This work belongs to Lovelly (LoVelly09)
Vote dan komen yang banyak.
🔥🔥🔥
Aku terus menatap foto Mama sambil meneguk wine yang aku bawa dari London. Mamaku terlihat sangat cantik dan sangat bahagia di foto itu. Dia sedang memegang perutnya yang mengembang sambil mencium Papa dengan mesra.
“Apa Mama masih bisa bahagia kalau akan meninggal setelah ngelahirin aku?” rintihku dengan air mata yang tidak berhenti menetes.
Aku tahu penderitaan Mbak Sekar selama ini. Dia harus bisa mengurus diri sendiri di usia belia. Namun, aku juga mengalami hal yang sama. Meskipun ada pengasuh, aku harus belajar mandiri sejak kecil.
Aku juga tidak pernah merasakan bekal yang dibuatin Mama seperti teman-temanku. Hanya bisa menahan diri saat melihat teman-temanku dijemput ibunya dan dirawat saat sakit. Bahkan aku tidak punya foto kenangan bersama Mama. Mengatakan sebutan Mama saja tidak pernah.
“Hah! Kenapa habis!” keluh ku saat tidak ada setetes wine pun yang tersisa.
Aku kembali menatap foto Mama sambil terus menangis.
“Ma, Maafin Gendhis ya,” ucapku dengan nada bergetar. “Maafin Gendhis.”
Aku menunduk sambil mengepalkan tangan kuat-kuat di atas paha. Jika memang kehadiranku hanya membuat sengsara orang di sekitarku, aku rela untuk menukar posisi dengan Mama.
Aku memijat pelipis, saat rasa pusing mulai menyerang. Perlahan aku mencoba berjalan merambat.
Pandanganku sudah mulai kabur. Berulang kali aku nyaris terhuyung karena alkohol yang sudah mulai menguasai diri.
Sambil berpegang pintu dan tembok, aku masuk ke dalam paviliun. Bangunan di belakang rumah yang menyimpan semua hal tentang Mama.
Papa pernah bilang, kalau Mama sering menghabiskan waktu di Paviliun untuk membaca buku atau sekedar melukis. Bahkan tidak jarang Mama dan Papa bermalam di Paviliun dibanding di rumah utama.
Kata Papa, Mama tidak terlalu suka dengan rumah Tarumanegara yang terlalu besar. Mama lebih suka rumah yang minimalis.
“Mama tahu nggak?” celetukku saat berhasil duduk di ruang tengah sambil memandangi lukisan Mama yang tergantung di atas perapian. “Papa selalu bilang, aku sangat mirip Mama. Tapi menurutku, Mama berkali lipat lebih cantik.”
Tentu saja, Mama keturunan Jawa, Rusia dan Ukraina. Matanya yang sebiru lautan tidak ada yang bisa mengalahkan. Mamaku sangat cantik.
“Hah.” Aku menghela napas.
Kepalaku terasa semakin pusing. Aku sulit berdiri, tetapi kerongkonganku terasa sangat kering.
Aku berdiri sempoyongan sambil terus memijat pelipis dan berusaha meraih botol air mineral di sudut ruangan.
Kakiku mendadak terasa ringan, hingga tiba-tiba menggelap dan aku tidak ingat apapun.
***
Aku mengerjapkan mata berulang-ulang. Kepalaku masih terasa pusing, tetapi tidak seberat tadi.
Kembali kupijat pelipis, sambil mengais-ngais cahaya untuk melihat sekitar. Ternyata aku tertidur di ranjang kamar utama paviliun.
Saat berusaha bangun dan pandangku mulai jelas, aku spontan terkejut saat melihat Mas Abisena duduk di kursi samping ranjang sambil bersedekap. Dia tertidur.
Aku berusaha mengingat apa yang terjadi, tetapi sia-sia. Kupandangi wajah Mas Abisena yang tampak tenang dalam tidurnya.
Perlahan, aku turun dari ranjang dan mendekat pada Mas Abisena. Aku duduk di sebelahnya sambil mengamati inchi demi inchi wajah Mas Abisena.
Sepasang alis tebal membingkai matanya yang terpejam. Hidung mancung serta bibir tebal itu terpahat sempurna menyempurnakan parasnya.
Lalu bagaimana bisa dia duduk di sini? Menemaniku?
Mengingat perhatian Mas Abisena, biarkan aku membuat skenario kalau Mas Abisena mungkin tidak sengaja melihatku pingsan lalu menolongku.
Well, meskipun skenario itu sedikit memaksa. Karena tidak ada yang sering berkeliaran di paviliun, selain pembantu rumah tangga atau tukang kebun. Apalagi ajudan Papa, nyaris tidak pernah menyambangi paviliun ini.
Entah apa yang menggerakkan jemariku untuk menapaki wajah Mas Abisena. Mendadak jantungku juga ikut berdebar. Aku tidak berhenti menatap bibir mas Abisena saat jemariku tertahan di sana.
Tubuhku bergerak spontan mendekati Mas Abi, seperti terhipnotis dengan pesona dan sikapnya yang sangat perhatian terhadapku.
Aku tidak bisa mengontrol diriku hingga hidung kami bersentuhan. Bahkan napas Mas Abi terasa menerpa wajahku. Kami sangat dekat.
Hingga aku terkejut, ketika Mas Abi membuka mata. Spontan kepalaku menjauh, tetapi alih-alih menjauhi, mas Abi justru menarik wajahku untuk kembali mendekat.
Mata kami saling menatap beberapa detik. Aku tidak berhenti meneguk ludah saat Mas Abi menatapku intens. Hingga dalam sekejap, rasa hangat dan basah menyelimuti bibirku.
Aku menyambut bibir Mas Abi dengan pagutan yang tidak kalah rakus. Bibir kami beradu, saling membalas satu sama lain. Seolah meluapkan hasrat yang terpendam begitu lama.
Lumatan basah itu membuat mataku terpejam. Aku membiarkan lidah Mas Abi bermain di dalam mulutku. Bahkan aku tidak peduli status Mas Abi. Aku terus membalas pagutannya sepenuh hati.
Perlahan aku duduk di pangkuan Mas Abi. Bibir kami masih berciuman. Hingga tanpa kusadari, tangan Mas Abi sudah merayap masuk ke dalam kaos dan meremas payudaraku.
“Ah.” Aku melenguh saat Mas Abi mulai memilin putingku.
Bibir Mas Abi tidak berhenti menghisap dan memasukkan lidahnya ke dalam mulutku. Sementara tangannya seolah memiliki mata. Terus meremas dan memainkan putingku sesuka hatinya.
“Ah, Mas Abi,” lenguh ku saat jari Mas Abi mencubit putingku dengan nakal.
Ciuman kami terlepas, ketika aku menyebut nama Mas Abi.
“Dik Gendhis.” Panggilan Mas Abi berhasil membuatku merinding.
“Yah,” jawabku sembari menelan ludah.
Diikuti napas terengah, Mas Abi menatapku dengan tatapan yang perlahan menggelap. Dia kembali menciumku dengan rakus. Kali ini tangannya melepaskan kaos dan braku lalu melemparkannya sembarangan.
Jari Mas Abi dengan giat terus memilin putingku yang semakin merekah. Aku merinding bukan main. Rasanya geli tapi nikmat.
“Oh, Mas Abi.” Aku kembali melenguh panjang saat lidah Mas Abi bermain di putingku dan menghisapnya pelan lalu kuat.
Saat menunduk, wajahku memerah ketika melihat bibir Mas Abi yang tidak berhenti mengulum putingku. Dia menjilat dan menghisap secara bergantian sambil meremas payudara yang satunya.
Tubuhku menggelepar pasrah di atas sofa saat Mas Abi tidak berhenti menyusu seperti bayi. Bulu kudukku berdiri dan vaginaku berkedut tanpa henti. Aku bisa merasakan basah di bawah sana.
“Mas Abi, oh!” Jantungku semakin berdebar saat Mas Abi tidak berhenti menyusu dan mulai melepaskan celanaku.
Aku tidak memberontak, justru membantu Mas Abi untuk mempermudah niatnya. Aku seperti memberikan tubuhku sepenuhnya untuk mas Abi. Bahkan dengan sukarela menyerahkan keperawananku.
“Mas…. Ah.” Tubuhku menggeliat, saat rasa geli menguasai setiap saraf.
Dadaku bergemuruh semakin kencang saat jari Mas Abi mengelus vaginaku. Spontan tanganku menjambak lembut rambut Mas Abi.
Mas Abi melepaskan kulumannya dari payudaraku sejenak lalu menindihku dari atas. Parasnya yang luar biasa tampan berhasil menghipnotisku. Apalagi setelah ciuman dan sentuhan itu. Aku benar-benar menginginkan Mas Abi.
“Bolehkah?” tanyanya sambil menatapku dalam-dalam.
Wajahku memerah lalu mengangguk tanpa membutuhkan waktu lama.
Mas Abi tersenyum hingga memperlihatkan lesung pipinya yang manis. Dia melepaskan kemeja dan memamerkan tubuh atletis layaknya prajurit yang gagah.
Kembali dia mencium bibirku dengan mesra lalu menjilat leher dan perlahan turun ke bawah. Menggoda puncak putingku dengan ujung lidahnya dan berhasil membuat tubuhku menggeliat.
“Ah, Mas Abi.”
“Kamu suka?” tanya Mas Abi di sela-sela jilatannya di sekujur tubuhku.
Wajahku merona. Sambil mengigit bibir bawah, aku mengangguk malu-malu.
“Kamu sangat manis, Dek Gendhis. Aku suka,” ucapnya setelah menghisap puncak putingku.
“Mas, ah! Enak banget,” cicitku.
Mas Abi kembali tersenyum dan menjilat pusarku. Turun ke bawah dan dia melebarkan kedua pahaku. Tampak seperti terpesona sejenak lalu lidahnya melesak masuk ke dalam vaginaku.
“Mas, Ah!” Aku menegang ketika basah dan hangat lidah Mas Abi menyentuh vaginaku.
Aku merasa seperti melayang. Sentuhan itu benar-benar membuatku merinding.
Lidah Mas Abi tidak berhenti mengocok dan memutar klitorisku hingga tubuhku bergelinjang. Rasa nyeri, geli terbayar dengan nikmat yang baru pertama aku rasakan.
“Oh, Mas Abi! Ah!” Mulutku tidak berhenti menyebut namanya.
Mas Abi terus memasukkan lidahnya keluar masuk dalam vaginaku. Sesekali dia menghisap klitorisku dengan gemas.
“Mas Abi, hhhhh…please.” Nyawaku seperti terangkat, saat Mas Abi menghisap vaginaku.
Suara becek di bawah membuat tubuhku semakin panas. Punggungku melengkung ke atas dengan rasa geli yang berkumpul di vagina.
Mas Abi tidak berhenti mengecup, menjilat dan menghisap vaginaku. Hingga rasa aneh mendadak muncul.
“Mas… ah, a-aku mau pipis,” ucapku terbata.
“Keluarkan, Dek. Nggak apa-apa,” jawab Mas Abi.
Tubuhku mengejan beberapa saat kemudian. Rasanya melayang penuh kenikmatan.
“Apa aku yang pertama?” tanya Mas Abi setelah menjilat vaginaku. Dia lantas menjilati sisa cairanku di bibirnya.
“I-iya,” jawabku.
“Dek Gendhis, Aku tidak yakin kamu bisa mengatasi ini,” ucap Mas Abi sambil melepaskan celananya.
Batang penis Mas Abi langsung mengacung dan membuatku terbelalak. Sungguh itu sangat besar dan panjang.
Aku meneguk ludah berulang kali. Mataku mulai menjelajahi tubuh atletis Mas Abi. Tidak ada lemak sama sekali, hanya otot yang tercetak sempurna. Tentu saja, Mas Abi pasti rajin berolahraga.
Dia benar-benar pria idamanku!
“Apa yang kamu pikirkan, Dek Gendhis?” Mas Abi meletakkan jari telunjuknya di daguku.
Sungguh sangat berbeda dengan Mas Abi yang biasa aku kenal. Aku hanya bisa membatin, kenapa dia bisa sangat tampan.
“A-aku nggak mikirin apa-apa,” jawabku terbata.
Mas Abi tersenyum lalu mendekat ke telingaku. Dia berbisik lirih, “aku sudah menunggu ini cukup lama, Dek.”
Sontak aku langsung merinding saat Mas Abi menjilat telingaku.
“Mas Abi pernah nonton Fifty Shades of Grey?” tanyaku yang mendadak ingin merasakan kenikmatan bercinta di film itu.
“Apa itu?” tanya Mas Abi tidak paham.
“Film.”
“Film seperti apa?” tanya Mas Abi yang tubuh gagahnya mengurungku di atas.
“Fi-film yang biasa menghukum pasangannya saat bercinta,” ucapku tanpa malu-malu.
“Aku tidak akan menghukummu, Dek.” Mas Abi membelai pipiku dengan lembut.
Dia merangkak ke atas tubuhku sambil menangkap pergelangan tanganku dengan satu tangannya.
“Aku tidak akan menyakitimu,” ucapnya sambil mengecup bibirku. Kali ini cukup lama.
Mas Abi mengarahkan penisnya ke dalam vaginaku. Aku memejamkan mata, takut dengan rasa sakit yang akan kurasakan.
Dengan susah payah, Mas Abi memasukkan miliknya setengah. Aku mengernyit dan merasakan vaginaku penuh. Sedikit perih tetapi nikmat. Apalagi ketika Mas Abi menggerakkannya perlahan.
“Ahhh! Mas Abi!” Aku mencengkeram punggung Mas Abi ketika penis besar itu melesak ke dalam.
Aku hanya bisa mengigit bibir kuat-kuat. Rasa perih benar-benar menguasai vaginaku.
“Mas, ahhh!” Aku memejamkan mata erat-erat sambil menikmati goyangan pinggul Mas Abi.
Lantas Mas Abi berhenti dan mencabut penisnya. Dia mengusap air mataku yang tidak terasa sudah menetes.
“Apa sangat sakit?”
Aku mengangguk tanpa mengatakan apapun. Aku terlalu malu untuk menyatakan jika itu memang sakit tetapi sangat nikmat. Penis Mas Abi benar-benar memenuhi vaginaku. Tubuhku seolah terbelah menjadi dua. Dan aku ingin lagi!
“Maaf,” kata Mas Abi sambil melumat bibirku. “Aku akan berhenti.”
“Tapi aku mau lagi,” ucapku spontan sambil melepaskan ciuman Mas Abi.
“Kamu yakin?”
Meskipun malu-malu, aku langsung mengangguk.
“Aku akan pelan-pelan.”
Mas Abi benar-benar menepati janjinya. Dia bergerak sangat pelan sambil memperhatikan ekspresiku. Pinggangnya bergerak dengan lembut sambil sesekali memejamkan matanya dan mendesah penuh kenikmatan.
“Owh, ini sempit sekali, Dek,” ucap Mas Abi sambil menggigit bibirnya.
“Ah, Mas,” rintihku sambil menahan siksaan penuh kenikmatan ini.
“Mas pelan-pelan, Sayang.” Mas Abi mengusap kepalaku dengan lembut sambil menggoyangkan pinggangnya.
Mengeluarkan dan memasukkan penisnya dengan hati-hati.
“Owh, Dek Gendhis. Punyamu hangat banget, sempit. Ah,” bisik Mas Abi vulgar.
“Ah, Mas Abi suka?” tanyaku sambil menatap wajah Mas Abi yang masih mengurungku di atas.
“Suka banget, Dek,” jawab Mas Abi. “Ah, aku sudah menunggu saat ini sejak lama.”
“Oh, Mas. Terus, Mas Abi,” pekikku saat rasa nikmat merangkak naik.
“Ahhh! Ahhhh!”
“Oh, Mas!
“Ah, Gendhis! Oh!”
“Mas Abi! Ah Yes!”
Desahan saling bersahutan dan erangan menguasai ruangan. Mas Abi bergerak semakin cepat mengikuti ekpresi wajahku.
“Ah, terus Mas! Oh shit!”
Aku tidak bisa melawan, tubuhku menggeliat luar biasa. Mas Abi terus menyentak brutal. Vaginaku terasa sangat perih, tetapi tidak ingin berhenti.
“Oh! Gendhis!!!!” Mas Abi mengerang sambil memejamkan matanya.
Gerakan Mas Abi semakin cepat. Napasnya semakin terengah diikuti keringat yang mengkilat membasahi tubuh. Semakin terlihat seksi.
Cepat-cepat Mas Abi mencabut penis besarnya saat cairan hangat menyembur. Aku bisa merasakan cairan hangat itu membasahi dinding luar vaginaku yang masih berkedut.
Lembut bibir Mas Abi lantas mengecup leherku dan memelukku erat. Dia membelai pipiku dengan lembut dan berbisik lirih. “Maaf kalau sakit.”
“Tapi aku menyukainya,” ucapku dengan wajah memerah.
“Benarkah?” Mas Abi memastikan. Dia kembali mengecup bibirku dengan lembut dan cukup lama.
Pertanyaan itu semakin membuat wajahku memerah.
“I-iya,” jawabku. “Aku akan menunggu Mas Abi di sini, setiap selesai bertugas.”
“Setiap malam? Di sini?” Lagi-lagi Mas Abi memastikan.
“Yah, aku tunggu di Paviliun,” ucapku kembali dengan mantap.
TO BE CONTINUED….
KAMU SEDANG MEMBACA
AGE GAP ROMANCE
Short StoryThe WWG datang lagi membawa project baru bertema THE WWG HOLIDAY PROJECT. Terdiri dari kumpulan cerita adult romance yang semuanya bertemakan age gap. Dalam kumpulan cerita ini, kamu akan dibawa ke dalam kisah-kisah romansa yang muncul tanpa rencan...