..."
Pulang malam-malam begini rasanya tidak enak kalau tidak membawakan oleh-oleh untuk Tante Susan dan Om Darno. Agak merasa bersalah juga Nanto membawa motor sang Om seharian, sehingga akhirnya ia memutuskan berhenti sebentar di kios Martabak R@hayu. Salah satu kios martabak yang disukai Ibu-nya bertahun-tahun lalu. Kalau beli martabak asin di sini tempatnya, martabak manis – atau terang bulan? Di sini juga. Kalau beli sate? ya di tukang sate lah.
Seribuan ya? Kantong celana kanan, tidak ada. kantong celana kiri, tidak ada. jaket? Tidak ad... saat Nanto merogoh kantong jaketnya. Ia mengernyitkan dahi.
Eh? Kok ada duit di sini?
Ketika menarik tangan, Nanto ikut menarik juga selembar uang seratus ribu. Dari mana uang ini? Ia kan tidak pernah menaruh uang di kantong ja...
Ah. Hanna.
Gadis itu pasti memasukkan uang ini ke kantong jaketnya saat ia tidak menyadarinya tadi, saat mereka berdua berboncengan. Ucapan terima kasih karena telah mengembalikan ponselnya. Haeh, apaan sih mesti pake ginian segala. Nanto kan tidak berharap imbalan apapun.
Ya sudahlah, tidak baik menolak rezeki, apalagi yang datang dari seorang bidadari.
"Maaf Pak, tidak ada seribuan."
"Kembaliannya receh ga apa-apa ya, Mas."
"Mboten nopo-nopo, Pak. Tidak apa-apa. Yang penting duit, Pak."
"Hahaha, kalau seribunya kacang nggak mau ya, Mas?"
"Hahaha."
Wew. Garing.
.::..::..::..::.
Hanna meletakkan ponselnya di depan meja kaca riasnya, ia sudah selesai mandi dan berbenah. Dara itu kini sedang menyisir rambut panjangnya di depan cermin dengan pikiran yang melayang tak tentu rimba.
Secara reflek gadis itu mengelus pipinya.
Ia masih ingat betul tamparan di wajahnya saat ia secara ceroboh meninggalkan ponsel pemberian Glen di kampus dua bulan yang lalu, untung kemudian hape itu dikembalikan oleh salah satu teman yang menemukannya. Glen benar-benar marah besar saat itu. Ya, Hanna tahu harga ponsel itu sangat tinggi, tapi ia tidak pernah menyangka Glen akan menamparnya lagi.
Ya, menampar lagi. Kali itu bukanlah pertama kalinya Glen menampar Hanna. Sudah beberapa kali ia melakukannya, terutama kalau Hanna melakukan kecerobohan baik yang disengaja maupun tidak.
Entah berapa kali pula Hanna menutupi perlakuan kasar Glen di hadapan orang tuanya.
Itu sebabnya tadi Hanna memutuskan untuk kembali ke Warung Mbah Wig saat Glen sudah pulang ke rumah tanpa curiga, karena ia bisa dengan bebas datang ke warung simbah tanpa ancaman kekerasan dari kekasihnya. Harus diakui Hanna sempat khawatir ponsel itu sudah lenyap, ia sudah tahu resikonya. Itu sebabnya Hanna sudah mempersiapkan kartu kreditnya untuk membeli ponsel baru yang sama persis agar Glen tidak curiga dan lagi-lagi main tangan.
Wajah Hanna meredup di depan cermin. Akankah seperti ini terus, Hanna? Akankah kamu hidup dalam ketakutan, dan menikah dengan pria yang seperti itu? Bahkan sebelum kalian menjalin hubungan di bawah satu atap dia sudah bersikap sekasar itu.
Kenapa kamu pertahankan hubunganmu dengan Glen?
Glen adalah anak dari relasi ayahnya dan mereka berdua sudah bersama-sama sejak beberapa tahun yang lalu. Sebetulnya Glen adalah pria yang penyayang dan baik terhadap keluarga, entah sudah berapa kali keluarga Hanna diajak Glen liburan ke kota bahkan negara lain. Dari semua pacar yang pernah dibawa ke rumah, hanya Glen yang disetujui Ayah dan Bunda Hanna untuk menjadi pendampingnya. Apakah itu sudah cukup sebagai jawaban kenapa hubungan mereka masih bertahan?
Sebentar lagi mereka akan menyelenggarakan pesta pertunangan, meski Hanna dan Glen masih sama-sama kuliah dan belum bekerja. Namun Glen hanya tinggal menunggu waktu untuk mewarisi usaha Om David dan Hanna juga akan meneruskan bekerja di kantor ayahandanya.
Hanna tahu, hidupnya kini hanya untuk Glen.
Siapa yang dapat menghalangi takdir itu?
.::..::..::..::.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG NANTO
AdventureBu Asty tiba-tiba saja menarik kerah kemeja Nanto, memejamkan mata dan mencium bibir Nanto dengan ciuman. Birahi guru muda itu sudah terlanjur menyala, dan mereka berdua pasti akan menerima konsekuensinya. Tapi itu nanti. Sekarang, biarlah keduanya...