Bab 5: Belajar Kelompok

66K 2.4K 20
                                    



Naina meniup rambut yang mampir didahinya. Brian tidak tepat janji. Diliriknya jam tangan biru hadiah dari Brian. Lebih dari dua puluh menit dia telat kemana dia?

" Mas kemana sih? " Naina yang tidak tahan mengontak Brian tapi tidak di jawab. Naina duduk gelisah coffe latte yang dipesannya hampir habis. Tak lama didepan pintu masuk tampak pria dengan setelan jas rapi. Naina melihatnya membelalakkan mata. Suaminya berdiri disana oh ganteng banget.

" Sayang " Brian mengecup pipi Naina. Semburat merah bertabur di wajahnya. Jantung Naina tampak tak beraturan. Efek Brian tak menyehatkan bagi Naina.

" Mas rapi amat? Habis dari mana? "

" Perusahaan membutuhkan mas " Naina tersentak kaget. Dia tahu bahwa masalah suami, keluarga, ataupun yang berhubungan dengan Brian dia tidak pernah tahu. Dia hanya tahu bahwa Brian kabur dari rumah dan mengajar di sekolahnya. Saat mereka menikah pun Brian bekerja di cafe milik sahabatnya.

" Maaf karena mas belum kasih tahu kamu tentang mas " Naina mengangguk mengerti dan memanggil pelayan. Perutnya mendadak kosong mendengar ocehan Brian.

Brian Adji Permata seorang pelayan cafe yang menolongnya disaat Naina terlantung lantung di jalan. Ide bodoh muncul dikepala Naina yaitu menikah. Hanya sebatas itu pertemuannya dengan Brian dan yang lebih mengejutkan lagi mereka menikah hanya dihadiri petugas KUA dan sahabat Brian. Fahlan Zain Prasetyo guru olahraga Naina.

Pesanan mereka datang segera Naina melahap dengan ganas seolah dia tidak pernah makan selama seminggu. Emosinya mencapai pucuk kepalanya, hidungnya kembang kempis. Dilihatnya Brian hanya mengaduk makanannya. Tatapan mata yang lembut dan tegas berubah menjadi kosong.

Helaan nafas berat terdengar berhembus pelan. Makanan.Habis.Pulang. Itu yang terpikir dari otak Naina.

" Woy makan " Naina tersentak kaget di depannya berdiri tegak Pak Alan.

" Saya mau pulang. Mas pulang atau tidak? " Hanya tatapan kosong yang menjadi jawabannya. Segera ditariknya tangan Brian.

Mengundang beberapa pasang mata. Ada cibiran dan ada celaan disetiap kata yang terlontar. Hatinya sakit kenapa hidupnya selalu penuh dengan cibiran? Tanpa memperdulikan mereka Naina membawa Brian menuju mobilnya dan melesat untuk pulang.

★★★★

Bapak saya dan teman - teman mau belajar kelompok. Bapak bisa?

Brian tersenyum dalam diamnya. Dulu menurut cerita yang beredar murid XII 3 terkenal urakan tapi tetap mereka mau belajar bahkan nilai tertinggi mereka yang meraihnya tapi pengecualian untuk Bahasa Inggris. Pak Wawan yang mengajar belum sampai dua bulan langsung angkat tangan. Mulai dari tidur serempak, jajan dikantin saat beliau mau masuk, dan yang paling parah mereka semua dengan lantangnya berbicara 'Bapak besok gak usah ngajar lagi percuma kita belajar kita gak akan ke Amerika liburan sama Bapak Obama'  yah begitu kira - kira.


" Mas kesambet? Senyum - senyum sendiri " Perusak suasana! Naina masih melambaikan tangan di depan wajah Brian. Mata Naina lembut penuh luka.

Brian serasa terlempar pada masa lalu kelam Naina. Disaat para remaja mereka sibuk dengan jalan, makan, belanja tapi tidak dengan Naina. Dia bekerja paruh waktu disebuah cafe bukan sebagai pelayan atau casir tapi sebagai pencuci piring. Uang hasil kerjanya demi ayah yang satu - satunya harga berharganya tapi hal keji itu datang. Malam yang terang dipenuhi bintang menjadi saksi pertukaran jasa dan barang.

" Mas Brian " Brian terhuyung kebelakang karena Naina menonyor kepalanya keras. Brian melebarkan mulut dan menoleh kanan dan kiri. Kesadarannya belum pulih.

18 Berstatus IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang