Eisa bersujud di bawah kaki Gama. Dengan tangis pilu nya yang terus luruh di kedua matanya, dengan kedua telapak tangan yang bergetar memijak bumi yang telah mematahkan jiwanya, dan dengan luka di hatinya yang begitu terasa perih karena terpaksa menerima tali takdir semesta yang memisahkannya dengan lelaki yang ia cintai.
Eisa meraung, terus berteriak pada Gama agar merelakannya, agar merelakan masa depan yang telah mereka angan dengan kedua jari telunjuk mereka di udara. Hangat suasana kamar Eisa pagi itu, dan kenangan manis keduanya yang saling memeluk satu sama lain di balik tirai selimut tebal, kini hanya menjadi sebuah memori kosong yang tak sanggup lagi Eisa dan Gama kenang.
Gama meremat kedua telapak tangannya kuat. Sampai kuku-kukunya yang pendek pun dapat menancap perih pada permukaan kulitnya.
Gama tak kuat, Gama tak kuasa melihat seseorang yang ia cintai dilukai seperti ini. Air mata nya pun telah berderai sampai memenuhi lautan. Rasanya begitu pilu, rasanya dada nya begitu nyeri. Rasanya seperti seluruh makhluk hidup di muka bumi ini melemparinya dengan batu sembari meremehkannya dengan kata-kata kasar karena telah gagal memperjuangkan cinta yang selalu di gaungkannya pada langit.