⚖️⚖️⚖️
Kakak panitia yang berdiri di depanku ini memicingkan mata saat menerima jawaban tiba-tiba dari Eja. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang. Oh, atau jangan-jangan dia tidak percaya. Wajah Eja memang tidak bisa bohong, sepertinya dia harus belajar dariku yang pandai mengelabuhi orang.
"Oke, kalau gitu. Masuk."
Aku dan Eja sekarang bisa bernapas lega karena Kakak panitia ini telah percaya. Syukurlah aku akan disuruh lari lapangan. "Makasih, Kak, permisi." Eja segera menyeret tanganku ke dalam. Padahal aku sedang memperhatikan Kakak yang tadi.
"Thanks, ya, Ja. Lagi-lagi lo nolongin gue," ucapku sembari berjalan di samping Eja. Dia begitu rapi mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Rambutnya pun terlihat lebih rapi.
"Lo jangan cari masalah sama kating itu, deh, Je," ucap Eja yang membuatku terkejut. Hah? Memangnya aku tadi cari masalah, ya? Lalu kenapa jangan sampai cari masalah dengannya? Memangnya dia teroris yang akan mengebom seluruh kampus? "Dia itu ketua BEM. Lumayan tegas orangnya."
"Gue nggak ngapa-ngapain, Ja. Gue nggak cari masalah sama dia, kok," jawabku. Sebelum dia salah memahami situasi, aku harus segera meluruskan.
"Lo lama banget jawab pertanyaan dia tadi, Je. Yang ada dia makin curiga sama lo. Untung lo nggak ngasih tahu kalau Kak Julian ...."
"Ish, jangan keras-keras!" Aku segera memberitahu Eja agar menghentikan ucapannya. Kalau ada yang dengar, bisa mampus aku. "Gue tahu konsekuensinya, beasiswa gue bakalan dicabut, kan? Kak Julian udah bilang ke gue."
"Baguslah. Lain kali jangan gelagapan di depan kating tadi. Namanya Kak Natha." Sontak aku langsung tertawa mendengar informasi yang barusan Eja katakan. Unik sekali namanya, seperti jeli yang ada di minuman air kepala, eh, kalapa maksudnya! "Dih, kok, lo ketawa, sih?" tanya Eja yang sepertinya ingin ikut tertawa juga.
"Aneh banget namanya. Itu nama atau minuman kelapa!" ujarku lagi. Namun, setelah tertawa aku malah fokus ke name tag yang sekarang sedang Eja pakai. Loh, aku tidak salah lihat, kan? "Ja? Lo ambil arsitektur juga?" tanyaku. Aku malah baru tahu jika kami memilih jurusan yang sama.
"Iya. Biar kita bisa sekelas, Je." Pengakuan itu muncul dari Eja. Loh, bukannya dia suka seni, ya? Kenapa malah memilih jurusan ini?
"Lo nggak cap cip cup, kan?" tanyaku lagi. Aku curiga dia pun sama sepertiku yang asal memilih jurusan.
"Hah? Enggak, kok. Gue pilih yang menurut gue nyantai aja cara belajarnya, lagian gue mau jagain lo, Je."
"Hah? Apaan, sih. lo. Yuk, masuk, keburu nggak kebagian tempat duduk ntar." Aku mempercepat langkahku karena Eja malah diam dan berdiri di sana.
Kami memasuki gedung aula yang sama seperti kemarin. Masih sama seperti kemarin, tetapi bedanya semua mahasiswa baru duduk secara terpisah-sesuai fakultas masing-masing. Pertama-tama aku melirik pada kursi kayu reyot yang kemarin disediakan untuk para mahasiswa jalur beasiswa. Nyatanya tidak ada. Kursi ini sama semua di seluruh ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penghujung Rasa [ON GOING]
Teen Fiction[STORY 11] [GENRE: ROMANCE - MARRIAGE LIFE] Blurb: Jennifer harus menggantikan posisi calon istri seorang pengacara yang kabur saat hari pernikahan. Awalnya Jennifer menolak, karena di usianya yang masih sembilan belas tahun, ia pikir terlalu cepat...