L.i.m.a

9.5K 543 1
                                    

Natasha POV

"Jadi, namanya Revan?"

Aku mengangguk menjawab pertanyaan Miranda. Tanpa menoleh ke arahnya, aku terus menatap Revan yang bermain dengan Joey layaknya kakak-adik. Sesekali mereka tertawa bersama, tapi tak jarang mereka rebutan mainan walau berakhir dengan Revan yang mengalah.

Aku ga membenci Revan.

Revan berambut kecokelatan, seperti bule. Hidungnya mancung, mata cokelat yang mirip Arya, pipi merah tembem, dan ga keterlaluan gemuk. Dia anak yang baik, manis, dan senyumnya membuat orang lain ikut tersenyum. Dia ga rewel, ga mudah ngambek, dan sangat penurut. Intinya, ga ada hal yang membuat aku merasa ga enak karena kehadirannya di sisiku seharian ini, kecuali kenyataan dia mempunyai peluang seorang Mahendra.

"Bukannya mau bikin lu parno, Sha. Tapi gimana kalau bener Revan anaknya Arya? Makin gue liat, dia makin mirip!"

Aku juga tau, Mir!

Matanya sama persis dengan Arya! Bahkan caranya menatap juga sama!

Masalahnya, aku menolak kenyataan itu. Aku ga mau diriku hancur dalam tiga hari ini. Biarlah aku percaya dan membuat diriku melayang tinggi dengan semua kebohongan atau kebenaran yang ada. Karena aku ga sanggup, kalau harus kehilangan Arya yang terlanjur aku cintai!

Aku belum sanggup!

"Sha... Gue yakin sih, bukan cuma Om Leo yang hajar Arya kalo bener Revan anaknya. Tante Erine, Kak Rega, Kak Reta, bahkan Rama bakal habisin si Arya di tempat. Ahhh.. Jangan lupa, Dion sama gue juga ga ketinggalan. Sialan banget dia!"

Aku langsung mendelik ke arah Miranda.

"Kok kamu ikutan?! Dion juga... Ngapain dipukulin Arya nya?!"

"Kalau Dion, itu jelas. Karena sahabat harus negur sesama sahabatnya, kayak waktu SMA itu.. Dion selingkuh dari gue, Arya langsung nonjok Dion kan? Inget ga? Nah giliran kan boleh." Jelas Miranda diakhiri dengan kekehan.

"Terus kalau kamu?" Tanyaku bingung.

"Karena dia udah nyakitin lu, sahabat gue! Masih nanya lagi lu. Ck!"

Aku hanya bisa tersenyum. Ya, Miranda sahabat terbaik yang aku punya. Bahkan persahabatan kami masih langgeng sampai sepuluh tahun ini, walau banyak kali aku merepotkannya tapi bersyukurlah Miranda orang yang sabar. Contohnya, saat aku mengajak kerja sama di tempat antah berantah, dia mau saja meninggalkan Dion dan ikut denganku. Memang ya, persahabatan itu ga memandang luar saja.

"Nteeee!!!"

Belum saja aku menoleh, Revan sudah menubrukku. Sedikit kaget, tapi aku merasa beruntung Revan menganggapku bukan orang asing. Walau ga bisa dikatagorikan sebagai manja, tapi sifatnya ini membuatku merasa diterima sebagai orang yang dekat dengannya. Apa aku harus bersyukur?

"Ya... Ada apa Revan?" Tanyaku lembut sambil mengelus rambutnya yang halus. Sama rasanya seperti rambut Arya... Huff.

Revan ga menjawabku dan terus memeluk kakiku. Sebenarnya ada apa? Sejujurnya aku bingung, walau dulu aku yang mengurus Rama dan Sinta waktu mereka kecil, tapi aku bukan ibu mereka. Mama lebih tau apa keinginan mereka tanpa mereka bilang.

Aku baru saja mau menggendongnya ke pangkuanku, saat baru ku sadari Revan tertidur! Dia terlalu lelah bermain, terlebih seharian ini dia terus menemaniku ke kantor karena ada urusan mendadak. Aku yang ga mungkin meninggalkannya terpaksa meminta Revan menemani. Hebatnya, Revan ga mengeluh sama sekali dan menunggu dengan sabar. Malah dia yang mengingatkanku untuk makan siang!

Ya... Sedikit banyak, aku bersyukur.

"Mir... Boleh pinjam kamar tamu ga?"

"Ya, boleh kok! Pake aja... Sekalian lu juga istirahat aja gih. Muka lu keliatan sama capeknya."

Aku mengangguk. Miranda benar, aku juga capek. Semua ini menguras tenaga dan saatnya aku berisitirahat tanpa perlu memikirkan apapun. Aku langsung menggendong Revan dan membawanya ke kamar tamu. Dengan hati-hati, aku meletakkan Revan di ranjang dan aku berbaring di sampingnya.

"Van, jika kamu bukan anak Arya, mungkin aku akan mengangkatmu menjadi anakku. Tapi entahlah... Semua terasa melelahkan untuk saat ini. Aku harap, apapun yang terjadi kamu ga akan tersakiti seperti aku."

Aku menarik Revan ke dalam pelukanku dan terlelap. Berharap saat bangun nanti, semua akan menjadi lebih baik. Hubunganku dengan Arya, lalu pernikahan kami, juga Revan...

***

Arya POV

"Sejak kapan sih gue buka hotel di rumah gue sendiri? Ck. Udah kemarin berkunjung, hari ini berkunjung, gue yakin besok dan lusa juga lu berkunjung. Hadehhhh...."

Gue hanya bisa nyengir menanggapi Miranda. Mau bagaimana lagi? Natasha lebih memilih ke sini daripada pulang ke rumah dan bertemu anggota keluarga yang lain. Lebih bijak kalau tes DNA itu keluar dan kami baru memikirkan semuanya lagi. Ga baik mengajak banyak-banyak orang ke dalam permasalahan ini. Kalo hotel.... Natasha mendadak sangat pelit, dan gue ga berani ambil risiko buat kena omelannya masalah pengeluaran yang menurutnya ga perlu ini.

"Besok lu bayar biaya sewa ye!"

"Tega bener sama temen sendiri sih..."

"Bentar lagi juga ga jadi temen kalo bener Revan anak lu tau!"

Gue hanya bisa tersenyum tipis menanggapi. Gue bahkan mulai mempersiapkan diri gue dari tadi pagi sampai hasil tes DNA keluar. Untuk apalagi kalau bukan menerima amukan semua orang. Gue tau, semua ga selalu sesuai dengan harapan dan rasa-rasanya harapan gue semakin tipis.

"Dion mana?"

"Lagi di meja makan. Lu juga makan aja gih... selama gue masih berbaik hati nawarin lu makan."

"Makasih.. Boleh gue liat Natasha?"

"Hm... Dia lagi tidur sama Revan di kamar tamu. Jangan ganggu mereka, soalnya keliatan capek banget. Lu makan aja dulu..."

"Thanks Mir... Tapi gue kenyang."

"Kenyang tanpa makan? Cih... Terserah lu lah. Asal jangan pingsan di rumah gue aja. Sana temuin Natasha, dan jangan macem-macem di rumah gue ya!" Ancam Miranda sungguh-sungguh.

Gue mengiyakan dan segera berjalan ke kamar tamu. Gue buka pintu perlahan dan di sanalah Natasha, tidur dengan posisi memeluk Revan. Gue tersenyum, dalam kepala gue terbayang gambaran kalau hidup gue di masa mendatang akan seperti ini. Istri, anak gue, dan semua bahagia.

Bisakah?

Gue melangkah mendekati ranjang. Perlahan duduk di bagian kosong dan ikut berbaring menatap Natasha. Wajahnya yang tenang dalam tidur, kerutan dahinya ga terlihat lagi, matanya yang ga mengeluarkan air mata kesedihan...

Hati gue berteriak keras... Sekeras-kerasnya, berkata kalau inilah cewek yang gue cintai dan cuma dia yang gue mau ajak bersama di sepanjang hidup gue!

Perasaan hangat, damai, dan bahagia seperti ini. Dalam keheningan seperti ini... Persis seperti ini... Bolehkah gue merasakan ini lebih lama lagi? Selamanya? Sepanjang hidup gue?

Gue ingin merasakan semua kesederhanaan ini. Bersama orang yang gue cintai... Bersama Natasha.

Loving You #6 : Happily Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang