⚖️ 21. Jalani Saja Dulu

28 15 0
                                    

⚖️⚖️⚖️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⚖️⚖️⚖️

"Nggak mungkin!" Aku berteriak sejadi-jadinya, tanpa sadar jika sekarang semua orang yang ada di kantin menoleh ke arahku. Aku baru sadar, kalau sedari tadi ternyata aku melamun. Bukan melamunkan apa-apa, hanya terpikir sikap Eja tadi di panggung saat bernyanyi. Mana mungkin, kan, dia menaruh rasa padaku? Enggak mungkin! batinku yang terus menyangkal.

Kami bertiga saat ini sedang makan siang di kantin. Setelah tadi acara pembukaan ospek, siangnya diberi waktu istirahat lima belas menit. Aku baru menyadari jika Eja tidak ada di kursi tempatnya duduk tadi. "Loh, Eja ke mana, Im?" tanyaku pada Baim.

Saat ini kami semua yang ada di kantin belum berani membuka kotak bekal, karena belum ada instruksi dari panitia. "Ke kamar mandi. Lo, tuh, kebanyakan ngelamun, Je. Jadi nggak tahu, kan, kalau Eja izin ke kamar mandi," jawab Baim menjelaskan. Ya, ampun. Benar kata Baim. Aku terlalu banyak melamun sampai tak tahu Eja beranjak dari sini. "Lagian lo mikirin apa, sih, Je?"

Mana mungkin aku bercerita pada Baim tentang ini? Lagipula dugaanku belum tentu benar. Eja pasti hanya menyanyikan lagu itu, tidak lebih. "Lo ngerasa Eja aneh nggak, sih?" tanyaku pada Baim.

"A-aneh? Aneh gimana, Je?" tanya Baim dengan terbata-bata.

"Aneh, Im. Cara dia natap gue bener-bener dalem banget," jawabku antusias, siapa tahu Baim memang juga menyadarinya. Entahlah, aku berharap itu hanya dugaanku semata. "Jangan-jangan Eja suka lagi sama gue, Im?!" tanyaku sembari menggebrak meja.

"Jangan kenceng-kenceng, Anjir!" Baim menaruh jadi telunjuk di depan mulutnya, sembari memerintahkanku agar memelankan suara. Ya, habisnya dia tidak ngerti-ngerti.

"Ya, menurut lo gimana? Lo liat, kan, Eja pas nyanyi tadi?" tanyaku sekali lagi.

Baim diam sebentar, dia terlihat ingin berbicara, tetapi seperti ragu. "Y-ya ... nggak mungkinlah! Dia, kan, emang begitu tiap nyanyi lagu itu pas kita nongkrong. Ya, nggak?" Jawaban dari Baim ini cukup masuk akal. Membuatku kembali berpikir, mana mungkin Eja menyukaiku? "Lagian kita udah sahabatan dari SMP, Je."

"Mungkin, ya. Kalo gitu berarti gue kegeeran, dong?" kataku sembari bertanya-tanya. Ah, Jeje oon! Bisa-bisanya pikiran berimajinasi sampai ke sana.

"Iya kali." Aku dan Baim saling diam. Entah karena lapar atau apa, Baim yang biasanya banyak omong itu.

Aku celingukan mencari panitia yang tadi. Tak ada satu pun yang datang ke kantin untuk segera memberi instruksi. Duh, mana cacing-cacing di perutku sudah bernyanyi-nyanyi, pasti sebentar lagi mereka merilis lagu.

"Hadeh, lega ...." Tiba-tiba saja Eja datang dan langsung duduk di kursinya tadi. "Belum ada instruksi, ya?" tanya Eja. Aku dan Baim hanya menganggukkan kepala. Rasanya sudah tak bersemangat lagi karena lapar. "Lo berdua kenapa, dah? Lemes amat."

"Laper gue, Ja," jawabku singkat, sembari celingukan mencari kakak tingkat yang tadi, belum muncul juga. "Sialan, tuh, kating! Dia mau kita mati kelaperan apa, ya?" omelku sembari memegangi perut yang sedari tadi sudah berbunyi. Mungkin Eja dan Baim sudah lelah mendengar keluhanku ini.

Penghujung Rasa [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang