E.m.p.a.t.b.e.l.a.s

7.7K 502 7
                                    

Arya POV

Gue merasa dipermainkan.

Semua itu sebenernya deket banget sama tempat keberadaan gue, tapi kenapa gue harus pusing-pusing nyariin dan nunggu berjam-jam dengan sia-sia?!

Ga ada yang lebih konyol dari hidup gue kayaknya.

Sampai akhirnya gue nyampe di rumah sakit, gue segera berlari ke kamar yang udah gue ingat di dalam otak nomornya.

Ruang Jasmine nomor 303

Dan tanpa mau melakukan hal bodoh lainnya, gue langsung mengetok pintu dan membukanya walau belum dapat ijin. Saking hebohnya, beberapa perawat yang ada di kamar itu menoleh kaget.

Oke... Sorry...

Gue cuma ga mau terlambat dan membuat semua masalah semakin menumpuk.

"Maaf sus, di sini benar kan kamarnya pasien bernama Jessica Geraldo?"

"Mmm.. Ya, benar Dokter Arya." Jawab seorang perawat yang terlihat malu-malu.

Ha... Ada fans ternyata. Well, bukan narsis tapi gue tau kok gue ini tampan! Tapi fokus, gue ga ada niatan buat bercanda sekarang. Mana Jessica?!

"Anda mencari sa-..."

"Jess.."

"Arya?!"

Tanpa perlu gue usir, para perawat itu seakan mengerti dan langsung keluar. Biarlah gosip beredar. Ada yang lebih penting yang harus gue urus. Dan ini menyangkut hidup gue di masa akan datang.

"Hai Jess... Ga pake basa-basi boleh?"

"Yaaa... Seperti biasa. Ga berubah ya."

Gue tersenyum, dan baru gue perhatikan Jessica. Badannya memang mungil, tapi gue ga tau semungil ini. Kanker pankreas memang kanker yang sulit dideteksi dan membunuh dengan cepat. Terlalu menderita... Itulah yang bisa gue simpulkan dalam sekali lihat. Menghela nafas dalam, gue kembali menatap Jessica. Dia masih sanggup tersenyum melihat gue, padahal gue ....

"Gimana keadaan Revan? Dia sehat? Ga menyusahkan kan? Dia anak yang baik dan ga pemilih dalam makan. Paling juga alergi seafood aja."

"Dia baik. Sehat. Ga menyusahkan."

Dan benar tebakan Natasha. Revan alergi seafood, persis diri gue.

"Maaf gue nyusahin lu. Tapi lu bisa liat keadaan gue sekarang. Ga berdaya dengan infus dan obat yang ga ada habisnya. Lu dokter, dan pastinya lu lebih ngerti tentang semua ini."

Ya... Gue ngerti.

"Gue .... Gue ga berharap lu nikahin gue. Keadaan gue sekarat, dan ga berapa lama lagi gue bakal pergi. Revan satu-satunya yang ga mungkin gue biarkan sendiri di dunia ini. Boleh gue curhat dikit?"

"Itu yang gue butuhkan dari lu. Penjelasan dua tahunan yang gue lewatkan!"

"Oke. Jadi gini... Malam itu gue ditarik temen-temen lu. Dikunci dalam satu kamar, dan lu di sana. Entah obat macam apa yang dikasih mereka, dan kayaknya lu mabuk. Gue sendiri minum alkohol karena udara yang dingin. Dan.... Lu bisa mikirin kelanjutannya sendiri."

Ya.. Gue udah kepikiran dan dapat setiap keping puzzlenya.

"Lanjut..." Pinta gue.

"Mmm... Gue bangun, dan dua minggu kemudian gue baru tau tentang kehamilan gue. Di saat yang sama, gue pulang ke Indonesia jenguk ortu gue. Dan di sanalah semua ketahuan. Dan siapa yang ga kaget mendapati anaknya tiba-tiba hamil tanpa pernah mengenalkan satu pun lelaki sebagai pacarnya?"

Oke. Gue beneran brengsek!

"Gue ga mungkin nyebut nama lu. Lagian apa gunanya? Lu udah bertunangan. Akhirnya mereka marah dan bilang gue ini anak durhaka. It's ok. Salah gue juga. Harusnya gue yang jaga diri dengan baik. Gue berusaha keras dan sangat teramat bersyukur bisa membesarkan Revan dengan tak kekurangan apapun. Dan... Tunggu. Tunggu-tunggu-tunggu... Apa gue merusak sesuatu dengan kehadiran Revan? Apa... Tunangan lu udah tau tentang Revan?" Tanya Jessica yang tiba-tiba khawatir.

Gue hanya bisa tersenyum tipis.

"Biar.... Biar gue yang jelasin ke tunangan lu. Atau kalian udah nikah dan dia minta cerai? Oh God! Gue minta maaf. Gue terpaksa karena Revan ga ada yang jaga! Gue bener-bener .... Damn! Kenapa gue ga kepikiran dan baru sadar sekarang! Padahal dulu gue...."

Ya... Gue tau. Tapi ga ada artinya lagi membahas itu. Ada yang lebih penting untuk dibahas. Masih banyak hal yang perlu dibahas, terutama isi dari surat itu.

"Hei... Boleh gue tanya?"

"Apapun!"

"Di surat lu, ditulis lu cinta sama gue. Itu.... Bener?"

Jessica hanya tersenyum tipis, lalu mengangguk. Ah... Gue ga tau harus bilang apalagi. Gue bener-bener lelah dengan semua kenyataan yang ada. Wake up dan move on beneran sulit!

"Jadi... Gimana sama tunangan lu? Istri lu? Apapun statusnya. Cewek yang namanya Natasha itu gimana?" Desak Jessica.

"Kami batal menikah."

"Ar..."

Gue tersenyum tipis. Kenyataan itu memang ga bisa gue bohongi lagi, karena mau bagaimana pun ue ga punya status apapun lagi dengan Natasha.

"Ga apa. Jangan kasihani gue, dia udah ngasih gue ultimatum kalau kami bakal nikah setelah gue pulang dari Jerman, tapi kalau gue ga hamilin anak orang. Nyatanya, sadar ataupun engga, gue udah ngelakuin hal yang ga seharusnya ke lu."

"Temuin gue dengan Natasha Ar... Gue bakal jelasin ke dia. Gue ga mau jadi perusak kebahagia-..."

"Ga perlu. Masalahnya ga sesederhana yang lu pikir."

"Tapi..."

"Dia nerima Revan dengan lapang dada. Bahkan mereka dekat! Natasha yang meluk Revan saat dia kaget bangun di pagi hari dan mendapati gue di sampingnya. Natasha juga yang ajak dia jalan saat gue sibuk di rumah sakit. Natasha yang ngajak dia main di pantai, mandiin dia, nyuapin dia, gantiin baju, dan ... Oh damn! Masalahnya bukan Revan, tapi diri gue! Pengkhianatan gue! Dan ga ada ampun buat gue, Jess... Ga ada..."

Dan sore itu hanya bisa gue habiskan dengan menangis di depan Jessica. Dia maklum, tapi gue ga punya lagi malu. Rasanya terlalu sakit ditinggal.

Cinta gue dari SMA satu, dalam diam dan tak bersuara...

Mencintainya selama tujuh tahun, menunggu sambil menggapai mimpi... Dan terus mencintainya sampai detik ini. Walau semua sudah berakhir sekalipun...

It's hurt!

Loving You #6 : Happily Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang