D.u.a.p.u.l.u.h.e.m.p.a.t

7.8K 447 1
                                    

Arya POV

"Gue.... Anggota keluarga Mahendra juga." Kata gue dengan senyum terpaksa.

Rama sempat menceritakan bagaimana calon suami Natasha yang ga tau apa-apa tentang latar belakang Natasha. Dan gue, bersyukur masih bisa berpikir cepat dalam kondisi syok seperti sekarang!

"Oh astaga! Sorry gue ga tau. Well, ayo masuk! Ga lucu banget kalau kita ngobrol sambil berdiri di luar gini. Ayo ayo..."

Gue mengangguk dan masuk. Duduk di sofa yang ada dan langsung disuguhi pemandangan menyegarkan mata.

Ya... Natasha.

Dia di sana, duduk di salah satu sofa dan memangku Revan hang ga berhenti berceloteh. Penampilannya... Senyumnya... Tawanya... Ha-ha-ha... Memangnya sudah berapa lama sih? Kenapa setahunan ini rasanya lebih lama dari tujuh tahun di Jerman?! Rasanya ingin sekali gue mendekat, merengkuh tubuhnya dan memeluk erat! Mengatakan rindu yang terpendam dalam dan.....

Oh God!

Rasanya gue ditampar keras oleh kenyataan saat Riki menyuguhkan segelas teh buat gue. Ahahaha.. Lucu. Jelas-jelas Natasha itu ga mungkin salah memilih untuk hidupnya. Kenapa gue malah mengira bisa merebutnya dari calon suaminya? Bodoh!

Sepintar mungkin, dan sekuat tenaga, gue tersenyum ramah dan menyapa.naneh kan kalau gue hanya duduk di rumah orang tapi mengabaikan si pemilik? Lagian tujuan gue dateng kan bukan mau melihat calon suaminya, tapi mantan tunangan gue... Ya... Ya mantan tunangan. Miris!

"Hai Sha... Lama ga ketemu..."

Natasha yang baru menyadari kehadiran gue, langsung menoleh cepat dan kaget. Jantung gue terpompa cepat saat melihat dua mata itu dengan jelas. Mata yang setahun lalu terus meneteskan akr mata karena diri gue.

Syukurlah engga lagi...

"Hm... Mm.. Hai Ar.." Balas sapa Natasha.

Gue ga tau bagaimana perasaannya. Taku, cemas, kaget, sendu... Gue ga bisa kembacanya. Mungkin dia menuesal kelihat gue lagi setelah sekian lama. Tapi gue sangat berharap, apa ada kerinduan di sana?

"Tangeee... Ayoooo! Kita ngobrol lagi! Kita susun rencana liburan kayak dulu!"

"Eh... Mmm boleh sih. Tapi... Di kamar Tante aja ya? Ada yang mau Tante kasih ke Revan juga. Yuk!" Ajak Natasha memutus kontak matanya dengan gur. Mau tak mau, gue hanya bisa tersenyum kecut. Memangnya siapa gue yang bisa mendapat prioritas tinggi di hati Natasha?

Revan mengangguk antusias. Sekilas Natasha menatap gue, sebelum akhirnya dia menatap Riki. Dengan senyum lebar, Natasha bicara dengan Riki. "Kayaknya aku ga bisa deh Rik jalan hari ini. Aku kangen banget keponakanku ini. Besok janji deh, kita jalan. Ya ya ya?"

"Hahahhaa.. Iya deh. Aku juga mau ngobrol sama temen lama. Dunia sempit ya? Ternyata Arya ini adik kelas aku waktu kuliah di Jerman dulu loh!"

"Mmm... Oke. Aku ke kamar dulu ya. Kamu ngobrol di sini aja."

Senyum itu.... Senyum itu bukan milik gue lagi. Sorot mata berbinar itu juga bukan milik gue lagi. Dan tahu apa yang paling menyakitkan? Tahu apa yang paling ga pengen gue bagi?

Hati itu bukan milik gue lagi!

Bodoh! Lalu apa yang gue jarapkan sekarang?! Udah jelas kan kalau Natasha memilih apa yang dia inginkan, dan dia memilih bahagia. Bahagia dengan seseorang yang mencintainya dan bukan gue orangnya. Ya, bukan gue! Perlu lebih jelas lagi?!

Mungkin setahun itu memang waktu yang lama.... Terlalu lama dan membuat gue kehilangan kesempatan untuk mendapatkan Natasha kembali. Terlebih hatinya bukan lagi ada gue.

"Gimana kabar lu sekarang Ar?"

"Baik. Lu sendiri gimana? Gue denger jadi dokter bedah sukses ya?"

Dan... Itu salah satu dari sekian banyak hal yang membuat diri gue kalah dari Riki. Cekatan, pekerja keras, penuh kehakinan. Dalam hal bekerja sebagai petugas medis, gue masih kalah sepuluh tahun dari dirinya. Padahal kami cuma beda dua tahun. Ck! Gue layaknya bocah ingusan jika dibandingkan dengan hebatnya dia di ruang operasi maupun di emergency!

"Yahhh... Gitu-gitu aja. Ga seberapa kok kalau dibandingin sama lu yang lebih ambisius. Hahaha!"

Ditambah dia itu rendah hati. Gue semakin mengerut jika dibandingkan dengan dirinya!

"Ga lah... Hahahhaa. Gue masih ga ada apa-apanya. Lagian, lu itu layaknya pahlawan buat gue! Nyawa gue nyaris melayang karena ketusuk pisau waktu itu. Ga ada lu di jalan pas itu, gue yakin ga bisa bernapas di detik ini."

Ahhh.... Inilah hal yang membuat gue langsung berharap semua ini mimpi. Jujur aja, jika Riki lah calon suami Natasha.....

Maka dengan pedih hati....

Gue merelakan Natasha dan mendoakan kebahagiaannya.

Riki bukan orang sembarangan, dan gue udah kenal dia luar dalam! Pernah suatu kali gue kejar-kejaran sama jambret. Namanya juga gue kasian sama nenek-nenek yang minta tolong tapi ga ada yang mau nolongin. Akhirnya ketangkep sih, tapi yaaa itu masalahnya. Si jambret bawa pisau dan gue ditusuk!

Niatan menolong malah jadi begitu. Sama kayak si nenek, gue ga ditolong sekalipun banyak orang yang lalu lalang. Kebetulan aja Riki lewat dan dia yang nolongin gue. Pertolongan pertama dan apapun itu. Intinya saat gue sadar, yang tanggung jawab atas semua tindakan medis gue itu Riki.

Bisa dibayangin kalo dia ga ada?

"Yahhh itu kan naluri manusia Ar. Saling menolong! Hahaha..."

Sayangnya, naluri Riki doang yang masih aktif dari ratusan orang yang ada di jalan itu!

Pembicaraan gue dan Riki berlanjut terus ke kenangan-kenangan kami masa lalu. Walau cupu, tapi Riki orangnya asik. Cukup bawel juga, walau saat jadi dokter tampangnya jaim! Dan semakin berlanjut obrolan ini, gue semakin pasrah....

Lalu sekarang gue harus bagaimana?

"Maaf... Gue angkat telepon dulu." Riki minta ijin karena ponselnya berdering. Gue yakin banget itu dari rumah sakit. Kami para dokter, terutama dokter bedah, mendedikasikan diri dan waktu kami untuk rumah sakit! Memangnya kami bisa apa jika ada pasien terkapar?

Aku mengangguk dan Riki menjauh, bersamaan dengan pikiran gue yang semakin lelah bekerja. Semua sudah selesai... Semua udah bener-bener selesai.

"Gue harus ke rumah sakit. Ga ada hari libur yang bener-bener libur nih! Hahaha... Titip calon istri gue sebentar ya. Oh iya... NATASHAAAA.... AKU PAMITTT. ADA PANGGILAN MENDADAKKKK...."

Aku mengangguk maklum, bersamaan dengan suara langkah kaki yang berderap ke arah Riki.

"Yah Rik... Katanya libur."

"Hahhaa.. Mau gimana lagi. Maaf ya sayang..."

"It's ok. Hati-hati dan semoga pasien kamu selamat yaaa!"

"Sip! Love you..."

Dan saat pintu tertutup, suasana canggunglah yang mendominasi ruangan ini....

Loving You #6 : Happily Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang