T.u.j.u.h.b.e.l.a.s

7.5K 392 5
                                    

Rasanya malam ini akan jadi malam yang panjang. Setelah Riki pulang mengantarku, langsung ku guyur diriku di bawah shower. Sebenarnya apa yang ada di pikiranku tadi sampai menerima lamaran Riki?! Cincin pertunangan Arya saja masih ada di leherku. Tergantung sebagai liontin kalung di leherku. Dan sekarang, satu cincin lagi ada di jariku...

Oh astagaaaa!

Memang Riki orang yang sangat baik, hanya saja.... dia itu penyelamatku. Ga bisa lebih.

Flashback

"Tolong jagain Arya dan Revan."

"Heh! Emang lu pikir ruman gue itu daycare?! Gue ga mau!"

"Gue mohon Mir... Di.. Aku... Aku...." Dan tangis yang ku tahan-tahan akhirnya pecah. Aku ga bisa menahannya lebih lama lagi! Ketegaran demi ketegaran hanya menyiksaku perlahan-lahan.

Rasanya sakit! Teramat sakit!

Kenapa hasil tes DNA itu harus mengatakan RevN anaknya Arya? Kenapa ga terjadi kesalahan aja? Kenapa semua malah membuatku merasa sakit?? Kenapa Tuhan... KENAPA! Kenapa ga ada secuil pun kebahagiaan untukku???

Apa aku kurang baik? Apa ada kesalahan yang ga terampu i? Apa aku ga berhak bahagia??

"Nteee.... Nte kok nangis? Ntee kenapaaa? Mama sama papanya Joey kaatin Nte ya?"

Aku segera menghapus air mataku. Mati-matian terlihat tegar didepan seorang anak kecil yang.... Oh Tuhan, dia anaknya Arya!

Berbagai perasaan berkecamuk di dadaku, tapi aki menarik nafas dalam. Bukan... Bukan Revan yang salah. Aku ga boleh meneriako Revan. Ini salah Arya, dan Revan hanya korban yang dibawa ke antara kami.

"Revan, tante ga kenapa-kenapa. Hanya sedih...."

"Kenapa sedih Nte?"

'Karena kehadiran,u, Nak... Karena kenyataan kamu adalah anak dari lelaki yang kucintai!' Batinku begitu perih. Tapi tentu saja bukan itu jawaban yang kuberikan pada Revan.

"Sedih karena Tante harus pergi." Jawabku sambil mengangkat Revan ke dalam gendonganku.

Dia anak yang baik. Dan aku berdoa, semoga hanya hal baik yang akan diterimanya. Semoga kepergianku menjadi kebahagiaan bagi semua orang, dan walau ga rela, semoga Arya bahagia dengan ibunya Revan.

"Pelgi? Rrr.. Revan ikut ya? Ikut ya Nte..."

"Ga bisa."

Revan menangis sejadi-jadinya. Berteriak dan memaksa ingin ikut. Tapi apa yang harus aku lakukan? Justru aku sudah memutuskan untuk pergi sejauh mungkin. Melupakan semua kejadian ini dan memulai hidup baru. Tekadku sudah matang, mana mungkin aku mengubahnya?

Revan menangis sampai tertidur. Setelah meletakkannya dengan aman di kamar Joey, aku kembali menemui Miranda dan Dion. Mereka menungguku dengan sabar di meja makan dan menatapku dengan penuh pertanyaan.

"Lu mau kemana, he?"

"Pergi. Le tempat yang tenang."

"Lu mau kabur dari masalah Sha! Ngomong lu aja yang mau ke tempat yang tenang, nyatanya lu cuma butuh waktu buat nerima mereka. Gue tau ini klise banget, tapi ga bisa apa lu nerima keduanya? Lu sayang Arya... Dan lu juga sayang Revan. Masalahnya dimana?? Lu bisa jadi istri sekalian ibu buat keduany-..."

"Mir!" Dion berhasil membuat Miranda diam.

Miranda seakan sadar, dia langsung mengumamkan kata maaf. Aku hanya bisa tersenyum tipis. Miranda benar, malahan sangat benar! Aku sayang keduanya, tapi untuk menerima keduanya sekaligus aku ga bisa! Ada satu kenyataan yang cukup menamparku keras, bahwa Arya pernah selingkuh!

Perempuan mana yang mau diselingkuhi?

Bahkan sampai hubungan di atas ranjang yang menghasilkan anak?! Perempuan mana yang mau???!

Waktu? Hahaha.. Ya gue hanya butuh waktu. Sampai setiap rasa di hatiku mati, dan akhirnya aku menerima semua ini. Maaf saja, aku ga sebaik yang semua orang pikir. Aku tetap punya hati dan rasanya sungguh sakit!

Sakit...

"Kamu bener Mir.. Aku bisa saja menerima keduanya. Toh, aku juga menyayangi keduanya. Tapi ga bisa... Misalkan saja. Bagaimana jika suatu hari Dion pulang dengan membawa seorang anak, yang kamu tahunjelas bukan anak kamu? Aku ga tau, gimana rasa sakitnya saat dulu kamu tau Dion selingkuh pas SMA. Yang jelas, aku ngerasain sakit banget... Karena aku bukan orang suci yang bisa menerima semua dengan lapang dada!"

Lagi... Aku menangis lagi...

"Maaf... Maaf merepotkan, tapi cuma kalian yang bisa gue minta tolong."

"Telepon gue! Apapun yang terjadi, telepon gue dan angkat telepon gue!" Miranda berjalan ke arahku dan memelukku erat.

"Gue harap, lu dan Arya.... Kalian berdua... Bahagia dengan apapun yang kalian pilih." Kata Dion yang langsung ku amini.

Aku mengangguk pamit dan langsung pergi ke bandara. Semua sudah selesai di Jakarta, dan.... Selamat datang Yogyakarta! Yahhh... Mungkin ada baiknya aku ambil program S3, kembali bekerja, dan mengenyahkan semua pikiranku dari masalah gila ini.

Aku berjalan menyusuri Malioboro.... terusss sampai ke Alun-alun. Tanpa peduli orang yang ku tabrak dan melihatku bingung. Hujan, tapi bukannya berteduh atau memayungi diri, aku malah memilih basah-basahan. Sampai tak sadar aku berada di tengah jalan dan sebuah mobil melaju kencang ke arahku.

Seakan ga bisa bergerak, dan suara decitan ban tak terelakan, aku yakin diriku benar-benar hilang dari muka bumi. Tapi...

Ternyata Tuhan masih ingin aku merasakan sakit di dunia.

Karena dia mengirimkan seorang malaikat untuk menyelamatkanku. Alhasil, dialah yang terkuka dan tangisanku berhenti seketika. Walau keadaan sudah gelap, tapi darah yang keluar dari dahinya masih bisa aku lihat.

Oh ya Tuhan!

Aku langsung teriak minta tolong. Dan dalam perjalanan, tak hentinya aku berdoa semoga.... Semoga malaikat yang menyelamatkanku ini juga selamat!

Flashback off

Loving You #6 : Happily Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang