Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
୨୧
Malam mencekam mulai menggigit dengan langit yang mendung penuh awan pekat yang bergerumul bagai lukisan 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘵𝘪𝘢𝘯. Gelap, hilang cahaya bulan, mungkin takut dihantam petir yang saling bersahutan dan akhirnya bersembunyi di balik singgahsana. Bintang pun hanya tampak seperti titik, mungkin hanya terlihat satu atau dua, untuk mengawasi malam agar tidak menenggelamkan sukma.
Deru angin dingin khas malam yang membelai tubuh terbalut kain tipis bagai tamu tak diundang, bekunya perlahan mengikis kewarasan, dibumbui dengan rintik hujan yang jahilnya melarang banyak jiwa untuk menikmati atmosfer setiap detik sepeninggal matahari.
Kedua tangannya melipat, memeluk raganya sendiri untuk mencari kehangatan, tapi pandangan nya tidak bisa diam, Sagara terus melihat ke sekeliling. Matanya penuh kilauan karena terpana tak berkesudahan. Bagaimana tidak, yang di tatap nya adalah bangunan besar yang nampak kokoh dan hegar menjulang di hadapannya. Rumah bernuansa putih itu tidak seperti rumah biasa, itu bagai istana yang dihuni oleh seorang raja.
Sesaat meneguk ludahnya sendiri untuk menghilangkan kegugupan. Bagai kerdil dengan nyali ciut, Sagara tak pernah bermimpi bisa melihat dari dekat dan berada sejengkal dari rumah yang begitu megah seperti ini. Ia benar-benar merasa kecil, mungkin karena apa yang dimiliki nya dihitung ribuan kali pun tak akan sebanding.
Menyudahi tunduk padi yang mendera perasaannya, ia harus kembali pada realita, Sagara memalingkan pandangannya dan menatap lurus ke depan. Matanya menangkap sebuah lengan kekar dengan urat-urat yang menonjol, mengintip tipis di balik kulit coklat nan eksotik milik seseorang yang tentu saja dikenalnya dengan baik. Tangan itu terulur ke hadapannya, seperti mendamba ingin segera di raih olehnya.