Bab 20

170 0 0
                                    

Pukulan kencang yang dilontarkan si rambut ungu memang melesak memasuki pertahanan Nanto, namun sekali lagi berhasil ditepis oleh sisi luar pergelangan tangan si bengal. Sembari tangannya menahan, jemari si bengal berputar dan menarik pergelangan tangan si rambut ungu sehingga tubuhnya doyong ke depan ke arah Nanto. Si bengal itu pun lantas mendorong sikutnya ke depan, menghantam dada dengan telak, sikut yang sama kemudian digerakkan secepatnya ke atas untuk menghentak rahang si rambut ungu.

BEGG!! BLETAAAGG!!

Rambut ungu terhuyung dengan rahang nyeri dan emosi memanas.

Ia belum selesai.

Pemuda punk berangasan itu mencoba melontarkan satu tendangan cepat, namun saat itu pula kaki Nanto sudah mendorong lutut kaki yang terangkat dan menggagalkan serangannya. Pemuda punk itu memaki dalam hatinya.

Waaaaasu!

Siapa sebenarnya orang ini? Dengan siapa mereka berhadapan?

Setaaaaaan!!! Modyaaaaar!!!

Rambut ungu tidak tahan lagi, ia kembali menyerang membabi buta, dan lagi-lagi semua serangannya dimentahkan oleh Nanto yang justru sanggup menekan balik. Meski sudah berpengalaman bertarung, tak urung rambut ungu pun kewalahan menahan serangan dengan kecepatan tinggi seperti ini. Nafasnya kembang kempis karena terhanyut dalam badai adu pukulan.

Ini sebenarnya siapa yang menyerang siapa!?

Meski rambut ungu bergerak maju dan melontarkan serangan demi serangan, justru pukulan dari Nanto-lah yang beberapa kali telak mengenai sasaran. Kalah cepat, kalah napas, dan kalah tenaga, konsentrasi rambut ungu buyar. Pemuda punk itu akhirnya gagal menahan laju deras serangan dari Nanto. Rantai pukulan dari tinju kanan dan kiri si bengal itu semuanya masuk.

BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK!

Di tengah dada, tengah dada, dada, dada, dada, dada, dada.

Sang pemuda punk terhuyung ke belakang, namun Nanto tak menghentikan hujan pukulan cepatnya. Tubuhnya tegap berdiri dan konsisten pada satu posisi, sementara kedua tangannya bergerak cepat bak kesetanan dan terlontar begitu saja. Nanto seakan-akan hanya butuh memutar pinggulnya ke kanan dan kiri saja untuk melontarkan serangan yang semakin tajam dan menyengat.

Tentu saja rambut ungu tidak mau menyerah dan pasrah menerima pukulan demi pukulan. Ia tetap mencoba menghindar, menangkis, dan menyerang si bengal, namun setiap kali ia menyerang, justru pukulan dari Nanto yang masuk. Dari manapun arah serangan si rambut ungu.

Kiri, kanan, atas, bawah, tengah, kanan, kiri, atas, bawah, tengah, tengah, kanan, atas.

Semua mentah.

Rantai pukulan dari Nanto kembali menyerbu.

BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK!

Di tengah dada, tengah dada, dada, dada, dada, dada, dada.

Tubuh rambut ungu goyah, pertahanannya terbuka lebar.

Si bengal menarik kepalan tangan kiri ke belakang untuk sepersekian detik dan dengan satu hentakan melontarkan sambaran kencang ke rahang si rambut ungu.

BLETAAAGGG!

Si rambut ungu pun terlempar dan jatuh terlentang, wajahnya terasa panas bagai dibenturkan ke tembok.

Huff. Huff. Huff.

Ia mengira akhirnya bisa menarik napas.

Sial baginya, Nanto ternyata tidak berhenti menyerang. Si bengal itu mengejar, berdiri di atas si rambut ungu, dan kembali melontarkan pukulan beruntun bak laju kereta api bertenaga uap; cepat, kuat, ganas, dan tanpa ampun.

Kali ini semua laju kepalan ditujukan ke arah satu titik target: rahang kanan si rambut ungu yang baru diterjangnya.

BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK! BKK!

Si rambut ungu bahkan tak mampu mengangkat kepalanya! Ia mencoba menggunakan tangan untuk melindungi wajahnya yang menjadi sasaran serangan bertubi-tubi dari Nanto. Namun Nanto tak memberi jeda dan tangan rambut ungu tak sanggup menghadang. Pukulan demi pukulan akhirnya terlepas dan si rambut ungu kian tak berdaya menerima hujan pukulan dari si bengal.

Tangan rambut ungu terkulai, tak lagi menghadang. Ia tersengal-sengal, wajahnya lebam dan darah mengucur dari mulutnya.

Nanto siap melontarkan satu pukulan pamungkas, namun terhenti ketika ia melihat rambut ungu sudah benar-benar lemas. Si bengal berhenti sesaat sebelum ia benar-benar menuntaskan nyawa rambut ungu yang sudah tak mampu lagi mengucapkan suara. Mulut pemuda punk itu tersedak-sedak dengan darah buyar dari mulutnya.

Dua bayangan mendekati Nanto dan Si rambut ungu.

"Baaang! Cukup, Bang! Jangan, Bang. Kami mohon ampun, Bang. Kami minta maaf."

Ucap si gondrong yang buru-buru menghampiri Nanto sambil mengeluarkan uang dari dompet dan kantong celananya. Begitu pula si leher tato, ia juga mengeluarkan uangnya. Mereka meletakkannya di samping si rambut ungu.

Mereka tidak mau mati disini.

"Ini Bang, ini semua uang kami. Yang ini dua ratus benar-benar uang yang kami punya. Bukan hasil ambil setoran keliling."

Nanto mengatur nafas yang terengah usai mengeluarkan hujan pukulan yang membuat rambut ungu tak berdaya. Ia berdiri dan melangkah pelan untuk mengambil uang dari para preman. Pemuda berambut cepak itu menunjuk ke arah si rambut ungu tanpa menatap ke si gondrong dan si leher tato.

"Yang... dari... dia. Ambil!"

Buru-buru si leher tato merogoh dompet dan kantong yang ada di pakaian si rambut ungu dan menyebar semua uang yang didapatkan di depan Nanto. Uang ratusan ribu tersebar begitu saja di tanah lapangan malam itu. Bangsat, banyak juga kompasan tiga babi guling ini.

Apalagi sekarang?

Baik si gondrong maupun leher tato menunggu reaksi Nanto.

Nanto melirik. "Ngapain kalian masih di sini? Minggat!!"

Kembali si leher tato dan si gondrong tergopoh-gopoh, kali ini mereka berdua mengangkat si rambut ungu untuk meninggalkan tempat itu. Darah bercucuran dari ketiga sosok preman yang baru saja kena hajar. Entah apakah mereka akan mengacau lagi di tempat ini atau tidak, yang jelas urusan mereka dengan si bengal hari ini sudah usai.

Nanto mengumpulkan uang yang berserakan dan mengambil dua lembar uang ratusan yang tadi dibilang uang para pemuda punk itu sendiri. Mudah-mudahan cukup untuk membenahi motor Om Darno. Sisanya yang masih sangat banyak ia serahkan ke Bapak Tukang Ronde.

"Pak-e. Ini nitip ke Bapak ya. Ambil saja kalau tadi uang Bapak ada yang diambil." Pemuda bengal itu lantas berucap lantang, "buat yang tadi di kompas preman-preman. Uangnya ada di bapak ini, ya."

"Iya, Mas."

"Makasih, Mas."

"Baik... baik, Mas."

SANG NANTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang