E.m.p.a.t

10K 578 8
                                    

Natasha POV

Aku tau, hidup ga semudah membalik telapak tangan.

Aku tau, cinta bertahan jika melawan cobaan.

Aku tau....

Aku tau baik hidupku, ataupun cintaku, ga akan mudah untuk mencapai kata bahagia selamanya. Tapi apa ga bisa aku merasakan kebahagiaan yang sudah ada di depan mata? Pernikahanku bahkan sudah sangat siap, ga ada kekurangan, dan ga ada masalah. Semua sudah sempurna!

Lalu kenapa?!

Aku kira, tujuh tahun hanyalah waktu. Dan selama tujuh tahun, aku kira ga akan ada yang berubah. Aku kira, semua akan baik-baik saja karena aku sudah melewati bagian yang paling buruk. Tapi ternyata ga demikian. Masih ada lagi yang aku ga tau.

"Nte..." Igau anak laki-laki yang ada di pelukanku.

Dia masih terlalu kecil.

Apa aku sanggup menyalahkannya sekalipun aku ingin? Apa aku sanggup menyakitinya, sekalipun aku tersakiti? Apa aku sanggup?!

Aku ingin kebahagiaanku! Ya Tuhan, AKU INGIN BAHAGIA!

Apa permintaan itu terlalu berat?! Apa aku terlalu egois??!

Untuk kesekian kalinya air mataku kembali mengalir. Pelukanku semakin erat untuk menahan sakitnya hatiku. Kenyataan itu terus berputar di kepalaku. Revan adalah anak Arya dari hubungannya satu malam dengan entah siapa perempuan itu. Rasanya aku ingin tertawa saat dulu aku pernah mengatakan kalau dia bebas hang out bersama teman-temannya di Jerman dan juga pacaran sama bule di sana. Karena aku sendiri nyatanya ga bisa menerima apa yang terjadi sekarang!

Perlahan, aku melepas pelukanku dan menyampirkan guling di dekat Revan. Sejenak, aku menghela nafas dalam dan mencoba menenangkan diriku. Semalaman sudah cukup untukku meyakinkan diri agar siap menghadapi Arya. Ga ada lagi yang namanya melarikan diri!

Aku keluar dari kamar dan berjalan ke sofa. Arya duduk di sana dengan sebelah lengan menutup matanya. Sekilas tadi aku melihat dia kelelahan. Apa dia juga merasa sakit seperti diriku? Apa dia juga ga bisa tidur sepertiku? Apa dia juga memikirkan semua ini seperti kepalaku yang nyaris pecah karena semua masalah ini?

Bolehkah aku percaya kalau memang Arya ga pernah dan ga akan mengkhianatiku?

"Arya..." Panggilku.

Arya segera membuka matanya menatapku. Senyum tipis diberikannya padaku, seakan dia ingin menenagkanku tapi hasilnya malah membuatku ingin menangis.

Jangan.... Jangan....

Aku ga boleh menangis!

"Sha.. Kamu udah sarapan? Mau ku pesankan sesuatu?" Tanya Arya sambil meraih ganggang telepon di samping sofa.

"Pesankan segelas susu dan bubur ... atau nasi goreng untuk Revan. Sebaiknya jangan seafood, siapa tau dia alergi kayak kamu."

Arya terdiam, dan jarinya yang sedang menekan nomor terhenti begitu saja. Saat itulah aku baru menyadari. Ha-ha-ha... Bodoh. Apa aku baru saja mengakui kenyataan kalau Revan benar-benar anaknya Arya?

Hening beberapa lama itu akhirnya pecah di saat Arya kembali sadar dan menelepon bagian service room. Setelah memesan, Arya menutup kembali telepon dan menatapku. Tanpa takut, aku juga balik menatapnya.

'Asal kamu tahu Ar, aku percaya kamu bukan cowok brengsek. Tapi kamu mengkhianati aku dan rasanya sakit. Itu yang bikin aku ga bisa berhenti menangis!' Batinku pedih dalam hati.

"Hari ini aku mau membawa Revan melakukan tes DNA."

Hening sejenak, sampai akhirnya aku memberanikan diri memberi tanggapan.

"Paling cepat berapa lama?"

"Tiga hari."

Dalam pikiranku, terus bermunculan berbagai pertanyaan. Jika memang bukan anak Arya, maka dengan senang hati aku menerima Arya kembali tanpa sedikitpun air mata kesedihan. Aku akan memeluknya, dan ga akan aku biarkan pernikahan kami batal begitu saja!

Tapi jika Revan terbukti anak Arya, lalu aku harus bagaimana?

Arya masih bisa masuk ke rumah Dad dan Mom. Aku ga punya hak melarangnya seperti yang dulu aku katakan. Tapi aku ga mungkin tetap bertahan satu atap bersama Arya!

Oh Tuhan... Ku mohon, jangan biarkan aku menangis. Terlebih di depan Arya, aku ga mau dia tau aku serapuh ini karena takut kehilangan dia! Aku terus menguatkan diriku sendiri sampai akhirnya aku memberanikan diri mengalihkan pembicaraan. Ya, ini akan lebih aman daripada membicarakan masalah kami terus-menerus. Iya kan?

"Kamu ga pergi kerja?"

"Mmm.. Nanti. Lagipula ga ada yang menjaga Revan."

"Biar aku yang jaga Revan." Kataku memberi tawaran. Entah apa yang ada di pikiranku, tapi mulutku mengatakannya begitu saja.

Katakanlah aku bodoh...

Tapi aku ga bisa membiarkan seorang anak kecil merasa sendirian, karena aku pernah merasakannya bersama Rama dan Sinta. Semua terlalu menyakitkan jika tanpa orang tua, dan aku bisa merasakannya saat Revan terus memelukku saat tidur tadi. Dia terlalu kecil untuk terlibat masalah antara aku dan Arya. Juga perempuan yang adalah ibu Revan.

Biarlah ini menjadi urusan kami para orang dewasa, dan aku berani berjanji ga akan mempermasalahkan Revan bahkan sampai menyakitinya.

"Sebaiknya jang-..."

"Aku ga akan menyakiti Revan jika itu yang kamu takutkan. Revan bisa aku bawa ke rumah Miranda, main sama Joey."

"Tapi..."

"Aku menunggu tiga hari ke depan Ar. Apapun hasilnya, aku akan menunggu dan ga akan lari."

Dan semoga saja keputusanku ga salah. Selama itu juga, aku akan percaya Arya seperti sebelum aku membaca surat itu. Siapa yang tau bagaimana masa depan, dan aku akan sangat sabar menunggu semua yang akan terjadi.

Akan lebih baik kalau aku mewanti-wanti Dad dan Kak Rega agar ga langsung melemparkan tinju ke Arya. Jangan lupa Rama! Lagipula aku dan Arya sudah sama-sama dewasa, bukan lagi remaja tujuh belas tahun yang menyelesaikan masalah dengan ajakan menikah dan meninggalkan cita-cita.

Huff... Semua ini terlalu menguras tenaga dan air mata. Aku terlalu lelah... Aku butuh semua yang masih terasa sama seperti sebelum surat itu datang. Aku masih butuh Arya yang selalu perhatian dan memelukku tanpa alasan. Tapi bisakah?

"Boleh aku peluk kamu?"

Aku menatap Arya kaget. Apa... Dia tahu isi hatiku? Tapi aku sungguh merindukannya. Aku merindukan Arya yang walau hanya sehari, tapi semua masalah ini membuatku merasa kehilangan dia berminggu-minggu. Semua terlalu melelahkan!

Bolehkah hanya saat ini saja aku merasa bahagia?

Bolehkah?

Jika nantinya aku ga bisa bersama dengan Arya, aku harap tetap dialah cinta pertamaku yang terkenang selamanya dalam hati.

"Ya.." Jawabku bersamaan Arya yang bangkit dari sofa yang memelukku erat.

Dan aku tau detik itu juga kalau kami berdua takut kehilangan semua momen ini.

"If I hurt you too much, I will let you choose what you want. I love you, Natasha.. Really love you!" Bisik Arya.

Tapi lidahku kelu untuk sekedar membalas, bahkan hanya bisa membatin jawaban. Jawaban yang ga bisa didengar Arya dan hanya tersembunyi dalam hatiku saja.

'I love you too... Arya Pradipta Mahendra.'

Loving You #6 : Happily Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang