Bab 4

353 1 0
                                    

Nanto memarkirkan motor di samping gardu satpam, tempat parkir motor tamu. Entah kenapa hari itu SMA Cendekia Berbangsa menjadi ramai sekali, motor yang diparkir begitu banyaknya sehingga ruang yang tersisa tidak lapang. Duh, awas hati-hati jangan sampai motor yang dipinjam dari Om Darno lecet kegesek motor di samping.

Om Darno memang selalu tenang dan anteng menghadapi masalah apapun, ia juga dengan santai meminjamkan motor yang belum ada sebulan on the road kepada Nanto untuk dipakai sehari-hari tanpa syarat apapun sampai nanti ia bisa memiliki motor sendiri. Meski begitu... kalau sudah marah, wah... ya jangan sampai lah. Lebih baik cari aman saja, jangan sampai saat dikembalikan nanti, motornya sudah lecet-lecet parah. Bisa-bisa dikirim ke Korea Utara buat wajib militer.

Nanto kemudian melangkah perlahan menyusuri kenangan. Ia mungkin hanya satu setengah tahun menjadi siswa SMA Cendekia Berbangsa, namun sebelumnya ia juga lulus dari SMP di lokasi yang sama dan berada satu lingkungan dengan SMA ini. Mengunjungi tempat ini bagaikan menguak berbagai cerita yang selama ini hanya tertanam dalam memorinya.

Kelas dua SMA. Terakhir kali menginjakkan kaki di tempat ini, Nanto masih kelas dua SMA – atau kalau sekarang lebih sering disebut kelas 11. Dia masih hafal betul, sudut-sudut nakal tempat ia dulu sering kongkow, lorong yang harus dihindari waktu bolos agar tidak ketahuan kabur sama guru, dan jalur-jalur unik lainnya.

Apakah sudah terlalu lama ia meninggalkan tempat ini sampai-sampai para satpam sudah diganti, tidak ada lagi yang ia kenali. Beberapa orang guru berseragam yang lalu lalang pun dengan santai lewat tanpa sapa hangat. Ya mau bagaimana lagi, memang tidak kenal. Ada perubahan yang sudah terjadi di tempat ini.

Saat memasuki pintu depan dan hampir sampai ke meja guru piket yang berjaga di depan untuk menerima tamu, sebuah suara terdengar merdu memanggil namanya. Iya, namanya yang dipanggil kan, ya? Tidak ada orang lain di sini yang namanya sama dengannya kan, ya?

"Nanto? Jalak Harnanto?"

Nanto menoleh ke arah ruang di kanan dan pemandangan indah di depan pintu menyambut dengan senyum lebar paling sumringah yang pernah ia lihat dalam beberapa tahun terakhir. Kalau ada satu hal yang selalu ingin membuatnya kembali ke sini, mungkin itu adalah sosok ini. Asty Ayuning Ratri – biasa dipanggil Bu Asty. Guru muda yang menjabat sebagai Guru BK di SMA Cendikia Berbangsa. Sosok yang paling sering ditemui, terutama karena kenakalannya dulu.

Sosok yang paling ingin ia temui.

"Halo, Bu." Nanto menyapa sang guru muda dan membungkuk untuk mencium punggung tangannya. Cincin yang melingkar di jemari wanita jelita itu menandakan Bu Asty sudah punya suami, dia juga sudah memiliki momongan.

"Wah... wah... beneran kamu, Nanto? Sudah gagah aja kamu. Tumben banget datang kesini, ada perlu apa nih? Tidak ada hujan tidak ada angin tiba-tiba saja mampir. Ada perlu sama bagian Tata Usaha Sekolah?"

"Ti... tidak sih, Bu."

"Terus?"

"Jujur saya kemari mau menemui Ibu. Ada yang ingin saya tanyakan, Bu. Boleh kita berbicara empat mata?"

"Oh ya? Mau ketemu saya?"

Bu Asty kemudian melirik ke arah jam dinding yang terpampang di atas meja guru piket. Jam bulat besar berwarna putih itu menunjukkan waktu istirahat siang. Ya sudahlah, hari ini kebetulan sedang tidak ada jam mengajar ataupun siswa yang meminta bimbingan.

Guru muda itupun mengangguk.

.::..::..::..::.

SANG NANTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang