D.e.l.a.p.a.n

8.7K 528 4
                                    

Arya POV

Gue terbangun saat matahari belum terlihat. Tapi bukan sekedar terbangun, gue bahkan ga bisa menikmati tidur gue. Saat berbalik, gue mendapati Natasha masih tertidur memeluk Revan. Di ranjang yang sama, sebegitu dekatnya kami, tapi terasa jauh.

Perkataan gue semalam, apa ga ada artinya lagi? Apa saat lembaran kertas hasil tes itu keluar, gue ga bisa menikmati pemandangan di hadapan gue ini lagi?

Huff...

Jika memang Revan anak gue, apa yang bisa gue lakukan? Ga mungkin gue membuangnya ataupun menelantarkannya. Di darahnya mengalir darah gue! Ayah macam apa jika gue sampai melakukannya?!

Yang ada, gue ga akan menyadang nama Mahendra lagi dan berakhir di kolong jembatan. Itu sih masih bagus, kan gue masih kerja jadi dokter jadi bisa lah nabung buat beli rumah. Tapi anggota keluarga gue ga mungkin membiarkan gue bertahan. Paling buruknya, gue bakal dirajam batu karena jadi orang yang sangat ga tau diri! Dad pasti ga akan menyelamatkan gue, karena udah jelas gue yang salah!

Tapi bukan itu yang gue takutkan.

Mungkin gue memang belum merasakan bagaimana perasaan seorang ayah untuk anaknya. Tapi gue ga bisa membiarkan anak sekecil Revan sendirian! Terlebih di dalam surat itu, ibu dari anak ini banyak mengatakan hal yang ga gue mengerti. Tentang keberadaan anak ini yang disembunyikan, dia dan waktu, lalu gue yang.... Ahhh, entahlah.

Intinya, jika gue mau masalah ini selesai, gue harus nemuin siapa yang ngirim anak ini ke rumah gue. Ibunya Revan yang gue ga kenal siapa! Tapi... Sampai detik ini gue masih belum mendapatkan info mengenai cewek itu. Sebenarnya siapa dia?!

"Aryaaa...."

Gue sedikit kaget, tapi langsung berubah tersenyum. Mata Natasha masih terpenjam, dan dia mengingau nama gue. Apakah gue ada di mimpinya?

Apa yang sedang dia mimpikan sampai ada gue ada di dalamnya? Mimpi indah atau buruk? Gue berharap, bukan mimpi buruk. Karena gue ga sanggup menyakitinya setiap saat, entah dia sadar atau engga. Jika mimpi indah, gue pun ga sanggup melihat kesedihannya saat tau semua berbeda dengan kenyataan yang ada.

Gue sadar... Gue cuma bisa nyakitin dia.

Semalam, gue sangat yakin Natasha menjawab sepenuh hati. Kata maaf yang artinya semua udah ga bisa ditolerir lagi, iya kan? Hanya cewek bodoh yang bisa menerima sakit hati terus menerus. Dan sampai hasil tes keluar, mungkin hari-hari ini adalah kesempatan terakhir gue bisa bersama Natasha.

Jam lima pagi.

Gue ga berniat untuk segera bangun dan berangkat kerja. Kemarin gue udah bilang kepala divisi kalau gue mau libur dua hari ini. Gue sangat teramat ga yakin bisa bekerja tanpa menyelakakan orang dengan pikiran yang kemana-mana. Lagipula, gue harus menikmati setiap menit yang masih gue punya bersama Natasha sebelum apapun terjadi...

Sejujurnya, gue sangat berharap Natasha ga memilih pergi. Walau gue tau dia bakal sedih karena harus tinggal seatap sama gue, tapi gue mau dia tetap di depan mata gue. Melihat dan meyakinkan kalau dia bahagia, tanpa gue yang terus menyakiti dia.

Jika itu yang terjadi pada akhirnya.

Tok tok tok

Siapa sih yang ganggu pagi indah gue?!

Well, dengan malas-malasan, gue bangun dari ranjang hati-hati dan membuka pintu. Berdirilah Dion di sana. Ngapain dia bangun pagi gini? Pake acara ngetok pintu segala lagi. Gue tau sih ini rumah dia, tapi kan ga perlu juga bangunin tamu sepagi ini!

"Hai bro..." Sapanya sambil nyengir.

Biasanya gue bakal bales nyengir dan tos ala cowok. Tapi sekarang gue ga mood, yang ada malah gue melotot melihatnya. Segera gue dorong dia dan menutup pintu di belakang gue.

"Woi! Natasha sama Revan lagi tidur kali! Brisik aja lu pagi-pagi..." Omel gue.

"Santai kek.. Hadehhh, berasa kayak istri-anak lu aja yang keganggu."

Yahhh... Andaikan memang seperti itu...

"Ck. ada apaan sih lu ngetok pintu ga tau waktu gini? Rumah masih sepi juga..."

"Astagaaaa... Sejak kapan sih lu mikirin jam berapa buat nemenin gue? Tega bener lu. Gue kan kangen sama kegiatan bersama kita setiap nginep di rumah. Emang lu ngga kangen sama masa-masa kita dulu?"

Gue hanya melongo. Ini Dion lagi bercanda atau apa ya? Gue berasa kayak cewek-cewek yang lagi pajama's party. Geli banget, plus Dion itu bukan cowok yang lembek kali. Gue sama dia sebelas dua belas, alias kami ini cowok asli yang suka film action. Cara dia ngomong tadi tuh merujuk pada sesuatu yang.... Iuhhh! Berasa hombreng alias homo bareng!

"Ayo ah! Lari pagi bareng. Udah lama gue ga olahraga... Cepet!" Bujuk Dion dengan puppy eyes yang SANGAT MENGGELIKAN.

Dasar gila... Ganggu acara gue ngeliatin Natasha cuma buat lari pagi? Sialan banget sih dia. Kenapa dia ga nikmatin muka istrinya aja di kamar?! Tapi mau ga mau, gue nurut juga. Mungkin olahraga bisa bikin badan gue terasa lebih segar.

Satu jam kami jogging di taman yang ada di dekat komplek perumahan Dion. Terlihat sepi karena semua orang pasti memilih menikmati hari di rumah dibanding Dion yang repot-repot olahraga.

"Ar..."

"Hm?"

"Gue ga akan nonjok lu kalo bener Revan anak lu."

Gue hanya tersenyum tipis. Ahhh... Dion aja sampai bicarain ini sama gue. Niat dia sebenarnya ngajak gue jogging tuh buat introgasi gue kan? Bikin gue curhat bombay kayak cewek-cewek? Cih, ketauan banget.

"Gue rasa, mending gue jadi penyelamat aja saat lu babak belur dihajar ortu dan sodara-sodara lu. Kalo ngga, kasian ga ada yang nolongin lu. Ga lucu kan mati konyol gitu?"

Sialan dia!

Pake acara ketawa segala lagi. Ck, rasanya pengen gue tabok bolak balik. Titelnya sih emang temen plus sahabat plus hombreng ga jadi, tapi ngehinanya loh?! Gue tau niat Dion cuma melucu, tapi gue yakin itu beneran bakal terjadi.

"Lagian, lu udah nonjok gue. Remember?"

"Ahhhh... Iya juga."

Pas waktu gue nyariin Natasha ke rumah Dion, gue kena dua-tiga pukulan! Rasanya ga bisa bohong deh kalau sakit pake banget. Ya emang ada dipukul ga sakit?

"Menurut lu, gue sebrengsek itu Di?" Gue serius mau tau tanggapan orang lain.

Dion terdiam sejenak. Menatap langit biru cerah yang memayungi kami. Entah apa yang dilihatnya, yang jelas gue yakin Dion lagi milih kata-kata yang tepat. Gue hanya bisa menunggu sambil ikut menatap langit tak berujung.

"Cowok tuh bisa khilaf juga kan ya? Jujur aja, gue ga setuju dengan yang namanya pengkhianatan. Tapi selama gue kenal lu, gue yakin lu bukan cowok yang suka nyakitin orang. Mungkin lu cuma khilaf karena ..... mabuk? Jadi dokter kan ga gampang. Lu mungkin stress kali kebanyakan belajar. Who knows?" Kata Dion diakhiri dengan senyum prihatin.

"Ha-ha-ha. Lu menghibur gue Di?"

"Yahhhh... Lu mau gue hina?"

Tapi hiburan itu ga melegakan hari gue sama sekali. Jadi dokter itu ga sesulit perasaan gue saat ini.

"Thanks Di. Mmm... Gue boleh minta tolong?"

"Anything.."

"Tolong cari tau tentang cewek itu.."

"Nyokapnya Revan?"

"Iya. Selengkapnya dan secepetnya. Koneksi gue ga seluas lu, ya maklumi lah... Gue kerja cuma di rumah sakit."

Gue yakin saat ini cuma Dion yang bisa bantu gue. Ya ga mungkin kan gue bawa banyak orang untuk terlibat dan bongkar permasalahan hidup gue.

"Gampang. Ada lagi?"

Gue diam, sampai akhirnya gue menoleh ke Dion dan memasang ekspresi serius yang bisa gue tampilkan. Tapi permintaan ini yang satu-satunya terlintas di kepala gue saat Dion menawarkan diri.

"Bantu gue berdoa, semoga Natasha bahagia... Dengan ataupun tanpa gue." Tanpa kerelaan hati, gue mengamininya.

Loving You #6 : Happily Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang