T.u.j.u.h

8.5K 521 6
                                    

Natasha POV

"Revan udah tidur lagi ya?"

"Iya."

Kemudian hening. Suasana ruangan hanya didominasi dengan hair dryer yang ku gunakan. Rasanya sungguh menyedihkan, keadaan ini mengingatkanku kepada semua yang terjadi kemarin. Apa sesulit ini hubungan kami?

Aku mematikan hair dryer dan langsung meletakkannya kembali. Setelah membetulkan posisi tidur Revan, aku mengambil bantal dan selimut untuk diriku. Seperti kata Miranda, aku dan Arya itu belum sah. Bahkan ga tau akan sah atau tidak ke depannya. Mana mungkin kami seranjang?

Tidur di sofa ga akan jadi masalah. Semoga aja Miranda ga lupa mendekor kamar tamu senyaman kamarnya sendiri. Tapi baru saja aku berjalan dua langkah, suara Arya menahanku.

"Sha... Kamu tidur di ranjang aja."

"Ga apa Ar.. Aku di sofa aja." Aku tersenyum yakin.

"Sha... Aku aja yang di sofa." Ngototnya yang membuatku mendesah kesal.

Mana mungkin! Arya butuh tidur dan seharusnya tidur dengan ranjang yang nyaman. Sofa yang keras ga akan bisa membuatnya terlelap. Lagipula, mau sofanya nyaman juga ga akan bisa Arya gunakan. Tinggi seorang mantan kapten basket tuh ga sebanding dengan lebarnya sofa!

Tapi Arya keras kepala, dan dia tak lelah membuatku menyerah. Adu mulut sampai sepuluh menit ke depan ga terelakkan. Sampai akhirnya aku mendapatkan satu keputusan bijak. Demi kebaikan semua orang, terutama Revan yang sudah mulai terusik tidurnya.

"Kita berdua di ranjang. Oke?!" Kataku final sambil melotot ke arah Arya.

Terserah, pokoknya malam ini ga ada yang tidur di sofa! Lagipula Revan ada di antara kami, jadi ga mungkin terjadi sesuatu yang ga diinginkan kan?

"Sha..." Panggil Arya di tengah keremang-remangan lampu tidur yang aku nyalakan.

"Ya Ar?" Jawabku sambil menoleh ke arahnya.

"Boleh kita bicara? Mm.. Tentang Revan?"

"Silahkan.."

"Aku ga tau mau mulai dari mana. Aku sendiri bingung dan takut. Tapi seperti yang aku bilang sebelumnya, di Jerman aku berubah. Bukan lagi Arya yang suka cari sensasi. Yang ada di kepalaku hanya mengejar cita-citaku menjadi dokter luar biasa yang pantas untuk kembali ke Indonesia dan menikah denganmu."

Perlukah Arya membicarakan hal ini?

Sekarang?

"Arya, aku rasa...."

"Aku sayang sama kamu, Sha... Aku cinta sama kamu bertahun-tahun ini. Jika Revan adalah kesalahanku satu malam, apa bisa aku menebusnya dengan ribuan malam selama sisa umurku?"

Arya menatapku tepat di mata. Tatapan yang dalam, penuh permohonan sekaligus ketulusan. Rasanya semua itu mencengkram diriku erat dan membuat hatiku begitu tersentuh. Air mataku kembali berkumpul dan siap tumpah. Oh Tuhannnn....

Bolehkah aku berteriak kalau aku juga mencintainya? Aku juga cinta Arya bertahun-tahun ini! Aku sayang, dan bahkan ga ada yang lain selain dirinya! Tapi ini bukan masalah kecil.

Masalah yang kami hadapi terlalu......

"Apa aku punya kesempatan itu, Natasha Disti Mahendra?"

Aku.... Aku ga tau!

Aku ga tau bisa memberikan kesempatan itu untuk Arya atau ngga! Mungkin hari ini aku terlihat baik-baik saja, bisa mengatasi semua dengan baik, menghadapi Arya layaknya ga ada masalah, klien tanpa gentar, dan menemani Revan tanpa lelah. Tapi nyatanya, hatiku masih terasa sakit!

Aku memang bilang kalau aku akan menikmati semua ini...

Tapi aku juga tau, semua ini ada jangka waktunya!

Sebelum hasil tes DNA itu keluar, dari lubuk hatiku yang terdalam, aku ga bisa menyangkal keberadaan Revan yang udah pasti anak Arya. Hanya saja... Aku belum sanggup... Aku ga bisa... Aku masih ingin bersama Arya!

Kenapa semua ini mempermainkan emosi!

Cintaku terus dan selalu untuk Arya.

Tapi pertanyaannya adalah, apa aku sanggup bersama Arya jika pada akhirnya benar Arya telah mengkhianatiku? Sekalipun aku mencintainya, apa aku sanggup? Bahkan sampai Arya punya anak dengan perempuan lain? Sanggupkah aku menerima semua?

Jujur saja...

Aku bukanlah orang suci yang bisa mengikhlaskan semua begitu saja. Aku ga bisa! Aku ga bisa memaafkan dan menerima dengan lapang dada. Aku butuh waktu, dan tiga hari hanyalah sekejap mata!

Tapi jika ditanya, berapa lama yang ku butuhkan. Aku juga ga bisa menjawab. Bukannya aku mau melarikan diri, hanya saja semua ini terlalu mendadak dan rasanya aku bukan orang yang cukup tangguh menghadapi masalah demi masalah tanpa jeda!

"Maaf Ar..." Jawabku lirih.

Aku tau Arya kecewa dan sama sedihnya seperti diriku, hanya saja aku membutakan diri. Aku terlalu lelah bermain-main dengan emosi, juga nasib yang ga pernah berbaik hati terhadapku.

"Sudah malam. Istirahatlah..." Arya mengakhiri pembicaraan kami.

Dan aku hanya bisa memeluk Revan erat, menahan semua sedih. Seakan tau diri, Arya membalik badannya dan memunggungiku. Rasanya bodoh, kami seranjang tapi serasa ada tembok yang menghalangi kami.

Inikah kami yang sekarang?

Yang hanya menghitung hari hingga waktu kebersamaan kami habis?

Lalu setelah itu, aku harus bagaimana? Aku harus apa?

Loving You #6 : Happily Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang