Bab 3

342 0 0
                                    

Beberapa kampus memiliki julukan yang macam-macam; ada kampus yang berjuluk Kampus Biru meski sebagian besar catnya tidak berwarna biru – atau mungkin pernah biru pada suatu ketika. Lalu ada juga julukan Kampus Perjuangan yang lucunya digunakan dan diakui oleh banyak kampus – mungkin karena setiap siklus perkuliahan adalah sebuah perjuangan baik bagi mahasiswa maupun dosen. Yang ndagel juga ada, salah satunya adalah Kampus Ultraman kareena logo kampus konon mirip kepala tokoh tokusatsu asal Jepang itu.

Nah berbicara mengenai julukan, Universitas Amora Lamat juga memiliki sebuah julukan, sayang julukannya bukan julukan yang baik. Universitas Amora Lamat sering juga disebut KBB – Kampus Babak Belur karena menurut mitos banyak pertikaian antar mahasiswa yang terjadi di sana. Entah fakta ataukah hoax semata.

Kampus swasta Amora Lamat didirikan oleh Yayasan Pendidikan Kembang Setaman yang didirikan oleh tokoh masyarakat Almarhum Dra. Amora Lamat – nama yang kemudian diabadikan sebagai nama kampus di bawah Yayasan Pendidikan Kembang Setaman. Dra. Amora memiliki mimpi yang idealis, membangun sistem pendidikan yang baik demi memberikan masa depan cerah bagi anak didiknya. Tapi ya gitu, akhirnya mimpi sang sesepuh menjadi musnah begitu saja oleh anak didik semprul semau gue yang menjadikan UAL sebagai ajang KBB.

Herannya, justru kampus itulah yang dipilih Nanto.

"Oalah, le. Masih banyak kampus lain yang bisa dipilih. Kenapa kamu memilih UAL? Banyak desas-desus yang ga jelas di situ. Kamu kuliah bukan cuma sebulan dua bulan lho, tapi empat tahun. Itu juga kalau lancar." Keluh Tante Susan pada suatu ketika saat Nanto menyebutkan nama kampus yang ia pilih. "Kenapa tidak memilih kampus-kampus lain yang juga terjangkau dan memiliki reputasi yang jelas? Kan banyak yang menyediakan kelas malam ?"

"Kata siapa sih UAL tidak jelas? Teman-temanku ada yang jadi dosen di sana. Kampusnya sudah berbenah dan sering berprestasi. Itu hoax saja, sayang. Sekarang kampusnya sudah bagus dan berkesan rapi." Om Darno menyanggah ucapan istrinya sendiri di hadapan Nanto. "Tapi reputasinya memang masih mengalahkan prestasi saat ini. Yakin tidak memilih kampus lain, le? Bukannya aku mempertanyakan keputusanmu. Itu hakmu, dan kalau sudah dipilih itu menjadi tanggung jawab kamu untuk membuktikan kampus itu pilihan yang tepat."

Sama halnya dengan Tante Susan, Om Darno juga selalu memanggilnya dengan sebutan tole, panggilan bocah dalam Bahasa Jawa. Om Darno lebih santai dibandingkan dengan Tante Susan, ia juga biasanya tidak banyak bicara kalau tidak penting. Tapi kalau sudah minat bicara, bisa berjam-jam sampai berbusa. Usia Om dan Tante Nanto terpaut lumayan, Om Darno sudah empat puluhan dan merupakan kawan sekelas Sari – Ibunda Nanto, sedangkan Tante Susan masih tiga puluhan.

Pagi itu adalah saat sarapan di rumah Om Darno dan Tante Susan, si sulung Azka putra mereka sedang menyiapkan tas sekolah di kamarnya, si tengah Daffa sedang memilih-milih sepatu yang akan digunakan untuk sekolah, sedangkan si kecil genit Zakia seperti biasa tidak bisa lepas dari gadget. Ketiganya sudah sarapan duluan.

Nanto menyendok nasi dan sebongkah besar terong balado. "Itu yang paling murah, Om. Supaya om ngeluarin biayanya juga tidak besar. Heheh."

Om Darno tertawa. "Besar kecilnya uang yang om keluarkan nggak ngefek sama kampus yang kamu pilih. Om janji akan membayar semua biaya SKS sesuai Kartu Rencana Studi kamu. Kalau ada biaya tambahan di luar itu atau nilai pembayaran per semester di atas normal SKS di KRS, ya terpaksa jadi tanggung jawabmu."

Nanto mengangguk, "itu sebabnya saya memilih UAL, Om. Biayanya paling masuk akal dan rasa-rasanya masuk di anggaran. Lalu... saya juga sedang berusaha mencari pekerjaan agar tidak selamanya bergantung ke Om dan Tante."

Tante Susan geleng-geleng kepala, "Ya sudahlah kalau kamu ngeyel, le. Tetap bersikukuh memilih UAL. Tapi usahakan nilai kamu bagus, jangan kehilangan fokus untuk belajar. Ingat kamu pakai uang kuliah dari sponsor, bukan biaya sendiri. Karena ini dibiayai Om, Tante minta paling tidak nilai tiap mata kuliah kamu minimal C, tidak boleh ada mata kuliah yang mengulang – pokoknya Om maksimal hanya akan mengeluarkan biaya kuliah untuk empat tahun. Belajar yang bener."

Om Darno manggut-manggut, kali ini ia setuju dengan sang istri.

Nanto mengunyah terong balado nya. Ia menatap kosong nasi di atas piringnya. Pikirannya menerawang jauh, pemuda itu seperti mendengar suara kakeknya yang saat ini sedang tertawa melihat jalur kehidupan yang dijalani Nanto. Tidak salah memang hidup seperti ini, bahkan sangat sah dan wajar saja, tapi kalau saja beliau masih hidup beliau pasti akan duduk di lincak kesayangannya sambil terkekeh-kekeh dan mengejeknya dengan receh.

Orang tua konyol itu selalu saja punya cara untuk mengolok-oloknya, termasuk saat ini saat sang kakek tiba-tiba saja menginvasi benaknya.

Bagaimana, Nanto cah bagus? Kamu beneran mau kuliah? Yakin? Hahaha... isih enak jamanku, to?

.::..::..::..::.

SANG NANTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang