Kalimat beracun yang keluar dari mulut Nura itu terus berputar bagai bencana puting beliung yang memporak-porandakan isi kepala Barra. Otaknya dibuat berdenyut nyeri, memusingkan tingkah gila sahabat yang ingin di tendang pantat teposnya segera oleh nya.
Matanya mulai berkunang-kunang, dan Barra mulai merasa mual. 𝘖𝘩 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬. Perutnya bergolak. Seperti bubur ayam, sate usus 4 tusuk, dan sate puyuh 2 tusuk nya yang sudah tercincang didalam lambungnya diobok-obok secara brutal.
Barra tak kuat, halisnya yang merengut karena pening di tahan oleh jari jempol dan telunjuknya.
Kali ini keringat dingin yang meleleh dari tubuhnya bukan lagi akibat adrenalin nafsu yang memuncak, tapi akibat kengerian melihat sahabat nya yang ia rasa otaknya mulai tak waras.
Barra membuka mulutnya, mengeluarkan suara dan gas lambung yang naik lagi ke kerongkongannya. Gestur mual tak terhindarkan.
Tangan Nura meraih sebelah pipi Barra dan membawa naik wajah Barra untuk dapat dilihat nya lebih jelas.
Mata Nura terbuka lebih lebar, hingga kedua halisnya naik, "𝘓𝘢𝘩 𝘉𝘢𝘳?, 𝘮𝘶𝘬𝘢 𝘪𝘵𝘦𝘮 𝘭𝘰 𝘬𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢 𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘱𝘶𝘤𝘦𝘵 𝘢𝘣𝘶-𝘢𝘣𝘶 𝘨𝘪𝘯𝘪?, 𝘭𝘰 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘵𝘢𝘥𝘪 𝘰𝘦𝘬 𝘰𝘦𝘬, 𝘭𝘰 𝘮𝘶𝘢𝘭?!.. 𝘒𝘰𝘬 𝘭𝘰 𝘵𝘪𝘣𝘢-𝘵𝘪𝘣𝘢 𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵 𝘴𝘪𝘩?!, 𝘣𝘦𝘭𝘰𝘮 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘯𝘨𝘦𝘸𝘦𝘯𝘺𝘢, 𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘵𝘢𝘯𝘥𝘢-𝘵𝘢𝘯𝘥𝘢 𝘩𝘢𝘮𝘪𝘭 𝘢𝘫𝘢 𝘭𝘰, 𝘩𝘢𝘩𝘢𝘩𝘩", khawatir nya pun terselip ledekan. Bagaimana Barra bisa mempercayai Nura kalau sifat Nura memang tak pernah seserius dirinya