Bab 7

290 0 0
                                    

DUNIA YANG TERLUPA

Semua perkataan kita,

hanyalah remah-remah yang jatuh dari pesta pikiran.

- Kahlil Gibran

Jalak Harnanto mengukur jalan dengan menggunakan motor pinjaman milik Om Darno. Dia masih hafal jalan-jalan di kota ini, liukan sudut bentangan aspal yang dulu pernah sangat akrab dengannya. Trotoar yang pernah menjadi tempatnya berkeluh-kesah dan angin jalanan yang membelai lembut wajahnya saat ia tak lagi sadar impian atau kenyataan yang sedang ia arungi, semua ini bagai reuni dengan kawan yang lama tak berjumpa.

Bagai kekasih. Bagai Bu Asty.

Kok jadi Bu Asty lagi? Wong gemblung! Kamu tadi yang mulai mencium Bu Asty! Woo! Munyuk! Kamu pikir kamu itu siapa?

Nanto menggelengkan kepala, mengenyahkan makian dalam hati yang hanya akan membuatnya merasa teruk - meski bentakan itu hadirnya dari dalam batinnya sendiri. Apaan sih suara hatinya ini? Biarkan saja to, hidup ini kan cuma sekali, tak ada salahnya menyatakan kekaguman dalam hatinya terhadap orang yang paling tepat dengan cara yang ia inginkan.

Caranya itu lho!

Caranya memang agak kurang ajar ya, harus ia akui. Dia mungkin sudah kelewat batas.

Memang sih, Bu Asty tadi cakepnya memang bikin pusing kepala. Gimana ga gemes? Haduh itu ranum banget. Sayang semua buyar gara-gara bel sekolah berbunyi.

Nanto menggelengkan kepala kembali, lupakan yang tadi. Lupakan cah gemblung! Sekarang saatnya cari peluang kerja, bukan bikin skandal yang cuma bikin kamu jalan di tempat. Dasar bodoh! Bodoh! Baru datang ke kota ini, bukannya nyari cara benerin hidup malah sudah bikin masalah baru. Entah bagaimana ia akan menyudahi apa yang tadi ia lakukan atau malah membuat semuanya tambah ambyar.

Secakep apapun Bu Asty, dia itu istri orang! Jadi orang jangan bego-bego amat, Nyuk! Pengen kena azab kuburannya ditimpa truk tangki air soda?

Motor yang dikendarai Nanto berbelok ke sebuah gang kecil, menjauhi jalan utama, lalu masuk ke gang yang lebih kecil lagi. Hanya satu hal yang dapat membuat Nanto melupakan insiden kecilnya tadi, yaitu makan enak!

Deru suara motornya berhenti saat Nanto akhirnya sampai di sebuah warteg kecil yang ada di pertengahan sebuah gang sempit, Warung Mbah Wig! Warung ini populer meski lokasinya bisa dibilang berada di tanah tak bertuan saking tersembunyinya. Untuk mencapai tempat ini ada dua cara, yang pertama harus sudah pernah mendengar kabar tentang enaknya masakan di sana dan yang kedua diantarkan oleh orang lain yang juga sudah pernah merasakannya. Tua muda kaya miskin banyak yang berkunjung kemari.

Karena lokasinya berada di tengah jalan sempit, bagi yang datang dengan mobil harus mengalah memarkirkan kendaraannya agak jauh dari lokasi dan berjalan kaki ke warung. Sedangkan yang menggunakan motor, ada ruang terbuka yang tidak begitu luas yang dipakai sebagai tempat parkir. Kalau tempat parkir ini penuh, motor-motor akan berjajar di pinggir-pinggir gang.

Warung Mbah Wig sebenarnya warung sederhana saja, khas dengan masakan Jawa. Sayur lodeh ada, sayur sop ada, ayam goreng ada, jeroan goreng ada, tahu dan tempe goreng garing ada, dan macam-macam lauk lain yang bikin perut kenyang hati senang. Namun yang paling lezat dan selalu dicari tentu saja adalah empal goreng yang sedap krenyes bikin warrior serasa princess.

Omong-omong, kesiangan ga ya? Saking laris dan ngetopnya masakan Mbah Wig, kalau siang sedikit empal goreng di sini sudah habis. Lauk yang lain juga enak sih, tapi kalau ga ada empal serasa sayur sop tanpa daging. Ya iya lah ya.

Setelah parkir dengan santun, meletakkan helm di spion motor dan tersenyum pada bapak-bapak yang jaga parkiran, Nanto pun melangkah mantap masuk ke warung.

Beberapa orang menatap kedatangan Nanto sambil mengunyah makanan mereka, diamati dari atas ke bawah, bawah ke atas, kaki ke kepala, kepala ke kaki. Karena warung ini sebenarnya kecil dan sempit, siapapun yang datang seakan-akan patut dicurigai dan jadi bintang sesaat. Mereka mengamati pemuda yang baru datang itu bagai penyelidik. Tubuh tegap dan kencang, wajah tenang, rambut dipotong cepak dan rapi, kemeja putih seperti baru beli, dan celana panjang hitam yang sepertinya belum nyaman dikenakan. Sebagian pengunjung menduga: kalau bukan sales nawarin panci kredit atau tukang angkut piring di kawinan, orang ini pasti baru magang kerja.

Nanto sih cuek saja, karena yakin tebakan semua orang pasti salah.

Ah, hanya ada dua orang yang sedang berdiri menunggu Mbah Wig meladeni, ga lama lah.

SANG NANTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang