DADDY'S ECS (2)

158 6 0
                                    

This work belongs to Ayana (Ayana_Ann)

Vote dan komen yang banyak.

🔥🔥🔥

"Ck."

Anya berjuta kali mendecak frustrasi. Ia duduk mematung di depan meja rias kamar sambil menyorot pantulan diri.

Kantor mamanya ada di lantai dua rumah mereka. Jadi, wajar bila suasananya ramai dipenuhi karyawan mau pun tamu-tamu asing dari pihak vendor. Anya sudah terbiasa, sudah akrab malah dengan semua pegawai Deswita.

Hanya saja, hari ini terasa lain.

Ada salah satu karyawan yang berulang tahun, jadi mereka semua berkumpul di ruang makan untuk syukuran kecil-kecilan. Biasanya, Anya senang kalau ada banyak makanan, tapi tidak kali ini. Bukan soal keramaiannya, atau makanannya, melainkan karena dia harus bertemu dengan Darius.

Insiden tadi malam membuat Anya kepikiran dan terbayang-bayang.

Darius jelas-jelas melihatnya berpakaian super mini. Selain itu, Darius juga telah menyentuhnya. Shit, hell no! Bukan menyentuh dalam artian yang bagaimana-bagaimana ... Darius cuma menahan tubuh Anya supaya tak jadi terjatuh. Namun—damn—bagi Anya, sensasinya lain.

Tidak dapat Anya pungkiri, ia memandang Darius secara berbeda sekarang. Kalau dulu bagi Anya, Darius merupakan om-om jail yang sering sekali menggodanya. Dibanding bersikap selayaknya lelaki dewasa yang identik dengan kebijaksanaan atau kekarismatikan, Darius malah terkesan usil dan slenge'an. Dapat disimpulkan, saling mengejek dan membully adalah love language mereka berdua.

Aku ini kenapa, sih?! Anya menampar pipinya. Mungkin Darius bahkan tidak ingat soal kejadian semalam, atau sudah melupakan apa yang Anya kenakan. Dianya saja yang terlalu kepikiran. Bisa jadi, karena Anya ada rencana menjodohkan Deswita dengan Darius-makanya, penilaiannya terhadap lelaki itu sedikit berubah.

Ia lantas berdiri dan meraih tas.

Kalau kelamaan bengong, Anya bisa terlambat masuk kelas. Dia tak perlu ikut makan-makan, cukup setor muka, mengucapkan selamat, lalu pamit pergi. Beres.

Mau dielak sekuat tenaga, jantung Anya tetap bergemuruh. Sibuk membayangkan harus bersikap apa saat nanti bertemu dengan Darius. Ada malu, salah tingkah, canggung, campur jadi satu seperti gado-gado.

"Nah, ini dia si Putri baru muncul. Udah ditungguin Ibu Suri dari tadi, lho!" celetuk Rangga, salah satu staf Deswita tatkala Anya menghampiri ruang makan.

"Yang lain ke mana, Ma?" tanya Anya.

"Setelah makan mereka semua kembali kerja, Nya. Ada yang sudah berangkat ke lokasi acara juga," terang Deswita. Ia lalu menunjuk kotak-kotak makanan di atas meja makan. "Makan dulu, Nya. Kru yang ulang tahun tadi bawa banyak makanan."

Anya cuma mengulas senyum kaku. Ia melirik ke segala penjuru mencari sosok Darius. Tapi tidak ada.

"Ayo, Nya, makan dulu bareng-bareng." Rangga segera menyodorkan piring.

"Aduh, sebenarnya aku udah mau telat ini ..." Anya menerima piring dari Rangga sambil ragu-ragu.

"Makan dulu bentar!" titah Deswita.

"Dikit aja deh." Anya penuh keterpaksaan. Bukan terlambat, dia cuma mau menghindari Darius—yang kebetulan entah di mana wujudnya.

"Kenapa? Diet karena sudah merasa gembrot?"

Speak to the Devil! Darius mendadak muncul dari arah taman belakang. Lelaki itu tersenyum mencibir ke arah Anya.

"Enak saja! Dari mananya Anya gembrot?" sanggah Deswita yang tidak terima putri kesayangannya dihina.

"Mboh si Daddy iki." Rangga menimpali. "Anak Ibu Suri mah cantik ... badannya bagus ..." kelakarnya kenes.

Darius mendengkus. "Daddy Daddy ..." sungutnya.

"Kan emang Daddy!" sahut Rangga. "Tapi Daddy apa? Daddy Korbuset apa Daddy Misvvar?" Ia terkikik. "Atau, Daddy spank my ass!" imbuhnya lagi yang disambut tawa Deswita.

"Yang boleh panggil aku 'daddy' cuma Carmen sama Aletta, ya!" pelotot Darius.

"Salahmu sendiri, Dar. Wong Jowo tulen kok panggilannya 'daddy'? Mbo 'ayah' atau 'bapak' ..." cibir Deswita.

"Idenya istriku," jawab Darius.

"Ngomong-ngomong kok istrimu jarang kelihatan, Mas Darius?" selidik Rangga

"Lagi sibuk aja." Raut Darius berganti muram. Ia berpura-pura sibuk memilih aneka kue basah yang disajikan di meja.

Deswita dan Rangga seolah-olah saling bertelepati. Keretakan rumah tangga Darius dan istrinya sudah jadi rahasia umum. Pergunjingan paling panas of the year.

Di lain sisi, Anya memilih diam tak bersuara.

Ia bergegas menghabiskan nasi kuning di piringnya tanpa berinteraksi dengan siapa pun. Apa yang masuk ke dalam tenggorokannya serasa duri.

Dia memikirkan Darius hingga tak bisa tidur semalaman. Dan ternyata, lelaki itu tak demikian.

Darius kembali menjaili Anya. Darius tetap bersikap apa adanya. Darius masih tertawa-tawa tanpa beban atau segan.

Bukankah Anya sepantasnya senang?

Tetapi, aneh ... hati Anya justru galau tidak karuan. Fakta bahwa Darius luput menganggapnya sebagai 'wanita' membuat Anya nelangsa. Fakta bahwa Darius tidak tergoda oleh penampilan seksi Anya semalam membuat ego Anya jatuh seketika.

Shit. Anya baper sepihak.

***

Hari demi hari berlalu seperti biasa. Kesibukan di Deswita Event Organizer masih berjalan, sementara hidup Anya, ya, begitu-begitu saja. Makan, tidur, kuliah, pulang. Nothing special.

"Abis ini mau ke mana, Sayang?" Gary merangkul pundak Anya mesra.

Anya memasukkan buku catatannya ke dalam tas. Ia menghela napas berat. Bukan karena pusing memikirkan tugas mata kuliah linguistik siang ini. Tetapi, bingung akan memberi Gary jawaban apa. "Langsung pulang." Dia sudah tahu akan mengarah ke mana pertanyaan kekasihnya itu.

"Langsung pulang?" Gary memastikan. "Ikut aku dulu aja, yuk."

Tuh, kan, benar. "Mau ke mana? Mama pasti ngomel kalau aku nggak pulang tepat waktu."

"Bilang aja ada mata kuliah tambahan, atau ngerjain tugas sama temen-temen," bujuk Gary.

"Ah, bohong, dong ..." sungut Anya. "Aku udah sering bohongin mama kemarin-kemarin. Rasanya gelisah kalau sering-sering."

"Nggak sering, kan, Sayang ..." bisik Gary. "Cuma sesekali aja ini."

"Emang mau ke mana, sih?" tanya Anya.

"Hotel." Gary membelai tiap helai rambut Anya.

Jantung Anya berdesir. Well, dia tertarik juga dengan ajakan Gary. Namun, acap kali berdusta pada Deswita membuat Anya mengemban sesal berlipat ganda.

"Mama kamu emang lagi di rumah?" selidik Gary lagi.

Anya menggeleng. "Nggak, sih. Hari ini mama ada survei lokasi ke Gresik," terangnya.

"Nah, kebetulan tuh. Berarti bisa dong kita berduaan!" Gary sumringah.

"Tiga sampai empat jam aja kali, ya ..." ujar Anya pelan.

"Terserah kamu, Sayang. Senyamannya kamu. Yang penting, aku bisa berkesempatan ngerasain lembut dan hangatnya tubuh kamu. Meski cuma sebentar," kata Gary seraya tersenyum menggoda.

"Kalau gitu ... kita berangkat sekarang?" Anya mencangklong tasnya.

"Yuk." Gary berdiri dan bersiap menggandeng Anya.

Drrrt. Drrrrrtt. Drrrrrrttt.

"Bentar, hapeku bunyi. Ada telepon." Anya buru-buru merogoh ponsel yang ada di saku jeans. Matanya sontak terbelalak ketika melihat nama yang tertera di layar. "Mama!"

Gary sontak garuk-garuk.

Calon ibu mertuanya mungkin ada ilmu kebatinan demi mengawasi gerak-gerik Anya.

"Halo, Ma?" Anya menempelkan gawai ke telinga. Ia melangkah agak jauh dari Gary agar mendapatkan privasi.

"Nya, masih kuliah, Nak?" tanya Deswita dari seberang.

"I-ini mau selesai, sih," jawab Anya agak terbata. "Tapi, mau ke perpus buat ngerjain tugas ..."

"Oh ..."

"Kena-pa, Ma?" Anya tahu kalau Deswita selalu punya tujuan kalau menghubunginya.

"Itu, lho ..." kata Deswita. "Om Darius sakit. Dari semalem dia ngabarin Mama kalau hari ini nggak bisa ikut ke Gresik."

"Om Darius sakit?"

"Iya," sahut Deswita.

"Jadi, maksudnya Mama khawatir, nih? Cieee ..." goda Anya.

"Nggak," sanggah Deswita. "Mama khawatir tapi bukan sama Darius, khawatirnya sama Aletta dan Carmen."

"Hah?"

"Mama tadi lihat postingannya Rahma, dia lagi jalan-jalan di Bali. Nggak ada tuh Mama lihat fotonya sama anak-anaknya. Terus Mama teleponlah itu si om-mu, tapi nggak diangkat-angkat. Di-chat pun nggak respon. Kepikiran banget Mama." Terdengar desahan berat dari Deswita. "Namanya juga lelaki, ya ... kadang tidak peka. Apa lagi sedang sakit-Mama cemas Carmen dan Aletta cuma dikasih makan seadanya sama Darius."

"Oalah ..." Anya mengangguk mafhum. "Memang Mama sudah pastikan tante Rahma nggak ngajak anak-anak? Bisa aja beliau sengaja nggak posting foto Carmen sama Aletta."

"Westa," potong Deswita mantap. "Mama yakin Rahma nggak ngajak anak-anak. Soalnya foto dia tadi di beachclub—Mama tahu kalau beachclub itu nggak ngebolehin anak dibawah dua belas tahun masuk. Fix anak-anaknya nggak diajak."

"Terus?"

"Maksud Mama, kamu mampirlah ke rumah om Darius sepulangnya dari kampus nanti, Nya. Bawain makanan yang enak-enak. Makanan yang sekiranya disukai Carmen sama Aletta. Udah Mama transfer barusan ke rekeningmu---lebih-lebih itu."

"Aku ke rumah om Darius?"

"Tolonglah, Nya. Andai Mama nggak ada urusan di Gresik, Mama akan ke sana sendiri," ujar Deswita. "Mama selalu teringat kebaikan orang tuanya om Darius dulu ke Mama. Ke kita, Nak."

Anya menahan napas. "Hmm, iya."

"Makasi, ya, Nya. Maaf Mama sudah ngerepotin kamu," ucap Deswita.

"Nggak repot, kok, Ma. Nanti pulang kuliah aku mampir."

"Oke, Nak."

Anya pun mengakhiri pembicaraannya dengan Deswita. Ia termenung sesaat sambil memandangi layar ponsel yang perlahan-lahan mati.

"Sayang?" cek Gary. "Kenapa?"

Anya menggeleng. "Eng-enggak, kok," elaknya.

"Mamamu suruh kamu balik?" selidik Gary.

"Bukan," terang Anya. "Mama tadi minta tolong aku buat mampir ke rumah omku sebentar pas pulang nanti."

"Oh!" Gary bernapas lega. Ia lantas menggandeng Anya dan bersiap menuntunnya. "Kalau gitu, yuk," ajaknya.

Anya mengangguk. Namun, baru dua langkah ia mengikuti Gary, kakinya mendadak berat.

"Sayang!" tahan Anya.

"Ya?" Gary menoleh.

"Maaf, ya. Hari ini batal aja. Aku kayaknya harus segera ke rumah omku, deh."


***

Padahal Anya bisa saja kentu dulu sama Gary baru ke rumah Darius.

Hanya saja, betul kata Deswita, kasihan Carmen dan Aletta. Di benak Anya sudah terbayang macam-macam; dua adik kakak itu berbaring lemah di lantai sambil mengemil batu kerikil, persis adegan Setsuko di Grave To The Fireflies saat menjelang ajal karena kelaparan. Duh, punya overthinking memang menyiksa!

Dari kampus, Anya sudah mampir ke berbagai restoran; beli buah, ayam krispi dan burger kesukaan Carmen dan Aletta, lalu beberapa jenis pastry manis. Dia memacu Brio-nya dengan gesit macam Dom Toretto. Gerimis mengakibatkan jalanan sedikit macet, banyak pengendara motor yang nekat menembus lampu merah agar tak kebasahan. Efeknya, lalu lintas jadi ruwet dan amburadul.

Di tengah situasi chaotic, Anya bersyukur karena mamanya memfasilitasinya dengan kendaraan roda empat. Panas tak kepanasan, hujan tidak kehujanan. Begitulah Deswita, ibunya -- bekerja bak kesetanan demi menjamin kesejahteraan Anya.

Setelah hampir satu jam di jalan, Anya pun tiba di kediaman Darius. Rumah dua lantai bergaya modern minimalis. Warna dindingnya putih bersih, kontas dengan pagar dan railing yang dominan hitam. Anya memarkir mobilnya di depan gerbang, lalu menurunkan barang bawaannya.

Pagar rumah Darius tak berkunci, jadi Anya bisa langsung masuk tanpa menunggu dibukakan.

Saat melewati taman, Anya menyadari bahwa halaman omnya itu sama sekali tidak terurus. Tanaman morning glory Darius semua layu dan kering. Belum lagi pot-pot bonsai yang berantakan tiada terjamah. Seingat Anya, dulu kondisi rumah Darius tidak begini.

"Hmmh ..." Anya sontak menghela napas iba.

Pasti masalah rumah tangga antara Darius dan Rahma yang menjadikan mereka abai mengurus rumahnya lagi. Kasihan juga omnya itu.

"Om!" panggil Anya. Ia kemudian mengetuk-ketuk daun pintu. "Carmen, Aletta! Ini Tante Anya!"

Semenit, dua menit, terdengar suara kunci diputar dari dalam. Darius melongo keheranan ketika mendapati Anya berdiri di hadapannya.

"Nya?" sambut Darius.

"Aku abis dari kampus, Om," kata Anya. Sebenarnya responnya agak tidak nyambung.

Darius menciptakan celah agar Anya bisa melanggang ke dalam. "Masuk, masuk ..." Ia mempersilakan.

Anya pun berjalan menyusuri ruangan seraya menoleh kiri-kanan. "Carmen! Aletta! Tante Anya bawa makanan, nih! Ada kue manis-manis juga--"

"Nya ..." Darius mengikuti dari belakang.

Anya langsung menengok. "Ha?"

"Ngapain panggil-panggil Carmen ama Aletta? Mereka nggak ada di rumah," ujar Darius.

Mata Anya melotot. "HAH?"

"Lah, kan, Om udah bilang sama kamu -- mereka lagi di rumah kakek-neneknya, orang tuanya tante Rahma," jelas Darius.

"Om bilang begitu seminggu yang lalu, ya!"

"Mereka masih di sana," ucap Darius acuh tak acuh. Ia lalu melirik kantong plastik di tangan Anya. "Bawa apa aja kamu?"

"I-ini buat Aletta sama Carmen," sungut Anya.

Darius gesit menyambar. "Berarti sekarang buat Om." Ia terkekeh puas. Kemudian membawa makanan-makanan tadi menuju ruang makan. "Kita habisin bareng, Nya."

Anya membeliak.

Kakinya bak dipaku ke lantai, sulit bergerak. Jantung Anya seketika bergemuruh hebat.

Wait? So, it means it's just me and him in this house?

AGE GAP ROMANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang