Bab 10

279 2 0
                                    

Sore menjelang, langit mulai redup dengan tabir kubah bumi mulai memerah. Warung Mbah Wig sudah tutup sejak siang karena makanan yang disajikan sudah habis.

Ada sebuah kursi kayu panjang yang biasa dipakai oleh Bapak Parkir di depan tempat parkir motor dan di sanalah Nanto duduk. Ia mengguling-gulingkan ponselnya sendiri yang sudah habis baterainya dengan tangan kiri. Sementara sedari tadi ia terus menerus memandang wajah Hanna di ponsel yang ditinggalkan oleh pemiliknya dengan tangan kanannya.

Asli, ini orang cakep banget. Kok bisa-bisanya tadi dia ga sadar ya?

Terdengar suara motor menderu dan berhenti di ujung gang, ojek online. Terlihat dari jaket dan helm yang berwarna hitam dan hijau. Dari belakang sang pengemudi ojek, turun seorang gadis yang mengenakan kemeja putih, celana hotpants jeans yang gagal menyembunyikan mulusnya paha sang empunya, dan sepatu Skechers berwarna abu-abu. Saat membuka helm, gadis itu menyibakkan rambut panjang dan memperlihatkan wajah cantiknya.

Hanna.

Dara jelita itu berlari menuju warung Mbah Wig sambil terengah-engah dan meletakkan tangan di kepala. "Yaaaah udah tutuuup. Duh, gimana nih."

Sepertinya ia tidak melihat Nanto yang masih berada di sana, memang posisinya terlindung oleh pohon yang rindang dan seakan-akan terkamuflase oleh bayangan pohon dan gelapnya suasana menjelang sore. Nanto terkekeh, lagian. Kenapa juga nunggu sampai sore baru balik kesini? Malu? Kalau tadi langsung balik arah kan bisa langsung diambil ponselnya.

Atau ada alasan lain kenapa kamu baru balik ke sini sore?

"Duuuh gimana nih? Mampus! Mampus! Mampus!" sang dara kembali mengeluh.

Nanto duduk dan berjalan santai ke arah si cantik. Ia menggoyangkan ponsel yang ia temukan tadi. "Mencari ini?"

Bagai bertemu hantu, si cantik yang kemungkinan bernama Hanna itu melompat mundur karena kaget. Ia mengernyitkan dahi dan menyadari siapa yang sudah menemukan ponselnya.

"Kamuuu!?"

.::..::..::..::.

Suasana kantin kampus cukup ramai sore itu, jam dinding di tembok kantin menunjukkan masih ada waktu setengah jam sebelum jam ujian akhir semester berikutnya. Lokasi kantin di UAL cukup strategis karena berada tepat di tengah kampus dan dekat dengan taman utama, sehingga mudah diakses oleh mahasiswa dari semua fakultas. Sebetulnya kantin ini bukan satu-satunya kantin karena masih ada tempat lain yang juga bervariasi makanannya.

Lokasi pujasera – pusat jajan serba ada - ini dinamakan Kantin Tengah oleh anak-anak kampus, dan seperti biasanya Kantin Tengah selalu ramai. Sore itu anak-anak Fakultas Teknik, Sastra, Fisipol, Ekonomi, Komunikasi, Hukum, dan Teknik Informatika berkumpul menjejali meja-meja kantin.

Ada yang bercanda.

Ada yang sedang tertawa.

Ada yang sudah selesai ujian hari ini, ada yang sebentar lagi baru akan mulai.

Semua terlihat gembira di sore yang cerah.

Di samping kantin yang memiliki sekitar sembilan petak penjaja makanan, beberapa orang mahasiswa duduk mengitari sebuah taman kecil berbentuk melingkar. Di pinggir lingkaran tersebut diletakkan kursi panjang yang juga melingkar, sedangkan di tengah-tengahnya terdapat sebuah patung dengan air mancur kecil menjadi hiasan. Tentu saja air mancur kecil itu mati karena aliran air menuju patung terputus dan sampai sekarang belum pernah dinyalakan.

Dengan rambut gondrong, wajah ketus, kacamata hitam, dan jaket bomber seragam, kelompok mahasiswa yang sedang duduk-duduk di tempat tersebut adalah kelompok preman kampus yang sering menamakan diri mereka DoP atau Death of Pocoyo. Kenapa bukan Superman saja yang death? Karena takut kena tarikan royalti. Meskipun tongkrongan sangar tentu masih harus itung-itungan.

Entah sudah berapa lama anggota DoP ini tinggal di kampus, sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa lama yang enggan lulus dan sudah lupa caranya pegang pulpen. Ga diusir ribet, mau diusir kok bayar. Pihak kampus pun akhirnya membiarkan saja kaum ubur-ubur semacam ini berkeliaran, yang penting mah bayar, semua urusan beres.

"Oit. Masbro."

Jovi Setyanto – salah satu dari anggota DoP melempar pelan sebuah kerikil ke arah adik angkatan bertubuh subur yang duduk tak jauh dari mereka. Yang ditimpuk pura-pura tak mendengar panggilan Jo ataupun kerikil yang dilempar. Ia hanya lanjut makan bakso yang sepertinya sedap sekali.

Sekali lagi Jo melemparkan kerikil kecil.

"Masbrooo!"

Mata sang adik angkatan bergerak sekilas melirik ke arah Jo dengan sudut mata, namun ia kembali makan baksonya dengan cuek, seakan tak peduli ia telah dipanggil atau sudah dua kali kena lemparan kerikil.

"Woooi!!"

Akhirnya Jo habis kesabaran, ia bangkit dan berdiri. Melangkah meninggalkan rombongan DoP ke arah si junior yang sok bolot. Ini anak memang perlu diurus, batin Joe. Pakai pakaian yang ngejreng kalau di kampus, sepatu ori warna putih yang kalau kesenggol aja jerit-jerit, bercanda-canda genit dengan teman-temen cewek, ponsel terbaru dengan merk buah yang dicokot yang dipamer-pamerin. Kalau cewek kok selangkangannya jendol, kalau cowok kok jalan aja melambai zigzag.

Tanpa babibu, Jo mengambil sebutir bakso dari mangkok sang adik angkatan. Wajah galak Jo membuat si tubuh subur mulai gelisah.

"Enak ya?"

Si tubuh subur blingsatan dengan keringat yang mulai bercucuran, ia hanya tersenyum kecut dan mengangguk. Sekali lagi Jo mencomot bakso miliknya dengan santai, kali ini bakso yang ukurannya paling besar. Sepertinya berisi telur rebus.

"Ini juga enak." ujar Jo tanpa ekspresi, "kenapa tadi dipanggil diem aja? Ga punya kuping?"

"Oooh... ehmm... tadi panggil saya, ya? Kirain manggil siapa tadi, Bang." Si tubuh subur mencoba mengembangkan senyum, tapi dari wajahnya jelas ia gentar dan ketakutan.

Jo duduk di samping si tubuh subur sembari merangkul pundaknya dengan sok akrab. Bau rokok menyeruak tak nyaman membuat si tubuh subur mengernyit.

"Masbro, bisa ga dibagi duitnya? Ane laper."

"Ooh... mau bakso juga? Santai aja, Bang." Si tubuh subur menarik dompetnya yang tebal. Jo mencibir melihat deretan kartu kredit berjajar di dompet adik angkatannya itu. Si tubuh subur menarik selembar uang dua puluh ribu dan memberikannya pada Jo.

"Segini cukup, Bang?"

"Yang biru itu aja." Kata Jo sambil menunjuk selembar uang lima puluh ribuan masih terselip manja di dompet si tubuh subur. Dengan berat hati sang adik angkatan mengeluarkan uang itu dan memberikannya pada Jo. Tapi ia masih tetap memasang senyum yang dipaksakan.

Jo mencibir.

Dasar penyu! Pengecut! Sembunyi gih masuk cangkang!

SANG NANTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang